NovelToon NovelToon
Jatuh Cinta Dengan Adik Suamiku

Jatuh Cinta Dengan Adik Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Selingkuh / Anak Kembar / Dijodohkan Orang Tua / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Mila julia

Keira hidup di balik kemewahan, tapi hatinya penuh luka.
Diperistri pria ambisius, dipaksa jadi pemuas investor, dan diseret ke desa untuk ‘liburan’ yang ternyata jebakan.

Di saat terburuk—saat ingin mengakhiri hidupnya—ia bertemu seorang gadis dengan wajah persis dirinya.

Keila, saudari kembar yang tak pernah ia tahu.

Satu lompat, satu menyelamatkan.
Keduanya tenggelam... dan dunia mereka tertukar.

Kini Keira menjalani hidup Keila di desa—dan bertemu pria dingin yang menyimpan luka masa lalu.
Sementara Keila menggantikan Keira, dan tanpa sadar jatuh cinta pada pria ‘liar’ yang ternyata sedang menghancurkan suami Keira dari dalam.

Dua saudara. Dua cinta.
Satu rahasia keluarga yang bisa menghancurkan semuanya.

📖 Update Setiap Hari Pukul 20.00 WIB
Cerita ini akan terus berlanjut setiap malam, membawa kalian masuk lebih dalam ke dalam dunia Keira dan Kayla rahasia-rahasia yang belum terungkap.

Jangan lewatkan setiap babnya.
Temani perjalanan Keira, dan Kayla yaa!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21. Perubahan dan janji

Leo duduk di kursi samping ranjang. Posisi duduknya nyaris tak berubah sejak Kayla sadar beberapa jam lalu. Bahunya sedikit membungkuk, jemarinya saling mengunci di pangkuan, sesekali mengetuk-ngetuk ibu jari pada buku jarinya sendiri. Mata yang biasanya setajam bilah pisau kini tampak redup, seolah menyimpan badai di balik permukaan yang tenang. Lampu kamar memberikan cahaya hangat yang jatuh tepat di garis rahangnya, menajamkan siluet wajah yang sulit ditebak niatnya.

“Lo kenapa masih di sini?” suara Kayla terdengar berat, parau karena lelah. Tatapannya menusuk, bibirnya melengkung tipis sinis. “Biasanya baru lima menit udah minggat. Itu pun cuma buat marah-marah, ngancem gue, atau melempar kalimat yang bikin gue nyesel kenal lo.”

Leo tidak langsung menjawab. Matanya hanya bergerak perlahan ke arah Kayla, lalu ia menggeser tubuhnya, bersandar lebih dalam ke sandaran kursi. Suara gesekan kain jasnya terdengar halus di ruangan yang sunyi. “Aku di sini karena aku mau. Bukan karena siapa-siapa.”

Kayla mendengus pelan. Mata cokelatnya menyipit, bibirnya sedikit bergetar karena menahan rasa ingin membantah. “Lo nggak pernah ngelakuin apa pun cuma karena ‘mau’. Gue kenal lo, Leo. Lo tuh kayak bom waktu. Kalau tiba-tiba jadi baik, itu lebih horor daripada lo marah-marah.”

Sudut bibir Leo terangkat samar, bukan senyum lebar—hanya bayangan yang nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk memancing rasa tidak nyaman. “Kau terlalu pintar untuk jadi korban. Tapi juga terlalu keras kepala buat percaya.”

“Percaya? Sama lo?” Kayla hampir tertawa, tapi nada tawanya kering. “Gue lebih percaya langit runtuh duluan ketimbang lo berubah tulus.”

Leo condong ke depan, sikunya bertumpu pada lutut, kepalanya sedikit miring. Cahaya lampu menangkap kilatan redup di matanya. “Aku nggak pernah bilang aku tulus, Keira,” suaranya bergetar rendah. “Tapi rasa itu kadang datang dari arah yang nggak pernah kita siapin.”

Kayla terdiam. Hanya sedetik, ada celah di hatinya—goyah. Ia cepat membuang pandangannya ke arah jendela, menatap cahaya sore yang merembes di sela gorden. “Gue capek tebak-tebakan niat lo, Leo.”

Leo menghela napas panjang, napasnya terdengar dalam dan berat. “Keira… kau boleh benci aku. Kau boleh marah, boleh curiga, boleh dorong aku sejauh mungkin. Tapi satu hal yang nggak bisa kau ubah: aku nggak pernah meninggalkanmu waktu semua orang pergi.”

Kayla memutar wajahnya kembali, matanya menyipit, bibirnya menekan rapat. “Lo nggak ninggalin karena lo takut kehilangan kontrol atas gue,” gumamnya, hampir seperti bisikan.

