NovelToon NovelToon
THE SECRET AFFAIR

THE SECRET AFFAIR

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Cintapertama
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Neon Light

Seharusnya kehidupan Serena sempurna memiliki kekasih tampan dan kaya serta mencintainya, dia semakin yakin bahwa cinta sejati itu nyata.


Namun takdir mempermainkannya ketika sebuah malam kelam menyeretnya ke dalam pelukan Nicolás Navarro—paman dari kekasihnya, pria dewasa yang dingin, berkuasa, dan telah menikah lewat perjodohan tanpa cinta.

Yang terjadi malam itu seharusnya terkubur dan terlupakan, tapi pria yang sudah memiliki istri itu justru terus menjeratnya dalam pusaran perselingkuhan yang harus dirahasiakan meski bukan kemauannya.

“Kau milikku, Serena. Aku tak peduli kau kekasih siapa. Malam itu sudah cukup untuk mengikatmu padaku... selamanya.”


Bagaimana hubungan Serena dengan kekasihnya? Lantas apakah Serena benar-benar akan terjerat dalam pusaran terlarang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Neon Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

27

Jarum jam di pergelangan tangan Serena menunjukkan pukul tiga kurang lima menit ketika langkah kakinya berhenti di taman kampus. Udara sore terasa hangat, dedaunan berdesir lembut diterpa angin, dan aroma rumput basah bercampur dengan wangi bunga bugenvil yang tumbuh di sepanjang jalur pejalan kaki. Serena memeriksa jam sekali lagi, memastikan dirinya tidak terlambat, bahkan datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan.

Di tengah taman yang teduh, di bawah pohon besar yang menaungi bangku kayu panjang, seorang lelaki berjas hitam dengan kemeja putih duduk santai sambil membaca catatan. Tatapan tajam dan wajahnya yang tegas membuat beberapa mahasiswa yang lewat tidak berani menatap lama-lama. Begitu melihat Serena datang, lelaki itu melirik sekilas lalu berkata datar tanpa mengangkat wajah,

“Tumben tepat waktu.”

Nada bicaranya terdengar seperti teguran, tapi Serena tahu, di balik kata-kata dingin itu terselip nada menggoda yang halus.

“Aku tidak mau kena sanksi,” jawab Serena cepat, duduk di sisi lain bangku sambil menutup wajahnya dengan buku. “Ngomong-ngomong, harus banget, ya, belajar di tempat umum begini?”

Nicholas menutup bukunya perlahan, lalu menoleh ke arahnya. “Kenapa? Mau yang sepi?” tanya Nicholas dengan senyum tipis yang muncul di sudut bibirnya.

Serena langsung menegakkan duduknya, wajahnya menegang. “Tidak! Sudahlah, cepatlah!” katanya buru-buru, membuka buku catatannya dan berlagak serius.

Nicholas memperhatikan Serena sejenak. Pandangannya tajam, namun ada sesuatu yang berbeda hari itu—sorot lembut yang jarang muncul. “Kamu menangis semalaman hanya karena ucapan mereka?” tanyanya dengan nada datar, tapi tatapannya menembus.

“Jangan ikut campur. Sok tahu!” balas Serena cepat, tanpa menoleh. “Cepatlah, aku mau fokus belajar.”

Nicholas menghela napas, lalu berkata pelan namun tegas, “Jangan menangisi hal yang tidak berguna, Salvatierra.”

Serena menatap ke bawah, memandangi tas di pangkuannya. “Aku tahu,” jawabnya singkat, suaranya nyaris tak terdengar.

Nicholas tidak menanggapi lagi. Dia membuka buku dan memulai sesi belajar dengan nada suara yang tenang, seolah tidak ingin menekan Serena. Penjelasannya runtut, cara bicaranya teratur, dan Serena mendengarkan dengan saksama, mencoba menyingkirkan segala beban di pikirannya.

