NovelToon NovelToon
Reany

Reany

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Wanita Karir / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: Aerishh Taher

Selama tujuh tahun, Reani mencintai Juna dalam diam...meski mereka sebenarnya sudah menikah.


Hubungan mereka disembunyikan rapi, seolah keberadaannya harus menjadi rahasia memalukan di mata dunia Juna.

Namun malam itu, di pesta ulang tahun Juna yang megah, Reani menyaksikan sesuatu yang mematahkan seluruh harapannya. Di panggung utama, di bawah cahaya gemerlap dan sorak tamu undangan, Juna berdiri dengan senyum yang paling tulus....untuk wanita lain.

Renata...
Cinta pertamanya juna
Dan di hadapan semua orang, Juna memperlakukan Renata seolah dialah satu-satunya yang layak berdiri di sampingnya.

Reani hanya bisa berdiri di antara keramaian, menyembunyikan air mata di balik senyum yang hancur.


Saat lampu pesta berkelip, ia membuat keputusan paling berani dalam hidupnya.

memutuskan tidak mencintai Juna lagi dan pergi.

Tapi siapa sangka, kepergiannya justru menjadi awal dari penyesalan panjang Juna... Bagaimana kelanjutan kisahnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18 : Kemenangan

Saat Voting selesai.

Ketua RUPS berdiri, mengetuk palu.

“Mayoritas mutlak setuju…

Posisi Wakil Direktur Utama diberikan kepada—Reani Wijaya.”

Tepuk tangan pecah.

Reani membungkuk tipis, tenang.

Breinzo mengetuk meja dua kali—versi dinginnya dari “selamat”.

Arian mencatat keputusan resmi.

Namun Juna…

wajahnya merah, hampir ungu.

Renata langsung berdiri sambil menunjuk-nunjuk.

“KALIAN SEMUA GILA! INI SABOTASE!

REANI LICIK! KALIAN SEMUA TERJEBAK!”

Juna menggebrak meja.

“KALIAN SEMUA MAU LIHAT PERUSAHAAN INI HANCUR!?”

Beberapa pemegang saham terkejut.

Yang lain sudah siap memanggil keamanan.

Bu Anggita ikut berteriak,

“Ini rapat apa kuburan akhlak!? PEREMPUAN TAK TAHU DIRI!”

Renata mengamuk sambil menahan perut—

dramatis, lebay, seperti sengaja ingin membuat Reani terlihat jahat.

Doroti berdiri…

menutup mapnya dengan sangat santai.

“Udahan dramanya, plis?”

Ia mengambil ponsel, menekan satu nomor cepat.

Semua mengira ia akan memanggil satpam.

Ternyata tidak.

Doroti tersenyum manis.

“Masuk.”

Pintu rapat terbuka.

Dan dunia berhenti.

Masuklah rombongan ibu-ibu kompleks—berjumlah sekitar dua puluh orang, memakai daster, kaos senam, bahkan ada yang masih pakai masker bunga-bunga.

Mereka membawa—

TELUR BUSUK.

PELESUNG BELANJA.

SPANDUK.

Renata memucat.

Juna bangkit kaget.

“A-apa ini!?”

Salah satu ibu-ibu mengangkat spanduk besar bertuliskan:

“PASANGAN MESUM VIRAL, KEMBALIKAN NAMA BAIK LINGKUNGAN!”

Doroti bersedekap.

Senyum tanpa dosa.

Ibu-ibu itu kompak berteriak.

“ITU MEREKA!! PASANGAN MESUM VIRAL!! SERBUUU!!!”

Lalu—

tanpa ampun—

TELUR BUSUK melayang.

Tuk...tuk...tukk..

Juna kena di dada.

Renata kena di rambut.

Bu Anggita kena di bahu.

Ruang rapat berubah menjadi konser lempar telur.

Para direksi menyingkir, menutupi wajah.

Arian memegang map sambil mundur.

Breinzo… hanya menatap tanpa ekspresi, tapi terlihat sangat menikmati.

Reani duduk santai, hanya menggeser kursi sedikit agar tidak terkena telur busuk itu.

Renata menjerit.

“BERHENTII!! KALIAN SEMUA GILA???”

Salah satu ibu menjawab lantang.

“GILA? KAMU YANG MESUM DASAR TIDAK TAU MALU. KALIAN BERDUA SUDAH VIRAL DI MANA-MANA!”

Ibu lain menimpali.

