ini adalah cerita tentang seorang anak laki-laki yang mencari jawaban atas keberadaannya sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yersya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1
Cinta…
Sebuah kata yang sederhana, tapi dibaliknya tersembunyi badai yang tak pernah bisa benar-benar dimengerti. Ia bisa menjadi cahaya yang menghidupkan jiwa paling rapuh, menyalakan bara harapan di hati yang nyaris padam—namun di saat yang sama, mampu menenggelamkan seseorang ke dalam jurang paling gelap dari dirinya sendiri.
Ada manusia yang tumbuh di bawah hangatnya kasih sayang—dilingkupi tawa keluarga, persahabatan yang tulus, dan pelukan yang membuat dunia terasa aman. Mereka hidup seperti bunga di bawah sinar matahari, mekar dengan indah tanpa tahu rasanya menjadi layu.
Namun, ada juga mereka yang lahir di tengah kesunyian. Tak pernah mendengar kata sayang yang sungguh-sungguh, tak pernah tahu rasanya dipeluk hanya karena seseorang ingin mereka tetap ada. Dunia bagi mereka bukan rumah, melainkan ruang kosong yang membeku.
Dingin. Senyap. Tanpa warna.
Dan di antara kedua dunia itu, ada jiwa-jiwa yang sempat mencicipi cinta—merasakan indahnya memiliki seseorang yang melihat mereka seolah mereka lah satu-satunya di dunia. Mereka pernah tahu rasanya dicintai, dimiliki, dan disayangi sepenuh hati. Tapi ketika cinta itu direnggut oleh waktu, takdir, atau pengkhianatan, yang tersisa hanyalah kepingan kenangan yang menusuk lebih tajam dari kesepian itu sendiri.
Sebab kehilangan cinta yang pernah kita genggam… jauh lebih menyakitkan daripada tidak pernah mengenalnya sama sekali.
Mereka yang tak pernah mengenal cinta hidup dalam kehampaan.
Mereka yang kehilangan cinta hidup dalam luka.
Dan di antara keduanya, ada yang memilih menciptakan cinta mereka sendiri—meski hanya bayangan, meski hanya ilusi yang mereka paksa untuk terasa nyata.
Namun pertanyaan itu akan selalu menghantui:
Apakah cinta yang lahir dari kepalsuan bisa menyelamatkan jiwa… atau justru menghancurkannya lebih dalam lagi?
Namaku Arya.
Tujuh belas tahun. Kelas satu SMA.
Seorang pria biasa—atau mungkin bahkan terlalu biasa.
Rambutku hitam, selalu acak-acakan seperti enggan diatur. Mataku juga hitam, tapi tak pernah benar-benar memantulkan cahaya. Aku bukan tipe orang yang pandai berbicara. Tawa jarang keluar dari bibirku, dan senyum terasa seperti sesuatu yang asing di wajahku. Di antara hiruk pikuk teman-teman sekelasku, aku selalu jadi bayangan di sudut ruangan. Ada, tapi tak terlihat.
Tubuhku mungkin satu-satunya hal yang bisa kubanggakan. Tinggiku seratus delapan puluh sentimeter, dan otot-ototku terbentuk karena latihan fisik yang kulakukan hampir setiap hari. Bukan karena ambisi atau ingin dipuji—aku hanya… tidak punya alasan lain untuk menghabiskan waktu.
Olahraga membuatku sibuk. Membuatku tidak berpikir.
Dan mungkin… membuatku tidak merasa terlalu kosong.
Namun hari ini, entah apa yang merasuki pikiranku, aku berdiri di halaman belakang sekolah dengan detak jantung yang mengamuk di dada.
Aku—si pria membosankan yang bahkan tidak punya teman bicara—akan melakukan sesuatu yang gila.
Aku akan menembak Aluna Sena.
Luna.
Nama yang sederhana, tapi entah mengapa terasa seperti mantra.
Semua orang mengenalnya. Semua orang menyukainya.
Dia seperti potongan cahaya di tengah sekolah yang monoton ini—cantik dengan cara yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata “cantik.” Rambut hitamnya panjang, tergerai lembut hingga melewati punggung, selalu tampak berkilau setiap kali sinar matahari menyentuhnya. Matanya, coklat terang, jernih seperti kaca yang mampu memantulkan dunia dengan sempurna. Kulitnya seputih porselen, dan senyumnya…
Ah, senyum itu.
Hangat, lembut, tapi bisa menghancurkan siapa pun yang menatapnya terlalu lama.
Dia populer, pintar, dan selalu terlihat mudah bergaul.
Dan aku?
Aku bahkan tak yakin apakah dia tahu namaku.
Kami sekelas, tapi belum pernah benar-benar berbicara.
Bahkan sekadar “hai” pun tidak.
Tapi entah kenapa, setiap kali aku melihatnya, ada sesuatu di dalam diriku yang bergerak—pelan, tapi nyata. Seperti riak air di permukaan tenang yang tiba-tiba tergetar oleh angin.
Dan riak itu tumbuh.
Menjadi gelombang.
Hingga akhirnya menelan seluruh rasaku.
“Aluna…”
Suara itu keluar lebih pelan dari yang kuharapkan. Jemariku mengepal, menahan gemetar.
Dia menoleh, wajahnya memancarkan cahaya sore yang lembut. Angin berhembus, memainkan ujung rambutnya, membuat waktu seolah berhenti sesaat.
“Ada apa, Arya?”
Dia tahu namaku. Hanya dua kata sederhana, tapi jantungku seperti berhenti berdetak.
Aku menatapnya—dan untuk pertama kalinya, aku sadar betapa jauhnya jarak antara kami.
Dia… begitu terang.
Dan aku… hanya bayangan yang mencoba menjangkau cahaya itu.
“I–Aku…”
Suara tercekat di tenggorokan. Semua kalimat yang sudah kususun berhari-hari lenyap begitu saja.
Namun akhirnya, entah dengan keberanian bodoh dari mana, kata itu keluar juga.
“Aku mencintaimu.”
Angin berhenti. Dunia seolah menahan napas.
Luna tidak langsung menjawab. Matanya menatapku lama, begitu lama hingga aku mulai merasa telanjang di bawah pandangannya. Tidak ada senyum, tidak ada tawa—hanya keheningan yang terasa berat.
Dan akhirnya, dengan suara yang lembut namun pasti, ia berkata,
“Maaf.”
Satu kata.
Begitu halus, tapi cukup untuk menghancurkan dunia yang baru saja kubangun di dalam hati.
Untuk pertama kalinya, aku melihat wajah Luna tanpa senyum itu. Tatapannya kosong, tapi di baliknya… ada sesuatu. Entah kesedihan, entah kekecewaan, atau mungkin iba.
Dan sebelum aku sempat berkata apa pun, ia berbalik.
Langkahnya ringan, tapi setiap langkah terasa seperti pisau yang menancap dalam.
Aku hanya berdiri di sana—membiarkan punggungnya menjauh, bersama semua harapan yang bahkan belum sempat tumbuh sepenuhnya.
Angin kembali berhembus, dingin, seolah mengejekku.
Sore itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku… aku benar-benar merasakan bagaimana rasanya ditinggalkan bahkan sebelum sempat dimiliki.