Namun, di tengah penjelasan, perut Serena tiba-tiba berbunyi keras. Wajahnya seketika memerah. Dia berusaha menutupinya dengan menunduk. “Maaf,” ucapnya cepat, menahan malu. “Baiklah, lanjutkan saja.”

Nicholas menatapnya sejenak, lalu tertawa kecil tanpa suara. “Lapar?” tanyanya tenang. “Ayo kita makan sebentar ke kantin.”

Serena langsung menggeleng cepat. “Tidak, ah! Bisa-bisa semua orang tahu kalau kita dekat,” elaknya, berusaha menyembunyikan rasa malunya di balik sikap ketus.

“Memangnya sekarang kita sedang pendekatan, ya?” tanya Nicholas dengan nada menggoda, bibirnya melengkung samar namun matanya tetap dingin.

“Hah! Maaf?” Serena menatapnya tajam. “Maksudku, aku tidak mau orang tahu kamu dekat-dekat sama aku!”

Nicholas menutup bukunya perlahan dan bersandar ke kursi. “Kalau kamu tidak makan, kamu tidak akan fokus. Nanti aku juga yang repot,” ucapnya tenang. Dalam hatinya, dia tidak tega melihat Serena berusaha menutupi rasa malunya dengan kemarahan. Ada sesuatu dalam diri gadis itu yang membuatnya ingin melindungi—meski dia sendiri belum mengerti alasannya.

“Cepat, ayo,” lanjut Nicholas, berdiri dan menatap Serena dengan sorot mata tegas. “Atau mau aku gendong ke sana?”

Serena terbelalak. “Baik, aku setuju!” serunya cepat. “Aku mau makan, tapi kamu jangan dekat-dekat. Kita duduk di meja berbeda. Sepakat?”

Nicholas menatapnya tanpa ekspresi. “Tidak masalah.”

Serena pun berjalan mendahului, langkahnya cepat dan agak kikuk, berusaha menjaga jarak agar tidak terlihat berjalan bersama. Sementara Nicholas mengikuti di belakang dengan kecepatan tenang, sesekali menatap punggung gadis itu yang tampak begitu kaku namun tetap anggun dalam keengganannya.

Beberapa mahasiswa memperhatikan mereka saat melewati taman, sebagian berbisik-bisik, sebagian hanya menatap heran. Serena semakin mempercepat langkah, berharap tidak ada yang salah paham.

Di belakangnya, Nicholas justru tersenyum samar, menikmati setiap gerak gugup gadis yang kini tanpa sadar telah menjadi pusat perhatiannya.

Saat langkah Serena berhenti di depan kantin, suara yang begitu dikenalnya memanggil dari kejauhan.

“Serena!”

Seorang lelaki berlari kecil menghampiri, wajahnya tampak sedikit lelah.

“Gabriel?” gumam Serena dengan nada datar, hampir tanpa ekspresi. “Kamu belum pulang?”

Alih-alih menjawab, Gabriel malah langsung menatapnya dengan sorot gelisah. “Kamu marah padaku, ya? Seharian ini aku susah sekali menghubungi kamu. Ada apa?”

“Tidak,” jawab Serena singkat, langkahnya tetap terarah menuju kantin tanpa menoleh sedikit pun.

Gabriel berjalan cepat, menyamakan langkah, seolah takut Serena benar-benar pergi menjauh. “Aku minta maaf soal semalam. Aku tahu kamu dan orang tuamu pasti kecewa. Tapi jujur, Serena, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku juga terkejut dengan apa yang mereka katakan malam itu.”

Serena tidak menanggapi. Suaranya tenggelam dalam derap langkah di koridor. Gabriel akhirnya berdiri di hadapan, menahan langkahnya. “Sayang, tolong dengarkan aku. Maafkan aku, ya?”

“Hmm.”

Hanya gumaman singkat yang keluar dari bibir Serena sebelum dia melangkah melewati Gabriel dan memasuki kantin tanpa menoleh, lantas mengambil makanan.

