"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."
Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."
~ Serena Azura Auliana~
:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+
Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.
Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.
Pria Gila!
Usai kepergian Adhan dan Claudia, Serena merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang telah ia tinggalkan untuk waktu beberapa saat.
Kamar ini terasa sunyi, Serena akui itu, tapi dia sangat menyukai suasana yang seperti ini. Satu-satunya tempat untuk menjauhkan diri dari hiruk pikuk dunia yang melelahkan.
Meski bagi sebagian orang terdengar aneh, Serena justru menemukan ketenangan dalam kesendirian. Di ruang seperti inilah, ia bisa perlahan menyusun kembali napasnya, mengisi ulang energi kehidupan yang sempat terkuras habis—setelah berkali-kali dihantam oleh masalah yang datang tanpa jeda.
Saat merebahkan diri di atas tempat tidur, Serena merasakan permukaan kasur yang dingin. Itu adalah hal yang wajar, mengingat sudah sehari satu malam dia tinggal di rumah sakit, membuat tempat tidurnya ini tidak terjamah oleh suhu tubuh manusia selama itu.
Dia pun melirik ke arah jendela. Langit di luar tampak cerah dan jernih, dengan matahari yang mulai naik tinggi tapi belum terasa terik.
Serena menguap pelan. Kelopak matanya mulai terasa berat. Tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih, dan pikirannya pun terasa lelah—penuh dengan bayangan dan kekhawatiran yang belum sempat ia benahi. Dia butuh istirahat, bukan hanya untuk tubuh yang baru saja pulih dari sakit, tapi juga untuk hati dan kepala yang terasa semerawut seperti benang kusut.
"Aku akan tidur dulu sebentar ... nanti Dzuhur bangun lagi untuk salat," gumamnya dalam hati.
Perlahan, kelopak mata gadis itu mulai tertutup rapat. Rasa lelah merayap naik, dan akhirnya, kesunyian itu membawa Serena hanyut dalam istirahat yang dalam. Istirahat yang ia harapkan bisa mengembalikan kesehatannya.
***
Serena menghela napas lega sambil menyunggingkan senyum di kedua sudut bibirnya. Pandangannya jatuh menatap bangunan di depan mata.
Di sinilah dia berada sekarang, tepat di depan pintu kantor dengan wajah yang tampak jauh lebih baik dari sebelumnya.
Begitu melangkah ke dalam, seseorang langsung menyambutnya dengan penuh semangat.
"Serenaaa!" suara nyaring yang terdengar khas menyambut dengan pelukan yang berhasil membuat Serena terkejut.
Detik itu juga, tubuh Serena menegang.
Sejujurnya, ia bukan tipe orang yang nyaman dengan kontak fisik, apalagi di depan umum. Tapi demi Lila yang terlihat begitu mengkhawatirkannya, dia mencoba untuk menahan diri. Setidaknya, dia tidak boleh membuat sahabatnya itu menjadi berkecil hati.
"Rere-ku, kamu beneran udah sehat, kan?" tanya Lila sambil melepaskan pelukan.
Serena mengernyit pelan. "Rere?"
"Iya, Rere. Itu nama panggilan aku buat Rere. Supaya kita bisa lebih akrab lagi. Kalau Serena tuh ... kepanjangan. Kamu nggak suka dipanggil Rere?"
Serena terdiam sejenak. Sudah lama ia tidak mendengar nama panggilan itu. Rere adalah nama panggilannya sewaktu kecil dulu. Ada perasaan nostalgia saat mendengarnya. Sedikit perasaan rindu, hangat dan juga menyakitkan. Karena ibunya juga sering memanggilnya dengan sebutan Rere.
"Enggak kok. Aku suka," ucap Serena sambil tersenyum tulus
Tidak buruk sama sekali untuk mendengar nama panggilan itu dari orang lain. Lagi pula, itu hanya sekadar nama panggilan biasa, tidak ada kaitannya sama sekali dengan luka masa lalu yang dia dapatkan.
Menilai bahwa Serena sudah benar-benar sembuh, Lila lantas menggandeng lengan temannya itu. Dia terlihat sangat antusias.
Mereka berjalan menuju meja resepsionis, tempat Serena menyimpan tasnya di dalam laci kecil di balik meja.
"Oh, ya, Lila. Selama aku absen, kamu nggak kesulitan sama sekali, kan? Aku benar-benar nggak enak ninggalin kamu, meski cuma satu hari. Kamu pasti kewalahan." Serena menoleh, memastikan Lila baik-baik saja selama menggantikannya.
"Tenang aja, Bos. Jangan remehkan, Lila. Selama kamu absen, aku masih bisa handle semuanya. Yaa, walaupun agak keteteran dikit sih, karena ternyata ngadepin customer itu bikin level kesabaran jadi mendekati garis merah."
Serena tidak bisa menahan tawa saat mendengar curhatan Lila tentang hari panjang dan sibuk yang ia lalui kemarin.
"Oh, iya, kemaren itu ada calon anak baru. Kayaknya baru lulus sekolah, deh. Soalnya keliatan masih kecil banget. Kemungkinan hari ini dipanggil buat wawancara."
