NovelToon NovelToon
JERAT CINTA LINGGARJATI

JERAT CINTA LINGGARJATI

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang / Obsesi / Selingkuh / Lari Saat Hamil / CEO
Popularitas:901
Nilai: 5
Nama Author: nitapijaan

Ayudia berpacaran dengan Haris selama enam tahun, tetapi pernikahan mereka hanya bertahan selama dua tahun, sebab Haris ketahuan menjalin hubungan gelap dengan sekertarisnya di kantor.

Seminggu setelah sidang perceraiannya usai, Ayudia baru menyadari bahwa dirinya sedang mengandung janin kecil yang hadirnya tak pernah di sangka- sangka. Tapi sayangnya, Ayudia tidak mau kembali bersama Haris yang sudah menikahi wanita lain.

Ayudia pun berniat nutupi kehamilannya dari sang mantan suami, hingga Ayahnya memutuskan agar Ayudia pulang ke sebuah desa terpencil bernama 'Kota Ayu'.

Dari situlah Ayudia bertemu dengan sosok Linggarjati Putra Sena, lelaki yang lebih muda tiga tahun darinya dan seorang yang mengejarnya mati-matian meskipun tau bahwa Ayudia adalah seorang janda dan sedang mengandung anak mantan suaminya.

Satu yang Ayudia tidak tau, bahwa Linggarjati adalah orang gila yang terobsesi dengannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nitapijaan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Emang kamu nggak malu?"

"Pssttt ... Pst ... Cewek, kiw kiw ..."

"Apa sih? Gak jelas!"

Linggar tertawa konyol. Lelaki hitam manis itu kemudian meletakan keresek hitam yang di bawanya tepat di depan Ayudia yang sedang duduk di meja makan. Wanita hamil itu sedang ngemil ciki sembari memainkan ponselnya.

Alisnya itu terangkat sembari melirik kresek yang di bawa Linggar, Perasaan Ayudia tidak ada titip apapun pada lelaki itu, pun Linggar sepertinya tak habis pergi kemanapun, seharian ini dia emang ikut bantu tukang dan keempat pemuda tadi membangun ulang kamar mandi Uti.

Jadi pertanyaannya, kapan lelaki itu pergi?

"Buah buat rujakan, katanya mau." Ujar lelaki itu saat melihat wajah Ayudia yang kebingungan, sembari menarik kursi di sebelah si wanita.

Ayudia yang sedang mengemil ciki itu seketika berbinar. Gegas membuka kresek hitam tersebut dan menengok isinya, dia hampir saja menjatuhkan rahangnya ketika melihat isi plastik.

"Banyak banget? Siapa yang mau makan?" Decaknya kagum.

"Kita berdua lah, kalau nggak habis kan bisa buat besok lagi kalau mau." Balas Linggar dengan santai. Lelaki itu meraih satu buah mangga dan melempar-lemparnya ke udara.

"Ini yang udah mateng sempurna nih, mau di bukain?" Tawar lelaki itu. Ayudia mengangguk, tak menolak sebab dia sudah ngiler banget membayangkan buah dengan kulit hijau itu.

"Kalo gitu aku buat bumbu rujaknya dulu," Tuturnya tak tahan melihat buah-buahan yang begitu segar.

Yaa, bagaimana tidak? Linggar membawakan banyak jenis buah yang sangat cocok sekali di buat rujakan. Ada nanas matang yang sudah di kupas, jambu air berwarna merah merona, mangga, belimbing serta jambu kristal. Bagaimana Ayudia tidak ngiler melihatnya?

"Kapan belinya?" Tanya Ayudia di sela-sela mencuci beberapa buah cabai. Dia penasaran kapan Linggar pergi membeli semua itu dalam sekedipan mata.

"Nggak beli, ambil di samping rumahnya kak Raisa." Linggar yang masih duduk di kursi meja makan menyahut. "

"Semuanya?" Ayudia tak percaya. Wanita itu bahkan memandang Linggar dengan mata memincing. Jangan bilang Raisa juga membuka kebun buahnya sendiri?

