PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

BAB 1 TANDA TANGAN YANG MENGGUNCANG

Hujan sore itu menempel di kaca kamar kos Amara seperti sidik jari. Meja lipatnya penuh kabel, sketsa, dan cangkir teh yang sudah dingin. Di layar, ilustrasi kelinci memeluk payung tinggal render terakhir. Fee proyek itulah yang ia andalkan untuk bayar listrik dan uang kos yang sudah seminggu menunggak. Jam digital menunjuk 16.47; dua jam lagi deadline.

Ketukan keras menghantam pintu.

“Amara Kirana?” suara berat menembus kayu. “Kami dari pihak penagihan. Buka.”

Jantungnya menukik. Ia mematikan lampu, menahan napas, merapat ke dinding. Ketukan kedua lebih keras, lalu gumaman kesal, dan langkah-langkah menuruni tangga kos. Ponselnya berdering: Ibu.

“Ma, aku di kos,” bisiknya.

“Ra… dua orang datang lagi ke rumah. Katanya kalau Papa tak melunasi sampai Jumat, toko disegel. Mereka tinggalkan surat,” suara ibunya serak. “Papa keluar cari pinjaman. Ponselnya mati.”

Amara menutup mata. Di kepala, angka-angka mengapung: sisa utang, listrik, obat Ibu, cicilan kulkas. “Kunci pagar. Jangan buka pintu untuk orang tak dikenal. Aku selesaikan gambar, lalu pulang.”

Ia meraih stylus yang terjatuh, memaksa tangan stabil. Garis-garis terakhir dituntaskan. Notifikasi masuk: Selvia.

Ra, bisa ke Tower Atmadja jam enam? Papa butuh orang untuk retouch visual panggung. Aku bilang kamu cepat.

Amara menimbang. Atmadja itu berita nasional: proyek, CSR, merger. Dan Selvia, sahabatnya sejak SMA, anaknya satu-satunya. Mereka makin jarang bertemu setelah kuliah; jarak dan kelas sosial jadi tembok. Ia mengetik:

Aku ada deadline jam lima. Bisa nyusul paling cepat 18.30. Feenya?

Tenang, aku urus. Fast job, fast pay. Tolong ya. Penting buat Papa.

“Buat Papa.” Dua kata itu mengetuk sisi hatinya. Ia kirim file ilustrasi ke editor, menulis: Final. Revisi ringan masih bisa. Notifikasi bank bergetar: fee masuk. Napasnya sedikit lapang. Ia menyambar jaket, payung, dan map kosong, lalu berlari menembus gerimis.

Lobi Atmadja Tower memantulkan cahaya seperti danau kaca. Orang-orang bersetelan gelap mengalir tanpa suara. Amara berdiri di dekat pilar, merapikan rambut yang lembap, mencari Selvia.

“Amara!” Selvia memeluknya cepat. Wangi parfumnya tajam, bibirnya merah anggur. “Maaf mendadak. Papa di lantai 46. LED panggung perlu dikalibrasi—logonya kurang hangat. Kamu bisa?”

“Bisa,” Amara menahan canggung. “Acara apa?”

“Peluncuran beasiswa dan press conference. Media banyak,” Selvia menekan tombol lift. “Sekalian Papa mau umumkan hal penting.”

Lift memantulkan wajah mereka di empat sisi. Amara menangkap refleksi sendiri: mata kurang tidur, pipi tanpa bedak. Di sampingnya, Selvia seperti poster film—sempurna. Pintu terbuka. Koridor karpet tebal menyambut, lampu-lampu langit-langit seperti cincin tipis. Auditorium sibuk: teknisi merunduk di balik konsol, lighting test, layar LED menampilkan dummy visual.

“Ini Amara,” kata Selvia kepada supervisor. “Beri akses.”

Pass tamu dikalungkan. “File kami kirim email,” ujar supervisor. “Butuh warm tone tanpa kehilangan identitas brand.”