"Oh ya? Kamu tahu siapa?"
"Kalo aku gak salah ingat sih, namanya Ratih, yaa. Kebetulan kemarin aku yang sambut. Aku nggak ngajak dia ngobrol, jadi nggak terlalu tahu gimana orangnya."
"Yaah, semoga aja kita bisa berteman dengan baik. Supaya kita bisa tetap nyaman dan betah kerja di sini."
"Aku juga setuju sih. Semoga nanti dia bisa sefrekuensi dengan kita, ya."
Satu ide baik melintas dalam kepala Serena. Ia menoleh pada Lila dan menatapnya penuh makna. "Lila, gimana kalau hari ini aku traktir kamu. Kamu mau minum atau, mau makan apa? Ini sebagai ucapan terima kasih aku, karena kamu udah susah payah ngerjain job desk aku selama aku sakit. Nggak Nerima penolakan sama sekali. Kalo kamu nolak, bakal tetep aku beliin sesuai seleraku!"
Lila mengernyitkan dahi, tanda tak setuju dengan tawaran Serena karena dia nggak bisa memilih opsi penolakan sama sekali. Mau nggak mau, dia hanya bisa menuruti permintaan Serena yang berniat mentraktirnya.
Tiba-tiba saja, Lila teringat sesuatu yang harus segera dia sampaikan kepada Serena.
"Eh, Rere. Aku baru ingat! Kemarin, tunanganmu sempat nelpon ke kantor."
Serena terpaku. Dadanya seketika mengencang. Seperti ada batu besar yang mendadak menghantam perutnya. Ia merasakan hawa panas dingin menyapa tengkuknya, disusul jemari yang sedikit bergetar.
Dia tidak menyangka, Brian akan senekat itu.
Menghubungi kantor? Untuk bicara denganku?
Gila ... pria itu benar-benar sudah gila.
Pikirannya langsung kacau. Bagaimana kalau Brian nekat datang langsung ke sini? Bagaimana kalau dia membuat keributan? Bagaimana kalau dia melakukan sesuatu yang bisa membuat Serena kehilangan pekerjaan?
Jika sampai dia dipecat karena perbuatan Brian, seumur hidup Serena tidak akan pernah memaafkannya. Pekerjaan ini adalah satu-satunya yang dia miliki. Satu-satunya pegangan untuk tetap bertahan hidup.
Dan pria itu—dengan segala keegoisannya—berani-beraninya mengusik tempat ini juga?
Lila menoleh dan melihat Serena menekan pelipisnya. Wajahnya masih pucat, membuat kekhawatiran langsung muncul di benak gadis itu.
"Rere ... kamu kenapa? Masih sakit?"
Serena menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Dia tidak boleh terpancing emosi hingga menyeret Lila dalam masalah pribadinya lebih jauh. Tapi sebelum dia mengakhiri semuanya seperti yang seharusnya, dia harus mendengar apa yang dilakukan oleh pria gila itu kemarin. Setidaknya, dia harus tahu tindakan seperti apa yang harus dilakukan sebagai antisipasi.
"Dia bilang apa kemarin?" tanya Serena dengan suara pelan. Kali ini, dia terlihat lebih tenang.
"Dia cuma nanya, kamu ada atau nggak. Aku bilang kamu nggak masuk, soalnya, ya ... emang kamu lagi sakit, kan?"
Serena menelan ludah. "Jadi ... kamu bilang aku dirawat?"
"Aku belum sempat bilang apa-apa. Dia langsung matiin teleponnya gitu aja. Nggak ngomong lagi. Kayak klik, langsung putus." Lila mengangkat bahu, ragu.
Kemudian ia menambahkan dengan suara lebih pelan dan hati-hati, "Maaf ya, Re. Maksudku ... aku bukan ingin ikut campur. Maaf kalau kamu merasa tersinggung. Tapi tunanganmu itu ... aku merasa ada yang aneh sama dia. Baru kali ini aku nemu cowok yang sampai nelpon ke kantor kayak gitu. Apa dia nggak tahu kalau kamu lagi sakit? Ah, mungkin itu cuma dugaanku aja. Lagi pula, kalian yang menjalin hubungan, bukan aku. Aku pasti salah paham aja, kan?"
Serena membuka mulut, ingin menjawab, tapi lidahnya terasa kelu. Tidak. Tidak di sini. Tidak sekarang. Dia tidak ingin menyeret siapa pun di kantor ini ke dalam kekacauan hidup pribadinya.
Dia menunduk sesaat, lalu mengangkat kepala dengan senyum tipis yang dipaksakan.
"Terima kasih perhatiannya, Lila. Aku akan mengurusnya sendiri," ucap Serena pada akhirnya.
Suara Serena terdengar terlalu lirih untuk benar-benar meyakinkan Lila. Meski begitu, Lila memilih untuk menghormati temannya dan tidak bertanya lebih jauh. Mungkin memang ada sesuatu yang belum siap Serena bagi—dan Lila tahu, tidak semua hal harus dipaksakan untuk diceritakan.