Gabriel sempat menatap punggung Serena, hingga matanya menangkap sosok lain di sudut ruangan—Nicholas, duduk tenang dengan ekspresi sulit diterka. Sesaat, sesuatu dalam diri Gabriel bergetar. Sejak kapan pria itu ada di sana? Apakah mereka memang sengaja bertemu?

Langkah Gabriel semakin cepat. Nada suaranya meninggi tanpa bisa dikendalikan. “Hei! Mengapa kamu terus mendekati pacarku, hah?”

Nicholas mengangkat wajah perlahan, menatap mereka berdua dengan tenang, seolah amarah Gabriel hanya angin lalu. Bibirnya membentuk senyum tipis yang terasa menusuk.

“Pacar? Nanti juga putus.”

Serena menoleh cepat, sementara wajah Gabriel memerah karena emosi.

“Apa kamu bilang!”

“Gabriel, sudah,” ucap Serena akhirnya, mencoba menahan ledakan emosi yang kian membara di antara keduanya. “Untuk apa dipermasalahkan seperti ini?”

Gabriel memutar tubuh menatap Serena dengan tajam. “Lalu mengapa kamu berjalan dengan dia?”

“Siapa juga yang berjalan dengan dia? Aku bahkan tidak tahu kalau dia ada di belakangku.” Serena menatap balik, berusaha menenangkan situasi yang semakin tidak terkendali.

“Benar begitu?” Nada Gabriel berubah tajam. “Kamu tidak sedang berbohong padaku, kan?”

Serena menarik napas dalam, menatap Gabriel dengan sorot kecewa. “Kamu sudah tidak percaya padaku? Lagipula, untuk apa aku berjalan dengan pria yang sudah beristri? Seolah tidak ada pria lain saja.”

Kata-kata itu membuat Nicholas yang semula tampak tenang menatap tajam ke arah Serena. Dahinya berkerut, ada sedikit gurat tidak terima yang tersirat di matanya. Sementara Gabriel sendiri terdiam, seolah ucapannya ikut menampar harga dirinya.

Hening sejenak menyelimuti meja kantin itu. Di tengah banyak pasang mata yang diam-diam memperhatikan, tiga orang dalam ketegangan.

*

*

 Dalam hati Serena, kata-kata yang tidak bisa terucap mengalir pelan. Maafkan aku, Gabriel. Aku terpaksa berbohong. Anggap saja ini balasan untukmu.

Tatapan matanya sekilas melirik ke arah Gabriel yang kini mulai terlihat lebih tenang. Lelaki itu tampaknya mulai mempercayai penjelasannya, bahkan terlihat berusaha melupakan kehadiran Nicholas yang duduk tak jauh dari mereka. Namun, di balik wajahnya yang tampak dingin, ada bara amarah yang nyaris tak tertahan—keinginan untuk menghajar Nicholas masih menyala di dadanya, meskipun dia memilih menahan diri demi Serena.

“Kamu kenapa belum pulang?” tanya Serena berusaha memecah keheningan yang mulai terasa ganjil.

Gabriel mengembuskan napas perlahan. “Tadi habis bertemu dosen, Sayang. Kamu masih belajar?”

“Iya, masih. Tapi belum selesai. Aku lapar, jadi ya istirahat dulu sebentar,” jawab Serena, mencoba terdengar biasa.

Gabriel tersenyum kecil, lalu duduk menemani kekasihnya. Mereka makan sambil bercakap ringan, seolah tak pernah ada pertengkaran sebelumnya. Dari luar, keduanya tampak seperti pasangan muda yang saling mencintai tanpa beban. Namun, di meja lain, Nicholas duduk diam menatap mereka dengan tatapan yang nyaris membakar udara di sekitarnya.

Di hadapannya, dua gelas jus telah kosong. Tangan kirinya menahan dagu, sementara tangan kanan menggenggam ponsel dengan kuat. Suhu tubuhnya terasa meningkat, seolah api cemburu yang membara dalam dada benar-benar menjalar ke seluruh tubuh. Tatapannya tajam, mengikuti setiap gerak Serena yang masih sempat tersenyum pada Gabriel.