Amara duduk di konsol, membuka preset. Warna demi warna ia rawat: merah yang dingin jadi bersahabat, oranye yang norak diturunkan. Logo yayasan tampak seperti matahari yang akhirnya tahu cara menyinari tanpa membakar. Ketika ia mengunci keyframe, pintu samping terbuka. Seorang lelaki berhenti di ambang, memindai ruangan seperti dirigen menakar tempo.

Ia tidak perlu bertanya. Wajah itu ada di koran, billboard, siaran ekonomi. Bagas Atmadja.

Ia memberi instruksi singkat pada tim, kemudian—sekejap, namun panjang—pandangannya tertahan di arah Amara. Mata itu menilai, bukan meremehkan, melainkan kebiasaan orang yang terlalu sering mengambil keputusan mahal.

“Pa,” Selvia menjemputnya, “ini Amara. Dia bantu visual.”

“Terima kasih sudah datang,” suara Bagas seperti besi dipanaskan seperlunya: keras, namun tak menusuk. Tatapannya turun ke layar. “Kau ubah temperatur warna. Bagus.”

“Terima kasih, Pak,” Amara menjaga suaranya stabil.

Seorang staf berbisik di telinga Bagas. Ada kilat kesal sekilas di matanya, cepat seperti bayang burung di air. “Selesaikan. Undang wartawan pukul tujuh tepat,” katanya, lalu pergi.

Ponsel Amara bergetar: Ibu.

“Ra, mereka datang lagi,” suara ibunya bergetar. “Bilangnya malam ini terakhir.”

“Bu, tarik napas. Pak RT ada di rumah?”

“Ada. Tapi mereka ancam surat dari legal besok.” Napas Ibu berat. “Ibu pusing.”

“Minum air hangat. Aku selesai sebentar, lalu pulang,” Amara menutup telepon. Auditorium mendadak seperti meredup; dunia menyempit antara panggung dan rumah.

“Semua oke?” Selvia memperhatikan raut Amara.

“Masalah keluarga sedikit. Tapi aku selesaikan ini dulu.”

Ia render set terakhir, mengunci profil warna. Supervisor mengacungkan jempol. Jam mendekati tujuh. Amara melepas pass, melangkah ke lift. Dua lelaki berjas—bukan staf—tiba-tiba menyilang langkahnya.

“Amara Kirana?” Lelaki pertama menahan pintu lift agar tak tertutup. “Ada urusan keluarga. Mohon tanda tangan.”

“Maaf, saya sedang kerja,” Amara menegang.

“Kami juga,” lelaki kedua tersenyum tipis. “Sebentar saja, Nona. Ini penting.”

Sebuah suara tenang memotong, tanpa memberi ruang bantah. “Ada masalah apa dengan karyawan kami?”

Bagas berdiri tak jauh. Dua lelaki itu refleks merapikan jas.

“Urusan pribadi, Pak,” ujar yang pertama. “Kami hanya minta tanda tangan. Tidak terkait perusahaan.”

Bagas menoleh pada Amara. “Kau mengenal mereka?”

“Mereka datang ke rumah untuk Papa,” Amara menelan ludah.

Bagas menatap kedua lelaki itu. “Kalau pribadi, selesaikan di luar gedung saya. Auditorium penuh tamu. Saya tidak ingin keributan.”

“Kami mengerti, Pak,” kata mereka, tetapi sempat menatap Amara tajam. “Malam ini juga, Nona. Jangan menghindar.”

Mereka menghilang di belokan. Lift menutup tanpa Amara. Udara di koridor jadi berat seperti hujan yang hendak jatuh lagi.

“Kau baik-baik?” tanya Bagas. Di mata menilai itu kini ada sesuatu yang lain: kalkulasi yang lebih dalam.

“Saya… harus pulang setelah acara mulai,” Amara memegang strap tas.

“Lima menit saja,” kata Bagas, berbalik. “Ikut saya.”

Ia berjalan tanpa menoleh, dan entah bagaimana, kaki Amara mengikuti. Mereka masuk ruang briefing kecil di samping auditorium: meja meeting, rak berkas, jendela menatap kota yang berkilau basah. Bagas berdiri di seberang meja, membuka laci, mengeluarkan map hitam tipis. Ia tidak duduk.