Untungnya, ketegangan itu tak berlangsung lama. Mereka segera berpapasan dengan Dimas dan Baim yang baru saja datang. Begitu melihat Serena sudah kembali masuk seperti biasa, keduanya langsung menghampiri dengan ekspresi lega.
"Mbak Serena beneran udah sehat?" tanya Baim dengan nada khawatir.
"Iya, Mbak. Jangan maksain diri kalo belum terlalu sehat," sambung Dimas.
Serena buru-buru mengangguk, mencoba tersenyum. "Alhamdulillah, udah mendingan sekarang. Kemarin Mbak istirahat seharian penuh. Makasih udah khawatir, tapi sekarang udah nggak apa-apa, kok."
"Alhamdulillah kalau begitu," timbrung suara berat dari belakang mereka.
Serena dan Lila menoleh. Adhan berdiri di sana—tenang, tanpa suara, seperti biasa. Senyum tipis menghiasi wajahnya, memperlihatkan ketenangan yang kontras dengan badai yang baru saja mengendap dalam dada Serena.
Namun, tidak ada waktu untuk larut dalam ketegangan. Suasana itu segera buyar karena briefing pagi harus segera dimulai.
***
Briefing pagi selesai sekitar 15 menit. Semua pun kembali ke garda mereka masing-masing, tak terkecuali Serena. Saat ia sedang merapikan dan membersihkan meja kerjanya, pintu utama tiba-tiba terbuka kembali. Muncul seorang perempuan muda, ia mengenakan kemeja putih dan rok panjang biru gelap, wajahnya tampak segar dan cerah dengan riasan tipis.
Serena bangkit dari kursinya menyambut kedatangan perempuan itu dengan ramah. Masih berpikir bahwa yang datang adalah pelanggan pertama di hari ini.
"Halo, selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu, Kak?"
Perempuan itu tersenyum ramah. "Pagi, Mbak. Saya Ratih. Saya kemarin sudah kirim lamaran dan diminta datang hari ini untuk wawancara oleh Pak Adhan."
"Oh, iya. Sebentar ya, saya sampaikan dulu Bos saya. Silakan duduk sambil menunggu, Kak."
Ratih mengangguk pelan. Sambil menunggu, ia duduk di kursi tunggu yang terletak tak jauh dari meja resepsionis. Matanya secara refleks mengikuti langkah Serena yang masuk ke ruangan berdinding kaca di sebelah kanan. Dari tempat duduknya, Ratih bisa melihat jelas gerak-gerik di dalam sana, meski tak bisa mendengar satu kata pun yang mereka bicarakan.
Ratih bertanya-tanya dalam hati, ke mana perginya wanita yang menyambutnya kemarin? Kenapa yang menjaga meja depan berganti orang lain?
Pikiran Ratih buyar saat Adhan menoleh sekilas ke arahnya dari balik kaca. Senyum tipis pria itu membuatnya sedikit terkejut. Membuat jantungnya sedikit tidak aman. Tak lama kemudian, Serena keluar dari ruangan dan menghampirinya.
"Ayo, Kak. Saya antar langsung ke ruang wawancara," ujar Serena dengan senyum ramah yang tak kunjung pudar.
Ratih segera bangkit dari kursinya dan mengikuti langkah Serena yang kini mulai menapaki tangga menuju lantai dua. Adhan tampaknya sudah lebih dulu naik ke sana, menunggu di ruang kerjanya untuk melakukan sesi wawancara.
***
Wawancara selesai dalam waktu kurang dari dua puluh menit. Setelah menyampaikan beberapa hal penting, Adhan memutuskan untuk langsung memperkenalkan Ratih kepada tim.
Pertama, Lila—yang bertugas di bagian keuangan. Karena sifatnya privasi, itulah sebabnya dia diberi ruang kerja khusus di lantai dua, tepat di samping ruang kerja Direktur. Tidak sembarangan orang bisa mengakses tempat ini, selain yang memang benar-benar berkepentingan.
Lila menyapa Ratih dengan ceria, berharap mereka bisa menjalin hubungan baik antar sesama rekan kerja.
Kemudian, Adhan membawa Ratih ke meja Serena. "Mulai hari ini, kamu akan berada di bawah pengawasan Serena. Nanti kamu bantu di bagian admin dan customer service. Tujuannya supaya bisa backup kalau Serena berhalangan masuk."
Serena langsung berdiri dan menyambut dengan senyum ramah. "Selamat datang, Ratih. Semoga kita bisa kerja sama dengan baik, ya."
Ratih mengangguk cepat. "Siap, Kak," ucapnya malu-malu.
Serena hanya tersenyum kecil.
Setelah itu, Adhan mengantar Ratih ke ruang kerja Baim dan Dimas di ruang desain dan kreatif. Mereka bertugas di bidang teknis dan operasional. Keduanya menyapa singkat, tapi cukup ramah.
Perkenalan selesai. Meski belum terlalu mengenal siapa-siapa, Ratih merasa sedikit lebih tenang. Lingkungan kerjanya terlihat nyaman, dan ia merasa disambut dengan baik.
Ilustrasi Denah Tata Ruang Usaha Artivi Studio
Bersambung
Minggu, 24 Agustus 2025