Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Awal Petaka
Setelah Ryan dan Vina pergi, yang ada di dalam villa kini tinggal Eri dan Dea saja. Mereka berdua hanya saling diam karena ada rasa canggung di antara mereka.
"Dingin banget udaranya!" ucap Eri mencoba memecah keheningan antara mereka.
"Iya nih, dingin banget. Sebenarnya kasihan juga Bang Ryan dan Kak Vina, hujan deras begini mereka harus hujan-hujanan keluar!" balas Dea.
"Iya sih, tapi bagaimana, kalau kita nggak ada yang berani nekat keluar untuk mencari makanan dan minuman juga pakaian, kita semua pasti akan kelaparan dan kehausan, kedinginan juga. Kalau nggak ganti pakaian, bisa-bisa kita semua sakit!" balas Eri.
"Masalahnya kita nggak kepikiran kalau akan turun hujan seperti ini!" timpal Dea yang tampak menggigil menahan dingin.
"Iya juga ya, kita nggak kepikiran soal itu tadi!" kata Eri membenarkan kata-kata Dea.
"Sudah lah, jangan pikirkan, mungkin mereka malah senang karena dapat kesempatan untuk berduaan!" jawab Eri, mencoba mencairkan suasana.
"Memangnya beneran mereka saling suka?" tanya Dea, dengan nada ingin tahu.
"Iya, kayaknya memang begitu, tapi sudah lah jangan khawatirkan mereka!" jawab Eri berusaha menenangkan Dea.
Dea tidak menyahut ucapan Eri lagi. Setelah mendengar kata-kata Eri, dia hanya diam memeluk lututnya untuk mengurangi rasa dingin yang menusuk-nusuk tulang. Eri pun jadi ikut-ikut memeluk lututnya. Sementara itu hujan di luar semakin deras. Suara gemuruh petir dan angin kencang membuat suasana semakin mencekam.
Tiba-tiba Eri menggenggam tangan Dea Tangan Dea begitu dingin seperti es, mungkin Dea terkena hipotermia. Melihat Dea kedinginan, Eri mencoba memberi kehangatan dengan memeluknya.
"Jangan, Kak!" tolak Dea yang merasa tidak enak. Ia merasa tidak pantas menerima pelukan dari Eri.
"Nggak apa-apa, kan cuma pelukan, kita nggak ngapa-ngapain kok. Daripada kamu kedinginan, kayaknya kamu terkena hipotermia!" Eri mencoba meyakinkan Dea.
Dea diam, tidak lagi menolak karena hawanya memang sangat dingin luar biasa. Ketika Eri memeluknya, ada hawa hangat yang menjalar tubuhnya. Dea hanya pasrah saat Eri membelai rambutnya yang panjang dan hitam. Sentuhan Eri membuat jantung Dea berdebar kencang.
Tapi lama-lama Eri hanyut dalam perasaannya hingga melakukan lebih dari itu. Ia mulai mencium Dea dengan lembut.
"Kak Eri, jangan Kak, jangan lakukan itu!" tolak Dea, dia berusaha bertahan agar tidak hanyut dan terbawa oleh belaian Eri. Ia tahu bahwa apa yang mereka lakukan salah.
Namun Eri seakan tak mendengar teriakan Dea, dia terus saja melakukan, menggerayangi tubuh Dea. Sentuhan Eri membuat Dea semakin lemah.
Sedangkan Dea masih berusaha menjaga agar ia tetap sadar, tidak terhanyut dan terbawa, tapi hatinya tidak bisa menolak meskipun pikirannya mengajaknya untuk menolak tetapi dia tak kuasa. Begitu juga Eri, dia tidak bisa menguasai diri melihat Dea yang manis dan imut membuatnya begitu terpesona hingga nafsunya tidak bisa kendalikan ditambah hawa dingin yang begitu menusuk tulang.
Antara Eri dan Dea sama-sama hanyut dalam gelombang badai asmara dan nafsu yang menyatu. Mereka berdua kehilangan kendali atas diri mereka sendiri.
Tanpa mereka sadari akhirnya terjadilah hal yang seharusnya tidak boleh terjadi. Keheningan villa menjadi saksi bisu atas perbuatan mereka.
"Aaaahh, apa yang Kak Eri lakukan!" teriak Dea ketika menyadari apa yang telah terjadi dengan mereka berdua, tapi semua sudah terlambat karena semua itu sudah terjadi. Air mata Dea mulai membasahi pipinya.
Eri terkejut mendengar teriakan Dea dan baru menyadari apa yang telah terjadi di antara mereka. Ia merasa bersalah dan malu.
Setelah menyadari keadaan mereka berdua yang acak-acakan.
"Kak Eri jahat!" teriak Dea kalap. Ia memukuli Eri sambil menangis.
“Maafkan aku, De, aku khilaf!” ucap Eri sendu. Ia menyesali perbuatannya.