“Aku minta maaf atas kejadian barusan,” katanya to the point. “Aku tidak suka orang luar mengganggu acara, apalagi seseorang yang sedang bekerja untukku.”

“Bukan salah Bapak,” Amara menunduk. “Keluargaku… terjerat.”

“Ya.” Bagas menutup map, mengetuk permukaannya ringan. “Setiap nama yang masuk ke gedung ini kami cek. Standar keamanan. Jadi aku tahu garis besar masalahmu.”

Pipi Amara hangat oleh malu. “Maaf kalau menyusahkan.”

“Kau membawa kemampuan, bukan masalah,” katanya datar. “Visualmu menyelamatkan panggung.” Ia menarik napas pendek, seperti baru memutuskan sesuatu. “Dan kebetulan, aku sedang butuh seseorang yang mampu—dan berani.”

“Maaf?” Amara mengernyit.

“Aku butuh solusi cepat untuk dua hal: sorotan media beberapa minggu ke depan, dan perseteruan internal yang menuntut stabilitas keluarga—di atas kertas.” Pandangannya menancap. “Aku bisa menolong keluargamu. Utang, rumah, keamanan ibumu. Bersih dalam dua puluh empat jam.”

Dunia di dalam dada Amara menahan napasnya sendiri.

“Sebagai gantinya,” lanjut Bagas, “aku minta satu hal yang terlihat sederhana di surat, tapi sulit dijalani di hidup.”

Ia mendorong map hitam melintasi meja. Berhenti tepat di depan Amara.

“Menikah denganku.”

Kata-kata itu jatuh pelan, tapi menghantam keras. Amara menatap map seolah benda itu bisa menggigit. Di luar, suara soundcheck berganti opening jingle, penonton sorak. Di dalam ruangan kecil, detak jam menonjok ruang hening.

“Ini… gila,” suaranya nyaris tak terdengar.

“Gila itu mengulangi kesalahan yang sama,” jawab Bagas tenang. “Aku tidak mengulang. Aku menghentikan badai sebelum menabrakku—dan menabrakmu.”

“Selvia…” nama itu lolos refleks dari bibir Amara, lalu menggantung getir di udara.

“Selvia akan membencimu,” Bagas menyatakan tanpa ornamen. “Mungkin juga membenciku. Tapi aku terbiasa dibenci saat memutuskan hal yang menyelamatkan banyak hal.”

Amara memeluk tas. Wajah Ibu melintas, pagar rumah, ancaman surat legal, angka-angka di layar ponsel. Lalu tawa Selvia di kantin SMA, janji-janji kecil yang tak pernah ditulis. Dan di hadapannya: lelaki yang menawarkan tali keselamatan dengan ujungnya terikat pada karang.

“Tidak sekarang,” bisiknya. “Aku harus pulang.”

“Bawa map itu,” kata Bagas. “Baca pasal-pasalnya. Perjanjian ini tidak menyakitimu secara hukum. Ada jalan keluar jika syarat terpenuhi.” Ia melirik jam. “Acara mulai satu menit lagi.”

Ia menoleh ke pintu, lalu berhenti sepersekian detik. “Aku tidak memaksa orang yang tak mau dipaksa. Tapi aku tahu kapan waktu menawar. Malam ini—waktunya.”

Pintu tertutup. Amara memegang map itu; kulitnya dingin, ujungnya tajam di telapak. Tangannya gemetar. Ia menempelkan dahi pada punggung map, mengambil napas panjang. Sorak penonton meledak di luar, lampu panggung menyapu langit-langit. Hujan di luar mungkin mereda, tetapi di dadanya, badai baru saja tumbuh.

Ia memasukkan map ke dalam tas, meraih payung, dan melangkah keluar ruangan. Koridor berkilau basah oleh refleksi lampu, lift memantulkan wajahnya berkali-kali—wajah seorang perempuan yang baru saja ditawari keselamatan yang berharga… dengan harga yang bisa menghancurkan segalanya.

Di lobi, ia berhenti sejenak, menatap hujan tipis di balik kaca. Ponsel bergetar: pesan dari nomor tak dikenal.

