menceritakan kisah cinta antara seorang santriwati dengan seorang Gus yang berawal dari permusuhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riyaya Ntaap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
lamaran
**
" Ngapain pake gamis sih, ma. Memangnya hari ini diva mau berangkat lagi, balik ke pondok pesantren gitu? " Diva meletakkan kembali gamis yang sudah sempat ia angkat dan lihat.
Jarum jam di dinding masih menunjukkan pukul setengah delapan pagi, diva pun tampak sangat bermalas-malasan untuk mandi.
" Kita ada tamu bentar lagi diva, biar kelihatan sopan kamu harus pake gamis. "
" Ah elah ma, tamu doang, bukan presiden. "
Diva berjalan menjauh dari sang mama, ia kembali naik ke atas tempat tidurnya. Diva sudah bersiap siap untuk kembali masuk ke alam mimpi yang indah.
Nadira dengan cepat berjalan menghampiri anaknya, tangannya bergerak mencekal pergelangan tangan diva yang hendak menarik selimut menutupi tubuhnya.
" Maa... Diva mau tidur. " Keluhnya. Diva memasang wajah memelasnya.
" Ga! Cepet mandi. Pake gamisnya, bentar lagi Gus Zindan sama keluarganya datang. "
Mendengar nama Gus Zindan di sebut oleh sang mama, membuat diva langsung duduk tegak. Raut wajahnya tampak begitu tegang, mendadak ada perasaan tidak nyaman yang menyelusup di hatinya, seperti akan terjadi sesuatu padanya.
" Gus Zindan, ma? " Ulang diva, yang langsung di angguki sang mama.
" Ngapain? " Tanya diva lagi, dengan wajah polosnya.
" Mau ngelamar kamu, udah ah cepet mandi, jangan banyak cingcong. "
" Idih, tiba tiba banget. "
Diva tampak mendengus sebal, merasa bahwa candaan mama nya hari ini begitu tidak lucu.
Nadira yang sudah begitu muak melihat diva tak kunjung bangkit dari duduknya, lantas menarik pergelangan tangan diva hingga turun dari tempat tidur. Di dorongnya sang putri hingga menuju kamar mandi, tak di hiraukan nya teriakan diva yang berulang kali mengatakan tidak ingin mandi.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, diva keluar dari kamar mandi. Ia mengedarkan pandangannya menelusuri seluruh ruang kamarnya mencari keberadaan sang mama, namun tak kunjung terlihat oleh matanya.
Diva mengedikkan bahunya acuh, ia berjalan menuju lemari untuk mencari dalamannya. Antara percaya tidak percaya dengan perkataan sang mama, diva pun menurut untuk memakai gamis yang di berikan mamanya tadi.
Setelah semuanya siap, diva mematut wajahnya di depan cermin. Wajahnya sudah tampak begitu segar, aroma di tubuhnya pun menguar begitu wangi, entah itu dari handbody nya ataupun parfumnya, yang jelasnya semua itu di beli dengan harga mahal.
" Aih diva, cantiknya. Pangeran tampan mana yang menjadi jodohmu kelak " diva tersenyum manis di depan cermin, memuji dirinya sendiri. Membayangkan akan setampan apa calon suaminya di masa depan kelak.
**
" APAAA?! " kaget diva. Wajahnya berubah menjadi begitu pucat pasi.
Ia menatap sang mama dengan penuh tanda tanya, sedangkan sang mama hanya mengukir sebuah senyuman penuh arti di wajahnya.
Ingin rasanya diva berpura pura pingsan saat ini, menghadapi suatu kenyataan berat untuknya, namun itu hanya akan semakin menambah malu dirinya.
" Gus Zindan ga salah alamat kan? " Pelan, diva bertanya. Ia tampak mengurai senyuman penuh paksa di wajahnya.
Mana bisa diva tersenyum manis, semanis saat ia berkaca tadi sebelum turun ke ruang keluarga dan mendapati Gus Zindan dengan anggota keluarganya.
Dengan adanya pertanyaan yang diva lontarkan, membuat Gus Zindan menggelengkan kepalanya pelan dengan sopan. Wajahnya yang tampan tampak begitu serius, tak ada sedikitpun raut bercanda.
" Saya dan niat saya serius, diva. "
" Ya Allah ya Allah.... Yang bener aja Gus. Diva loh masih anak anak, masih kinyis kinyis nya. Masa udah di suruh nikah, sama yang udah konyos konyos pula. " Celetuk diva dengan asal.
Diva langsung memukul mulutnya sendiri yang sudah keceplosan. Itu adalah kalimat yang ia lontarkan di dalam hati, namun siapa sangka malah keluar dari mulutnya.