"Iya, kecuali Nanas sih, itu beli di kecamatan." Linggar menghampiri Ayudia yang masih berdiri di depan wastafel. Kedua tangan lelaki itu menjulur di tiap sisi tubuh Ayudia, lalu mencuci mangga yang habis di kupasnya dengan santai.

Ayudia angguk-angguk, masa bodo mau di ambil dari mana buah-buah itu. Yang terpenting Ayudia menyelesaikan nyidam nya lebih dulu. Tapi, melihat kelakuan santai Linggar yang seolah mengurungnya, Ayudia panik sendiri.

"Awas awas!" Buru-buru Ayudia mendorong Linggar menjauh dengan punggungnya. Setelah itu, dia bergeser.

Linggar yang melihat kelakuannya yang malu-malu kucing itu seketika menyengir lebar. Mulutnya terkunci, tapi wajah tengilnya tak bisa di sembunyikan.

Tatapan Linggar yang seperti itu sejujurnya sangat mempesona, hanya saja Ayudia berusaha menampiknya jauh. "Berapa?" Tanyanya mengalihkan perhatian.

Alis Linggar menukik saat Ayudia tiba-tiba menyahut begitu. "Apanya?" tanya lelaki itu bingung. Meraih piring dari rak untuk dia gunakan sebagai wadah buah mangga yang akan dia potong-potong ukuran sekali hap.

Membuang nafas pelan, Ayudia berjalan menjauhi Linggar sembari membawa cobek yang sudah terisi cabai, garam, dan gula Aren —Kalau di sini menyebutnya gula Jawa.

"Buat beli itu semua berapa? Biar aku ganti uangnya,"

"Nggak usah, kaya sama siapa aja." Tolak Linggar halus. Tapi Ayudia kekeh.

"Berapa? Aku nggak mau loh yah dibilang matre karena suka minta-minta ke kamu, aku juga punya duit sendiri buat beli. Cuma aku butuh kamu sebagai perantara belinya," Ayudia malah mengomel.

Linggar angguk-angguk. Mendekati Ayudia sembari membawa piring berisi mangga yang sudah dia potong. Lalu meletakannya di samping cobek.

"Yakan? Jadi berapa? Sama mie ayam waktu di pondok itu juga, di total aja semuanya biar aku bayar sekarang." Oceh Ayudia sembari mengulek bumbu.

Tak kunjung mendapat jawaban, wanita itu menoleh ke arah Linggar yang ternyata menatapnya intens. Setelah kepergok, bukannya mengalihkan pandangannya, Linggar malah menyengir lebar.

"Udah?"

"Hah? Udah apa?" Alis Ayudia terangkat. Wanita itu kebingungan dengan reaksi Linggar.

"Udah ngocehnya? Sekarang makan," lelaki itu menyodorkan sepotong mangga harum manis yang warna dan wanginya begitu menggugah selera. Tanpa diperintah dua kali, Ayudia membuka mulutnya.

"Enak." Pujinya. Seketika itu juga Ayudia melupakan pembahasan tentang bayar membayar.

"Enak dong, apalagi kalau suapannya dari mulut ke mulut. Tambah enak," Ujar Linggar dengan santai.

Ayudia melototinya, dengan ringan tangan wanita itu mendarat di kepala Linggar. Menoyor nya pelan. "Kalo ngomong!" Tergurnya. Kali ini tanpa nada ketus, kesal, dan sejenisnya.

"Jangan suka bicara sembarangan, Lingga. Kamu nggak tau efeknya bakal gimana sama aku, terutama kalau ada yang denger dan salah paham." intonasi suara Ayudia lembut bagai kaki bayi. Linggar suka mendengarnya, atau lebih tepatnya lelaki itu suka mendengar suara Ayudia.

"Emang efeknya bakal gimana?" Tanya Linggar penasaran. Lelaki itu memperhatikan Ayudia dengan kedua tangan menopang dagu.

"Yaa banyak. Terlebih track record aku sebagai janda yang hamil anak mantan suaminya. Bukannya apa, aku cuma nggak mau kamu dan aku di tuduh yang macam-macam."