“SUDAH PUNYA ISTRI MASIIIIH AJA MAIN SERONG!”

Juna menutupi kepala.

“Ini salah paham! Saya—”

Seorang ibu melempar satu butir terakhir.

“PASANGAN MESUM!!!!”

Telur terakhir mendarat tepat di dahinya.

TUK..

Doroti tertawa kecil sambil terus mereka aksi itu kejutan apa Doroti.

“Nah, itu kejutan dari aku.

Biar kalian ngerasain apa rasanya jadi viral.”

Renata menangis sambil memegangi rambut yang lengket.

Juna terengah, wajahnya campur aduk telur dan rasa malu.

Bu Anggita mencoba lari keluar, tapi ibu-ibu lain sudah siap mengacungkan spanduk.

Ketua rapat akhirnya berteriak panik.

“Ke… keamanan!! Tolong keluarkan mereka semua!”

Doroti memutar tubuh, mendekati Reani dan berbisik,

“Gimana, Rea? Kejutan kecil yang menyegarkan pagi?”

Reani menahan tawa.

“Sangat efektif.”

Doroti menyeringai.

“Sykurlah jika kau suka.”

Setelah kejadian kacau-balau yang membuat seluruh peserta RUPS trauma akan telur busuk seumur hidup, Arian dan Breinzo memisahkan diri dari Doroti dan Reani.

Mereka berdua memiliki hal yang harus di diskusikan tentang bisnis mereka.

Sedangkan Reani dan Doroti keluar dari gedung Tekno Air dengan langkah ringan—seolah mereka baru saja selesai menghadiri acara penghargaan, bukan merusak reputasi dua manusia sampai titik nol.

Mobil keluarga Wijaya sudah menunggu.

Begitu pintu tertutup, Doroti langsung menyandarkan kepala sambil tertawa senang.

“Astaga, Rea… ekspresi Juna waktu kena telur di dahi… priceless banget!”

Reani menahan senyum sambil memeriksa kuku. “Dia layak mendapatkan itu. Lebih dari itu, sebenarnya.”

Doroti mengikat rambutnya tinggi-tinggi. “Yakin kamu nggak mau aku tambahin satu kejutan lagi? Tinggal bilang. Aku masih punya stok ibu-ibu kompleks yang lebih barbar.”

Reani terkekeh. “Nanti saja, Dor. Kita nikmati dulu kemenangan hari ini.”

__

Mobil berhenti di depan lobby utama Mall Grand Luxora, salah satu pusat perbelanjaan paling mewah di kota itu.

Begitu turun, orang-orang otomatis melirik.

Maklum.

Dua wanita Wijaya—melangkah masuk dengan aura mahal alami. Reani dengan dress hitam simple namun elegan, Doroti dengan blazer crop putih dan jeans premium. Keduanya seperti poster berjalan merek fashion internasional.

Doroti melirik sepupunya.

“Pertama ke mana? Prad? Guch? Dioz?”

Reani menatap daftar brand yang menjulang di depan mereka. “Hmm… Dioz dulu. Aku butuh heels baru.”

“Yuk. Kita borong sekalian,” jawab Doroti tanpa dosa.

__

Begitu masuk, dua pramuniaga langsung menyapa sambil menunduk.

“Selamat siang, Miss Wijaya… Miss Doroti… silakan.”

Reani mencoba beberapa heels berwarna nude. Doroti memilih tas limited edition yang baru saja masuk catalog.

Setiap kali mereka mencoba, pramuniaga langsung sibuk, takut salah melayani.

Doroti mengambil satu sepatu, menatapnya, lalu mengangkat alis pada Reani.

“Ambil warna hitamnya juga. Sama yang silver. Kamu jarang pakai silver.”

Reani mengangguk.

“Tambahkan ke bill saya.”

Pramuniaga senyum-senyum tegang.

Beberapa pengunjung mengintip dari balik rak sambil berbisik.

“Eh itu Reani Wijaya deh…”

“Iya, Anak Johan Wijaya dan Sisilia Subrata…”

“Astaga cantiknya asli ya…”

“Dan itu Doroti… sepupunya yang viral gara-gara kejutan ibu-ibu…”

“HSHSHSH iya aku liat videonya!”

Reani dan Doroti pura-pura tidak dengar.

Mereka check-out dengan tiga tas besar Dioz.

Setelahnya, Doroti menarik tangan Reani.

“Next, kita perbaiki rambut yang kena debu orang-orang tadi.”