Sampai akhirnya, Nicholas mengetik sesuatu di layar ponselnya dengan gerakan cepat dan tegas.

“Makan lebih cepat! Aku tidak punya waktu banyak untuk mengurus kamu. Aku tunggu di basement.”

Pesan itu sampai di ponsel Serena. Begitu layar menyala dan nama Nicholas muncul, wajahnya langsung memucat. Hatinya seolah diremas oleh ketakutan yang tak bisa dijelaskan. Seketika bayangan hukuman dari pria itu muncul di benaknya, meskipun dia belum tahu seperti apa bentuknya.

Serena meletakkan sendoknya perlahan dan memaksa bibirnya tersenyum. “Gabriel, maaf, aku harus pergi. Sopir sudah menjemput.”

Gabriel menatapnya dengan sedikit heran. “Sekarang?”

“Iya, aku harus segera pulang. Kamu cepat pulang juga, ya. Hati-hati di jalan,” ucap Serena cepat, lalu berdiri dan pergi tanpa memanggilnya dengan sebutan sayang seperti biasa.

Gabriel menatap punggung Serena yang menjauh dengan perasaan campur aduk. Ada sesuatu yang terasa aneh, tapi dia berusaha menepisnya. “Mungkin dia masih marah. Aku akan membuatnya luluh lagi,” pikirnya dalam hati. Namun sesaat kemudian, keraguan itu kembali muncul. “Tunggu... dia dijemput sopir? Bukankah biasanya dia pulang sendiri?”

Sementara itu, Serena sudah berlari menuruni tangga menuju basement. Udara di sana terasa lembap dan dingin. Setiap langkahnya dipenuhi rasa cemas. Dia tidak tahu di mana Nicholas memarkir mobilnya, tapi firasatnya mengatakan pria itu pasti sudah menunggu.

Dia berdiri di antara deretan mobil yang berjajar, menatap ke sekeliling dengan jantung yang berdebar tak menentu. Hingga tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar deru mesin mendekat cepat. Sebuah mobil hitam meluncur ke arahnya dengan kecepatan tinggi sebelum berhenti mendadak hanya beberapa jengkal di depannya.

Serena tersentak dan refleks menutup wajahnya dengan kedua tangan. Nafasnya tercekat, tubuhnya gemetar. Perlahan dia menurunkan tangannya dan menatap ke arah mobil itu—Nicholas duduk di balik kemudi, menatapnya dengan sorot mata tajam dan penuh tekanan.

“Kamu gila, ya? Mau membunuhku?” seru Serena dengan nada tajam, meski suaranya bergetar.

“Cepat masuk,” sahut Nicholas dingin dari balik jendela mobilnya. Suaranya dalam, tenang, tapi menyimpan ancaman yang tak perlu dijelaskan lagi.

Serena terdiam sesaat, lalu menatap sekeliling, memastikan tidak ada orang lain di sana. Tubuhnya terasa kaku, tapi kakinya justru melangkah mendekat. Dalam hatinya, ia tahu—tidak ada pilihan lain selain menuruti perintah pria itu. Karena sekali Nicholas kehilangan kesabaran, konsekuensinya tidak akan ringan.

To be continued

1
Haris Saputra
Keren banget thor, semangat terus ya!
𝙋𝙚𝙣𝙖𝙥𝙞𝙖𝙣𝙤𝙝📝: Halo kak baca juga d novel ku 𝘼𝙙𝙯𝙖𝙙𝙞𝙣𝙖 𝙞𝙨𝙩𝙧𝙞 𝙨𝙖𝙣𝙜 𝙜𝙪𝙨 𝙧𝙖𝙝𝙖𝙨𝙞𝙖 atau klik akun profilku ya, trmksh🙏
total 1 replies
Nana Mina 26
Terima kasih telah menulis cerita yang menghibur, author.
riez onetwo
Ga nyangka sebagus ini!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!