Nona Amara. Jangan lupa tanda tangan malam ini. Kami menunggu.

Amara menekan tombol power, mematikan layar. Ia membuka payung, melangkah ke gerimis. Setiap tetes jatuh seperti hitungan mundur. Dan di tasnya, map hitam itu terasa makin berat—seberat kata “ya” yang belum diucapkan… dan “tidak” yang tak sanggup ia pilih.

Episodes
1 BAB 1 TANDA TANGAN YANG MENGGUNCANG
2 BAB 2 PERNIKAHAN YANG TIDAK PERNAH DIMINTA
3 BAB 3 LAMARAN YANG MEMBAKAR JEMBATAN
4 BAB 4 HARI -HARI MENJELANG PERNIKAHAN
5 BAB 5 ISTRI BARU DI RUMAH PENUH MUSUH
6 BAB 6 UJIAN PERTAMA SEBAGAI ISTRI
7 BAB 7 HUJATAN DI KAMPUS
8 BAB 8 JEBAKAN MEYLANI
9 BAB 9 KONFRONTASI DI KAMPUS
10 BAB 10 FITNAH PERTAMA
11 BAB 11 LANGKAH BALIK AMARA
12 BAB 12 PEMANGGILAN RISA
13 BAB 13 DIHINA DI TEMPAT UMUM
14 BAB 14 LANGKAH DI YAYASAN
15 BAB 15 UJIAN DI KELAS PERTAMA
16 BAB 16 API DI KAMPUS
17 BAB 17 SABOTASE DI YAYASAN
18 BAB 18 PANGGUNG TERBUKA
19 BAB 19 PERANG DIAM-DIAM
20 BAB 20 AUDIT DI MEJA TERANG
21 BAB 21 BAYANGAN BARU
22 BAB 22 LUKA YANG DIBUKA LAGI
23 BAB 23 ANCAMAN BARU
24 BAB 24 LUKA DI BALIK SENYUM
25 BAB 25 SUARA YANG TERBELAH
26 BAB 26 SAKSI DI PANGGUNG
27 BAB 27 DI RUANG SIDANG
28 BAB 28 TIGA HARI PENENTUAN
29 BAB 29 PUTUSAN MAJELIS
30 BAB 30 API DI DALAM RUMAH
31 BAB 31 BARA DI DEPAN PUBLIK
32 BAB 32 JERAT HUKUM
33 BAB 33 KURSI PANAS
34 BAB 34 BAYANGAN BARU
35 BAB 35 TUSUKAN DARI DALAM
36 BAB 36 KESAKSIAN YANG MEMBAKAR
37 BAB 37 SUARA DARI DARAH DAGING
38 BAB 38 SAHABAT DI MEJA SAKSI
39 BAB 39 JEJAK YANG TERSAMAR
40 BAB 40 TANDA TANGAN YANG MENGHUKUM
41 BAB 41 SAKSI TAK TERDUGA
42 BAB 42 KESAKSIAN YANG MENENTUKAN
43 BAB 43 REKENING BAYANGAN