Reani duduk di kursi VIP, langsung diselimuti jubah salon.

Hair stylist datang.

“Apa hari ini, Miss?”

Reani menyisir rambutnya dengan jari.

“Cuci, blow, soft waves. Jangan terlalu tinggi. Aku mau tampil… dingin tapi mematikan.”

Stylist mengangguk cepat.

“Siap, Miss. Cold elegant look.”

Doroti duduk di sebelahnya sambil memesan hair spa plus pijat kepala.

“Aku capek ketawa sejak tadi, sumpah.”

Reani tertawa kecil. “Kau sendiri yang membuat kejutan itu.”

“Dan aku bangga,” jawab Doroti santai.

Setelah rambut mereka sempurna, mereka memasuki butik parfum yang terkenal dengan koleksi eksklusifnya.

Pramuniaga langsung mengeluarkan botol—berlapis kristal.

“Parfum terbaru kami, untuk wanita dengan karakter kuat. Notenya dingin, tajam, tapi elegan.”

Reani mencium aromanya.

Matanya setengah terpejam.

“Hmmm…”

Doroti menatapnya.

“Oh itu Rea banget.”

Tanpa pikir panjang, Reani berkata,

“Saya ambil dua.”

Doroti menambahkan,

“Saya satu.”

Pramuniaga hampir salah mengucap kata saking senangnya.

Saat mereka keluar dari butik, tangan penuh shopping bag mahal, Doroti menoleh pada Reani.

“Rea… setelah apa yang terjadi hari ini… kamu sadar kan?”

Reani mengangkat alis.

“Sadar apa?”

Doroti tersenyum lebar.

“Kamu sudah mulai mengambil kembali hidupmu. Dan mereka—Juna, Renata—sebentar lagi… tinggal masa lalu yang memalukan.”

Reani berjalan seperti ratu, aura dinginnya menusuk, tapi anggun.

“Mereka memang akan jadi masa lalu. Tapi aku belum selesai.”

Doroti mengerling nakal.

“Aku tahu.”

Reani menggenggam tas Dioz-nya.

“Kita akan bermain dengan mereka.”

Doroti tertawa.

“Kau benar-benar cucu Oma Mayer.”

Reani hanya tersenyum tipis.

___

Sedangkan....

Di salah satu kamar hotel bintang lima—yang mendadak mereka tempati untuk menghindari malu pulang ke rumah—Juna dan Renata duduk berjauhan.

Renata masih memegangi rambutnya yang lengket sisa telur busuk. Juna wajahnya merah penuh bekas lemparan, air hangat dari shower bahkan belum mampu menghilangkan bau busuk itu.

Renata mulai bicara duluan.

“Jun… gimana ini? Semua orang lihat. Semua orang! Ibu-ibu itu—aku bahkan nggak tahu dari mana mereka muncul!”

Juna meremas rambutnya frustasi. “Aku juga nggak tahu! Doroti itu sinting! Reani juga! Mereka sengaja mempermalukan kita!”

Renata mengusap wajahnya, nyaris menangis. “Sekarang gimana? RUPS sudah selesai, kursi Direktur hilang dari kamu! Semua saham dukungan diambil Reani! Aku—aku bahkan nggak tahu harus ngomong apa ke keluargaku nanti!”

Suara pintu dibanting dari luar.

BRUK!

Lalu…

Sosok Bu Anggita, ibu Juna, menerobos masuk tanpa permisi.

Wajahnya marah besar.

“Nak! Junaaa!!”

Juna berdiri tegak. “Bu… aku—”

“DIAM KAMU!” bentak ibunya sambil menunjuk keras.

Renata membeku.

Bu Anggita tidak melihat Juna dulu. Dia langsung mendekat ke Renata, seperti harimau mengincar mangsa.

“KAMU!” telunjuknya hampir menyentuh wajah Renata.

“Kamu! Ini salah kamu, semua orang tahu! Juna punya istri tapi kamu sengaja memperlihatkan kalau Juna selingkuhan kamu.”

Renata memucat.

“Bu.... saya—”

PLAK!

Renata terpental ke samping sofa.

“Kalau kamu berpikir aku akan menyalahkan Juna… SALAH BESAR!” kata Bu Anggita sambil terengah.

“Aku tau kamu hamil! Tapi aku nggak harap kursi direktur itu direbut Reani.”

Renata menahan air mata. “Saya tidak bermaksud, Bu… kami hanya—”

“BOHONG!!”