"Aku di sini statusnya masih 'orang baru', meskipun orang tua aku memang asli dari sini, tapi aku lahir dan besar di kota. Coba bayangin aja, kalau ibu-ibu atau tetangga di sini tiba-tiba buat gosip tentang kita berdua? Emang kamu nggak malu?" Ayudia menyelesaikan ucapnya sembari menoleh ke arah Linggar. Kebetulan dia juga sudah selesai mengulek bumbu rujak yang super kental itu.

"Kamu dengerin nggak sih?" Tegur Ayudia ketika Linggar hanya diam menatapnya.

"Denger," sahut lelaki itu.

Ayudia berkacak pinggang, "Coba jawab, tadi aku bilang apa aja?"

Sebelum menjawab, Linggar meraih sepotong mangga dan langsung melahapnya. "Nggak boleh bicara sembarangan supaya nggak di gosipin tetangga dan nggak di tuduh macam-macam." jawab lelaki itu dengan lancar.

"Bagus, jadi udah ngerti kan sekarang?" tanya Ayudia dengan senyum puas.

Linggar angguk-angguk. "Ngerti, Mah."

"Lingga!!" Ayudia berdecak kesal. Sementara pelakunya hanya menyengir kuda. Gemar sekali menggoda Ayudia.

"Kamu ini belajar sopan santun sama yang lebih tua nggak, sih!"

"Belajar lah, aku juga belajar tata cara memperlakukan istri yang baik, cara memuaskan—"

"Linggarjati! Diam atau kamu keluar sekarang juga!" Ayudia memotong ucapan Linggar yang dirasanya semakin melantur.

"Oke oke, maaf." Lelaki itu mengangkat tangannya tanda menyerah. Kemudian meraih mangga lainnya yang belum dia kupas.

Setelah itu keduanya fokus dengan kegiatan masing-masing, meskipun Linggar masih terus melirik Ayudia yang sedang membersihkan jambu air tepat di depannya.

"Pake kacang enak," Interupsi Linggar. Lelaki itu gatal sekali karena diam-diaman, mereka jadi kelihatan seperti pasangan yang sedang bertengkar.

"Uti nggak punya kacang tanah, adanya kedelai." Sahut Ayudia.

"Pake aja, siapa tau enak." usul Linggar nyeleneh.

Ayudia mendengus pelan, "Kamu aja yang makan tapi,"

Linggar seketika menyengir lebar, "Berdua lah,"

Ketika Ayudia ingin membuka mulutnya, suara Uti mendistraksi. "Nduk, ada telepon masuk." Wanita sepuh itu muncul dari balik pintu sembari membawa ponsel Ayudia.

"Siapa, Ti?"

"Nggak ada namanya ini, nduk." Jawab Uti sembari menyodorkan benda kotak tersebut pada cucunya. Saat itu juga Uti baru sadar kalau ada manusia lain di dapur yang sedang menyengir lebar menatapnya.

"Loh, wis sue ning kene, Nang?" Tanya Uti pada Linggar. Sementara Ayudia sedikit menjauh untuk menjawab telepon. (Sudah lama di sini, Nang)

"Lumayan. Uti mau mangga?" Linggar menawarkan mangga yang sedang dia kupas. Seketika itu juga Uti begidik geli. "Kecut Nang, untune Uti wis ora kuat nggo mangan kaya kue." Kata Uti sembari meringis-ringis. Melihatnya saja sudah bisa merasakan bagaimana kecutnya mangga yang belum matang sempurna itu.

(Giginya Uti sudah tidak kuat untuk makan makanan seperti itu)

Di lihat dari warnanya yang putih, Uti Nur sudah bisa memprediksi seberapa kecut mangga itu.

"Sudah? siapa itu," tanya Uti begitu Ayudia menyeret kursi meja makan dan mendudukinya.

Bahu Ayudia itu terangkat, di tambah wajahnya yang sedikit merengut sebal. "Nggak tau, di bilang halo halo malah nggak ada suaranya." Balas Ayudia sedikit kesal.

"Penipuan kali," sahut Linggar yang di balas Ayudia dengan mengedikkan bahu.

"Iya kali."

1
@Biru791
wah gak niat up lagi kah nih
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!