Leo perlahan mengulurkan tangan. Ujung jarinya menyentuh pelan jemari Kayla yang terletak di atas selimut. Sentuhan itu ringan, nyaris ragu. “Mungkin,” katanya lirih, “Tapi juga karena... tanpamu, aku kehilangan bagian dari diriku sendiri.”

Kayla menggigit bibir, rasa asin darah bercampur getir. Luka-luka yang ia simpan dari perlakuan Leo selama ini mendesak keluar, menghantam dadanya. Tapi sikap Leo yang tiba-tiba lembut—meski terasa memualkan—menyelinap masuk ke dalam bentengnya. Ia membencinya. Benci karena ia masih bisa goyah.

“Lo bukan penyelamat gue, Leo,” ujarnya pelan, matanya tak berani menatap langsung.

“Tapi aku ingin menjadi satu-satunya alasan kau sembuh,” balas Leo hampir berbisik, sorot matanya tak lepas dari wajahnya.

Keheningan menebal. Hanya suara detik jam di dinding yang mengisi ruang. Perlahan, Leo berdiri, membenahi selimut Kayla dengan gerakan hati-hati, merapikan lipatan yang tak perlu. Gerakannya seperti seseorang yang sedang merawat sesuatu yang rapuh.

“Istirahatlah. Kondisimu belum sepenuhnya pulih,” ucapnya akhirnya, sebelum ia kembali duduk di kursinya, kembali ke posisi awal—seolah ia tidak pernah pergi dari sana.

$$$$$

Sementara itu, di lantai tiga gedung Hadiwijaya Group, Revan menempelkan kartu akses ke panel pintu ruang kontrol. Suaranya hanya klik tipis, tapi jantungnya berdetak begitu keras seolah ingin menembus dada sendiri. Bangunan yang gelap gulita membuat setiap langkah terdengar nyaring—derap kakinya, gesekan sepatu di lantai marmer, bahkan desah napasnya sendiri—semua seakan menyoroti keberadaannya di ruang hampa ini.

Pintu terbuka perlahan, berdecit tipis di engselnya. Revan menahan napas sesaat, matanya menyapu kegelapan seolah menilai apakah ada mata yang mengintai. Lalu, dengan gerakan cepat tapi terkendali, ia melangkah masuk.

Ia menyalakan monitor pengawas yang berjajar rapi di dinding, lampu biru dan hijau dari layar menari di wajahnya. Jemarinya bergerak lincah di atas keyboard, mengetik tanggal dan waktu yang diyakini sebagai titik awal dari semua kekacauan. Setiap klik terdengar nyaring di kesunyian ruangan, membuat napasnya terasa berat. Matanya tak berkedip, menatap layar demi layar, menelusuri rekaman demi rekaman, mencari satu cuplikan—satu momen yang bisa membongkar rahasia Leo dan membalik keadaan.

Namun yang ia temukan hanyalah kekosongan. File rekaman yang ia buru… tak ada. Hilang. Terhapus. Atau sengaja disembunyikan?

Revan menutup mata sesaat, mengusap pelipis dengan ujung jarinya, menahan frustrasi yang mulai menekan. Bibirnya mengeras, rahangnya menggertak. Napasnya tertahan, kemudian keluar dengan desah panjang. Ia menatap layar, matanya membara, menyalakan bara tekad yang tak bisa dipadamkan.

“Liat aja, Leo…” gumamnya, suara berat dan serak, seakan menembus kesunyian ruang kontrol. Tangan kanannya mengepal di sisi tubuh, kuku menekuk ke dalam. “Gue bakal nemuin bukti. Gue bakal buktiin lo pelakunya!”

Ia memutar tubuh, menatap setiap monitor yang hening, bayangan wajahnya terpantul di kaca layar. Malam ini, mungkin Leo menang satu langkah. Tapi Revan tahu, permainan belum selesai. Matanya menyala, pandangannya membakar, menandakan janji tak terucap: bukti itu akan ditemukan, dan keadilan akan ditegakkan.

Di luar, angin malam berhembus melalui celah jendela lantai atas, membawa dingin yang menusuk tulang. Tapi Revan tak menggubrisnya—fokusnya hanya pada satu hal: Leo.

$$$$$

Kembali di rumah sakit, Kayla menatap langit-langit kamar yang putih dan bisu. Cahaya remang dari lampu temaram menyebar lembut, memantul di permukaan lantai dan membentuk bayangan samar di dinding. Aroma alkohol dan antiseptik masih menyengat di udara, menusuk hidung tapi entah kenapa terasa familiar, seperti pengingat bahwa ia masih hidup.