Bu Anggita menunjuk keras.

“Aku nggak mau tau! Pokoknya kalian harus cari cara mengambil kursi itu kembali.”

Juna ikut menengahi.

“Ma! Jangan salahkan Renata—”

“Junaaaa!”

Ibunya berbalik, mendekat.

“Mama tidak mau tau!”

Renata menggigit bibir kuat-kuat, menahan sakit dan malu.

Bu Anggita menunjuknya lagi.

“Kalian harus klarifikasi dan mempertahankan pernikahan mu dengan Reani. Walaupun kamu harus pura-pura.”

“Ma, aku dan Reani menikah tapi tidak punya surat nikah mama tau itu kan? Aku harap mama nggak maksa aku.”

Juna frustasi.

Hatinya berantakan. Kepalanya penuh hinaan. Tapi dia tidak tahan melihat Renata diserang terus.

Bu Anggita terdiam beberapa detik—lalu menunjuk keduanya sekali lagi.

“KAMU BODOH!”

Ia menghela napas panjang.

“Mulai sekarang mama mau kamu menenangkan Reani dan mencoba baikan sama dia. Kamu harus mendapatkan kursi direktur itu kembali!”

Renata membeku.

Juna tampak tersengat.

“Ma… jangan begini…”

“TIDAK ADA TAWAR MENAWAR!”

Ibu Juna menatap mereka.

“Sampai masalah ini selesai, kalian tidak boleh bertemu sementara—”

Ia mengibaskan tangan ke arah Renata.

“Dan kamu tinggal di rumah kamu sendiri jangan keluar dulu.”

Tanpa menunggu jawaban, Bu Anggita keluar sambil membanting pintu keras.

BRAKKK!!!

Suasana kamar hening.

Renata menatap kosong.

Juna memegang kepalanya, nafasnya memburu.

Renata bergetar.

“Jun…”

Juna tidak menjawab.

Renata mendekat, suaranya parau.

“Kamu… kamu tidak akan nurut kan? Kamu tidak akan ninggalin aku kan?”

Juna masih diam.

Dan itu lebih menyakitkan daripada tamparan Bu Anggita tadi.

Renata mulai menangis keras. “Jun!! Katakan sesuatu!!”

Juna mengepalkan tangan.

Matanya merah.

Suaranya serak.

“Reani… sudah merusak segalanya…”

Renata terpaku.

“Kita… sedang jatuh, Re. Dan aku… bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan hubungan kita.”

Renata mencengkeram lengan Juna.

“Juna—”

“Re…”

Juna menarik napas dalam-dalam.

“Kita nggak punya cara lain.”

Renata menatapnya dengan tatapan orang yang baru saja kalah perang.

Juna menatap jauh ke depan, suaranya nyaris patah.

“Semua ini… gara-gara Reani.”

bersambung.....

1
Noor hidayati
wah saingan juna ga kaleng kaleng
Noor hidayati
ayahnya juna tinggal diluar kota kan,waktu ayahnya meninggal juna balik kampung,ibunya juna itu tinggal dikampung juga atau dikota sama dengan juna,ibunya juna kok bisa ikut campur tentang perusahaan dan gayanya bak sosialita,aku kira ibunya juna tinggal dikampung dan hidup bersahaja
drpiupou: balik Lampung bukan kampung beneran kak, maksudnya kita kecil gitu.
ibunya Juna itu sok kaya kak 🤣
total 1 replies
Noor hidayati
mereka berdua,juna dan renata belum mendapatkan syok terapi,mungkin kalau juna sudah tahu reani anak konglomerat dia akan berbalik mengejar reani dan meninggalkan renata
drpiupou: bener kak
total 1 replies
Noor hidayati
lanjuuuuuuuut
Aulia
rekomended
drpiupou
🌹🕊️🕊️👍👍👍👍
Noor hidayati
apa rambut yang sudah disanggul bisa disibak kan thor🙏🙏
drpiupou: makasih reader, udah diperbaiki/Smile/
total 2 replies
Noor hidayati
juna berarti ga kenal keluarga reani
drpiupou: bener kak, nanti akan ada di eps selanjutnya.
total 2 replies
Noor hidayati
definisi orang tidak tahu diri banget,ditolong malah menggigit orang yang menolongnya,juna dan renata siap siap saja kehancuran sudah didepan mata
Noor hidayati
lanjuuuuuuut
Noor hidayati
kok belum up juga
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!