Dea tidak menjawab, dia masih menangis sesenggukan. Hatinya hancur berkeping-keping.
"Jangan menangis, aku tidak akan meninggalkanmu, aku pasti menikahi mu tapi kamu yang sabar ya, tunggu aku selesai kuliah dulu!" ucap Eri berusaha meyakinkan Dea. Ia ingin bertanggung jawab atas perbuatannya.
Memang dalam hatinya tidak ada niat meninggalkan Dea. Ia benar-benar mencintai Dea dan ingin menikahinya.
"Kak Eri janji kan, Kak Eri tidak akan meninggalkan aku!" tanya Dea setengah berbisik. Ia ingin mendengar janji dari Eri.
"Iya, aku janji karena aku sangat mencintaimu!" tegas Eri.
Dea masih terisak, pikirannya kemana-mana apa yang akan terjadi pada dirinya setelah kejadian ini, kedua orang tuanya pasti akan murka kalau tahu yang terjadi pada dirinya saat ini bagaimana kalau dia sampai hamil. Memikirkan hal itu hatinya kalut hingga tangisnya kembali pecah, rasa takut dan khawatir kembali membuncah.
"Sudah jangan menangis, aku pasti bertanggung jawab, percaya lah, sekarang rapikan pakaianmu nanti kalau Ryan dan Vina datang melihat keadaan kita seperti ini mereka akan curiga. Dan kita akan malu, mereka pasti akan tahu apa yang telah terjadi pada kita!" tutur Eri lembut ia berusaha menenangkan Dea yang masih saja terus menangis.
Mendengar hal itu Dea langsung membenahi pakaiannya yang tidak karuan karena dia tidak ingin Ryan dan Vina tahu apa yang telah terjadi pada dirinya dan Eri. Ia merasa malu dan bersalah.
Tak lama setelah itu terdengar suara Ryan dan Vina masuk. Mereka berdua tampak basah kuyup dan kedinginan.
"Hemm, akhirnya dapat juga makanan dan minuman juga pakaian yang kita butuhkan!" Kata Vina sambil menaruh makanan dan minuman juga pakaian kering diatas meja. Ia merasa lega karena bisa membawa makanan dan pakaian untuk mereka semua.
“Kalian mencari makanannya kemana, pasti pacaran dulu?” Tanya Eri untuk menghilangkan rasa gugupnya agar mereka tidak curiga. Ia mencoba bersikap biasa saja.
"Enak aja dibilangin pacaran dulu, kita mencari makanan juga pakaiannya agak jauh, karena di sekitar sini pada tutup mungkin karena hujan deras ini!" balas Vina sewot. Ia merasa kesal karena Eri menuduh mereka pacaran.
Melihat Dea yang terlihat pucat dan sedikit berantakan Vina merasa agak aneh dan khawatir tapi segera ditepisnya perasaan itu karena yang terpenting sekarang ini menolong Dea yang pasti sangat kedinginan.
“Kenapa kamu De, kamu sakit?” Tanya nya pada Dea.
"Nggak kok kak, aku nggak apa-apa cuma kedinginan aja!" Jawabnya gugup. Ia berusaha menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi.
“Kayaknya Dea kena hipotermia!” Kata Eri ikut menimpali ucapan Dea.
"Gawat kalau sampai terkena hipotermia!" Sambung Ryan.
"Ya sudah kalau begitu ganti pakaianmu dengan yang kering biar nggak semakin parah setelah itu kamu makan!" kata Vina sambil membuka bungkus pakaian Dea.
"Nggak usah kak aku nggak lapar dan nggak haus!" Tolak Dea halus. Ia merasa tidak selera untuk makan setelah apa yang terjadi
"Kenapa kamu nggak mau makan, justru orang yang kena hipotermia itu harus makan dan minum yang anget anget biar nggak semakin parah!" Terang Vina.
Eri dan Ryan juga ikut membujuk Dea agar mau makan. Mereka semua khawatir dengan kondisi Dea.
Karena merasa tidak enak dibujuk seperti anak kecil maka dengan enggan ia akhirnya mau makan. Ia merasa bersalah karena telah membuat mereka semua khawatir.
Mereka pun akhirnya makan bersama. Suasana makan malam itu terasa canggung dan sedikit tegang. Eri dan Dea berusaha keras menyembunyikan apa yang baru saja terjadi di antara mereka, membuat percakapan terasa dipaksakan. Ryan dan Vina, meskipun tidak menyadari sepenuhnya, bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Mereka sesekali melirik Dea yang masih tampak pucat dan sesekali menghela napas panjang.
Di luar, hujan masih mengguyur dengan derasnya, seolah ikut menenggelamkan perasaan bersalah dan ketakutan yang menyelimuti hati Dea. Suara rintik hujan yang jatuh di atap villa menambah kesunyian di antara mereka.