44 BAB 44 BUKTI GELAP
45 BAB 45 DARAH YANG DI SERET
46 BAB 46 SERANGAN BALIK PERTAMA
47 BAB 47 LUKA LAMA YANG DIBONGKAR
48 BAB 48 PERNIKAHAN YANG DIPERTANYAKAN
49 BAB 49 SAHABAT YANG BERBALIK
50 BAB 50 ULTIMATUM KELUARGA
51 BAB 51 SAHABAT JADI MUSUH
52 BAB 52 GUGATAN PEMBATALAN
53 BAB 53 SIDANG GUGATAN
54 BAB 54 BUKTI PALSU
55 BAB 55 BUKTI DI MEJA HAKIM
56 BAB 56 MENCARI KEBENARAN
57 BAB 57 SUARA YANG DI PELINTIR
58 BAB 58 JERAT FITNAH
59 BBA 59 SAKSI DAN SIASAT
60 BAB 60 RETAK DI SISI LAWAN
61 BAB 61 BAYANGAN BALASAN
62 BAB 62 AIR MATA PALSU
63 BAB 63 SUARA YANG TIDAK BISA DIPATAHKAN
64 BAB 64 BUKTI YANG BERLUMUR DEBU
65 BAB 65 JEJAK ASLI
66 BAB 66 PANGGUNG AIR MATA
67 BAB 67 LUKA DAN PELUKAN
68 BAB 68 NYALA YANG KEMBALI
69 BAB 69 RAHASIA YANG TERBUKA
70 BAB 70 FAKTA YANG TERUNGKAP
71 BAB 71 DRAMA BESAR
72 BAB 72 SABOTASE
73 BAB 73 BAYANGAN ANCAMAN
74 BAB 74 SAKSI KUNCI
75 BAB 75 DUA JALUR
76 BAB 76 KLARIFIKASI
77 BAB 77 SKANDAL BAYANGAN
78 BAB 78 PERCAKAPAN YANG TERUNGKAP
79 BAB 79 UNJUK RASA BAYARAN
80 BAB 80 BALASAN DI MEJA HUKUM
81 BAB 81 KONTRAK YANG DISEMBUNYIKAN
82 BAB 82 MALAM PENJEMPUTAN
83 BAB 83 SURAT PERLINDUNGAN
84 BAB 84 TEKANAN DARI DALAM
85 BAB 85 PERSIAPAN SAKSI
86 BAB 86 SUARA DI RUANG SIDANG
87 BAB 87 PERANG DI LAYAR
88 BAB 88 BATU DI JALAN
89 BAB 89 LAPORAN YANG DIPUTARBALIKKAN
90 BAB 90 KLARIFIKASI YANG MENJEBAK
91 BAB 91 SERANGAN DI LAPANGAN
92 BAB 92 SABOTASE
93 BAB 93 PAGAR YANG DITERJANG
94 BAB 94 BAYANGAN KEKUASAAN
95 BAB 95 KEPUNGAN
96 BAB 96 SIDANG DI DUA PANGGUNG
97 BAB 97 PANGGUNG SIDANG
98 BAB 98 INTIMIDASI
99 BAB 99 SURAT PENANGKAPAN
100 BAB 100 SIMBOL
101 BAB 101 ADU DOMBA
Episodes