Gus Alip mengulum bibirnya, menahan tawa mendengar perkataan diva. Belum menikah saja, Gus Zindan sudah di bully oleh diva, apalagi jika sudah menikah. Maka hari hari Gus Zindan akan di penuhi dengan Bullyan.
Sementara itu Gus Zindan hanya bisa tersenyum paksa, berusaha untuk tidak mengata-ngatai diva yang sudah lebih dulu mengejeknya.
**
" Maa, diva ga mau nikah sama Gus Zindan. " Rengek diva. Matanya sudah tampak begitu bengkak, menangisi hal ini.
Diva memang tidak di beri pilihan apapun oleh sang mama, ia hanya bisa menerima Tampa bisa menolak. Makanya sedari tadi diva menangisi hal ini. Ia meratapi masa depannya yang entah akan menjadi apa jika menikah di usia muda.
" Yaudah oke, kamu ga usah nikah sama Gus Zindan. Kamu nikah sama temen bisnis mama aja, kebetulan dia lagi cari calon istri. "
Mata diva seketika berbinar, sebenarnya yang ia takutkan bukanlah menikah di usia muda, melainkan sosok pria yang akan menjadi pasangannya.
Diva merasa, menikah dengan Gus Zindan hanya akan membuatnya hidup di bawah tekanan tinggi. Diva mulai membayangkan hari harinya yang akan di penuhi dengan Omelan Gus Zindan saja.
" Gapapa, diva terima. Asal ga sama Gus Zindan. " Ia perlahan bangkit dari duduknya di lantai. Kedua tangannya di pakai untuk mengelap air matanya yang sudah membanjiri wajahnya, secara bergantian.
" Yaudah kalau gitu, ini orangnya. Besok kamu nikah sama dia, lumayan bisnis mama jadi lebih berkembang. " Nadira menunjukan foto seseorang pada diva melalui layar ponselnya.
" Allahuakbar " katanya mengucap takbir, usai melihat sosok pria berkumis tebal dengan wajah yang penuh aura cabul.
Ia menatap sang mama, Nadira pun membalas tatapan diva dengan senyuman manisnya. Diva merasa sesak nafas ketika kembali melihat foto yang di tunjukkan oleh mama nya.
" Yaudah sama Gus Zindan aja deh ma " walaupun kenyataan ini begitu pait untuk ia lontarkan dari mulutnya, diva benar benar harus mengatakan hal itu.
Setidaknya Gus Zindan lebih muda dari pria yang sang mama tunjukan padanya, setidaknya pula cukup tampan.
Mendengar keputusan akhir diva, Nadira tersenyum lega. Rencana nya berhasil. Tidak sia sia ia mencari foto pria yang jelek di aplikasi pinterest, hanya untuk menakut nakuti diva.
**
" Bang, diva besok nikah " diva mendobrak pintu kamar Azka, ia langsung menghampiri Azka di tempat tidur pria itu.
Dengan manja diva langsung memeluk abangnya, seraya menangis sekejer-kejernya. Semua ini terjadi begitu cepat baginya. Tiba tiba hari ini di lamar dan tiba tiba besok menikah. Lalu lusa? Lusa sang mama akan pindah ke Jerman begitupun dengan abangnya. Tinggallah ia seorang diri di Indonesia.
Diva merasa bahwa hidupnya begitu sial, menikah dengan orang yang tidak di cintai, dan di tinggal oleh keluarganya yang pindah semakin jauh darinya.
Azka membalas pelukan diva tak kalah erat. Sama seperti diva yang menangis, Azka pun Tampa sadar ikut menjatuhkan buliran buliran bening dari kelopak matanya.
" Jangan nangis ah, nanti tambah pendek. " Azka tampak berusaha menghibur sang adik, tangannya bergerak mengelus rambut panjang diva yang tengah di gerai bebas.
Bukannya berhenti menangis, diva justru semakin kejer. Ia merasa benar benar tidak memiliki kesiapan apapun.
" Dek, udah ya.... " Hati Azka merasa begitu pilu mendengar suara adik semata wayang nya menangis. Ini kesekian kalinya ia melihat sang adik menangis. Terakhir kali ia melihat diva menangis karena kabar pernikahan lingga, dan kini ia kembali melihat adiknya menangis.
" Diva ga mau nikah, diva ga mau di tinggal mama sama Abang pindah ke Jerman. " Katanya, di sela Isak tangisnya .
Azka memejamkan matanya, ia juga tidak siap jika harus pindah ke Jerman dan meninggalkan adiknya seorang diri di Indonesia walaupun nantinya ia meninggalkan diva dengan status istri dari Gus Zindan.