Updated 101 Episodes

1
BAB 1 TANDA TANGAN YANG MENGGUNCANG
2
BAB 2 PERNIKAHAN YANG TIDAK PERNAH DIMINTA
3
BAB 3 LAMARAN YANG MEMBAKAR JEMBATAN
4
BAB 4 HARI -HARI MENJELANG PERNIKAHAN
5
BAB 5 ISTRI BARU DI RUMAH PENUH MUSUH
6
BAB 6 UJIAN PERTAMA SEBAGAI ISTRI
7
BAB 7 HUJATAN DI KAMPUS
8
BAB 8 JEBAKAN MEYLANI
9
BAB 9 KONFRONTASI DI KAMPUS
10
BAB 10 FITNAH PERTAMA
11
BAB 11 LANGKAH BALIK AMARA
12
BAB 12 PEMANGGILAN RISA
13
BAB 13 DIHINA DI TEMPAT UMUM
14
BAB 14 LANGKAH DI YAYASAN
15
BAB 15 UJIAN DI KELAS PERTAMA
16
BAB 16 API DI KAMPUS
17
BAB 17 SABOTASE DI YAYASAN
18
BAB 18 PANGGUNG TERBUKA
19
BAB 19 PERANG DIAM-DIAM
20
BAB 20 AUDIT DI MEJA TERANG
21
BAB 21 BAYANGAN BARU
22
BAB 22 LUKA YANG DIBUKA LAGI
23
BAB 23 ANCAMAN BARU
24
BAB 24 LUKA DI BALIK SENYUM
25
BAB 25 SUARA YANG TERBELAH
26
BAB 26 SAKSI DI PANGGUNG
27
BAB 27 DI RUANG SIDANG
28
BAB 28 TIGA HARI PENENTUAN
29
BAB 29 PUTUSAN MAJELIS
30
BAB 30 API DI DALAM RUMAH
31
BAB 31 BARA DI DEPAN PUBLIK
32
BAB 32 JERAT HUKUM
33
BAB 33 KURSI PANAS
34
BAB 34 BAYANGAN BARU
35
BAB 35 TUSUKAN DARI DALAM
36
BAB 36 KESAKSIAN YANG MEMBAKAR
37
BAB 37 SUARA DARI DARAH DAGING
38
BAB 38 SAHABAT DI MEJA SAKSI
39
BAB 39 JEJAK YANG TERSAMAR
40
BAB 40 TANDA TANGAN YANG MENGHUKUM
41
BAB 41 SAKSI TAK TERDUGA
42
BAB 42 KESAKSIAN YANG MENENTUKAN
43
BAB 43 REKENING BAYANGAN
44
BAB 44 BUKTI GELAP
45
BAB 45 DARAH YANG DI SERET
46
BAB 46 SERANGAN BALIK PERTAMA
47
BAB 47 LUKA LAMA YANG DIBONGKAR
48
BAB 48 PERNIKAHAN YANG DIPERTANYAKAN
49
BAB 49 SAHABAT YANG BERBALIK
50
BAB 50 ULTIMATUM KELUARGA
51
BAB 51 SAHABAT JADI MUSUH
52
BAB 52 GUGATAN PEMBATALAN
53
BAB 53 SIDANG GUGATAN
54
BAB 54 BUKTI PALSU
55
BAB 55 BUKTI DI MEJA HAKIM
56
BAB 56 MENCARI KEBENARAN
57
BAB 57 SUARA YANG DI PELINTIR
58
BAB 58 JERAT FITNAH
59
BBA 59 SAKSI DAN SIASAT
60
BAB 60 RETAK DI SISI LAWAN
61
BAB 61 BAYANGAN BALASAN
62
BAB 62 AIR MATA PALSU
63
BAB 63 SUARA YANG TIDAK BISA DIPATAHKAN
64
BAB 64 BUKTI YANG BERLUMUR DEBU
65
BAB 65 JEJAK ASLI
66
BAB 66 PANGGUNG AIR MATA
67
BAB 67 LUKA DAN PELUKAN
68
BAB 68 NYALA YANG KEMBALI
69
BAB 69 RAHASIA YANG TERBUKA
70
BAB 70 FAKTA YANG TERUNGKAP
71
BAB 71 DRAMA BESAR
72
BAB 72 SABOTASE
73
BAB 73 BAYANGAN ANCAMAN
74
BAB 74 SAKSI KUNCI
75
BAB 75 DUA JALUR
76
BAB 76 KLARIFIKASI
77
BAB 77 SKANDAL BAYANGAN
78
BAB 78 PERCAKAPAN YANG TERUNGKAP
79
BAB 79 UNJUK RASA BAYARAN
80
BAB 80 BALASAN DI MEJA HUKUM
81
BAB 81 KONTRAK YANG DISEMBUNYIKAN
82
BAB 82 MALAM PENJEMPUTAN
83
BAB 83 SURAT PERLINDUNGAN
84
BAB 84 TEKANAN DARI DALAM
85
BAB 85 PERSIAPAN SAKSI
86
BAB 86 SUARA DI RUANG SIDANG
87
BAB 87 PERANG DI LAYAR
88
BAB 88 BATU DI JALAN
89
BAB 89 LAPORAN YANG DIPUTARBALIKKAN
90
BAB 90 KLARIFIKASI YANG MENJEBAK
91
BAB 91 SERANGAN DI LAPANGAN
92
BAB 92 SABOTASE
93
BAB 93 PAGAR YANG DITERJANG
94
BAB 94 BAYANGAN KEKUASAAN
95
BAB 95 KEPUNGAN
96
BAB 96 SIDANG DI DUA PANGGUNG
97
BAB 97 PANGGUNG SIDANG
98
BAB 98 INTIMIDASI
99
BAB 99 SURAT PENANGKAPAN
100
BAB 100 SIMBOL
101
BAB 101 ADU DOMBA

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!