Di sudut ruangan, Leo duduk di kursi tunggu, kepalanya miring menyandar, napasnya berat tapi teratur. Lengan disilang di dada seolah siap berjaga semalaman. Selimut tipis yang tadi disodorkan perawat melorot ke lantai, tapi ia tak mengurusnya. Meski tampak lelah, wajahnya tenang… terlalu tenang, seperti seseorang yang tidak benar-benar tidur, hanya pura-pura terlelap agar tetap berada di sisinya.

Kayla mendesah pelan, punggungnya menempel di bantal, tangan terkulai di sisi ranjang. Sudah tiga malam seperti ini. Leo tetap di situ. Tidak marah, tidak mengomel, tidak pergi. Bahkan satu kata sarkastik pun belum terlontar. Aneh. Mengganggu. Mengesalkan.

Apa maunya dia sebenernya?

“Lo pikir gue bakal terharu?” gumam Kayla pelan, suaranya berat, lebih terdengar sebagai bisikan untuk dirinya sendiri. Matanya menyipit, menatap bayangannya sendiri di kaca jendela. Wajahnya pucat, rambut kusut, mata sayu, dan detak jantungnya terasa kacau seperti alarm yang salah setel. “Lo pikir gue bakal luluh cuma karena lo duduk di situ kayak patung?”

Dia mengalihkan pandangan, menelusuri setiap detail kecil di ruangan—monitor jantung yang berdengung pelan, lampu hijau dari alat infus yang berkedip, botol-botol obat tertata rapi di meja samping. Semua tampak biasa, tapi semuanya mengingatkannya pada malam-malam yang dilalui sendiri.

Tiba-tiba kursi di sudut ruangan bergeser perlahan. Kayla menoleh, alisnya terangkat. Leo berdiri, wajahnya lembut tapi tegas, matanya tetap menatapnya. “Aku tidak tidur,” ucapnya, suaranya rendah, hampir bergetar.

Kayla menatap tajam, matanya mengecil, tubuhnya tegang. “Aku dengar semuanya… termasuk kalimat terakhirmu.”

“Trus kenapa?” Suaranya nyaris sinis, senyumnya tipis tapi tajam. “Mau membela diri? Mau ngaku peduli? Mau jual rasa bersalah?”

Leo melangkah mendekat ke sisi ranjang, jari-jarinya menyentuh pagar besi dengan lembut, seolah mencari pijakan. “Aku di sini karena aku ingin di sini,” katanya pelan, tapi setiap kata tersusun penuh makna.

Kayla mendengus, matanya menatapnya dengan penuh curiga. “Lo selalu pengin, Leo. Tapi nggak pernah bisa bertahan. Dateng pas gue udah hancur, terus lo pikir cukup berdiri doang di samping gue biar semua baik-baik aja?”

Leo menunduk, matanya menatap lantai, rahangnya mengeras. “Aku tahu aku banyak salah, Keira…”

“Nggak cuma salah, Leo. Lo egois, lo nyiksa gue, lo juga jual gue. Aneh kalau lo baru sadar sekarang,” Kayla menegakkan tubuh, wajahnya memerah, mata menyorot penuh kemarahan. “Lo datang cuma waktu lo ngerasa takut gue pergi. Tapi waktu gue butuh… lo nggak ada. Lo yang bikin hidup gue seperti neraka.”

Ia menekankan setiap kata dengan dorongan tangan ke selimut, jarinya mengepal, napasnya tersengal. “Dan sekarang… lo mau pura-pura baik, sok romantis, sok jagain gue. Lo pikir gue bakal luluh segampang itu?”

Leo mengepalkan tangannya di sisi tubuh, rahangnya mengeras, tapi suaranya tetap lembut. “Aku nggak tahu bagaimana cara menebus semuanya… tapi aku mencoba.”

Kayla menggeleng, matanya berkaca-kaca, bibirnya menekuk. “Nggak cukup. Nggak akan pernah cukup. Dan itu nggak akan pernah termaafkan.”

Leo menunduk, napasnya tertahan. “Aku tahu aku terlambat.”

“Lo telat banget, Leo,” Kayla menyipitkan mata, menatapnya penuh kebencian, tubuhnya tegang. “Lo nggak punya hak buat berharap gue bisa nerima lo setelah semua luka yang lo berikan ke gue. Lo masih iblis di mata gue.”

Leo menghela napas panjang, matanya mulai berkaca. Namun ia tersenyum kecil, senyum kaku yang dipaksakan agar tak terlihat rapuh. “Kalau memang aku tidak punya hak, biarlah aku tetap di sini… walau cuma sebagai orang yang kau benci.”

Kayla menahan napas, hatinya berdebar keras, rasa kesal dan nyeri bercampur. Kesal karena Leo tetap tenang, nyeri karena ia ingin percaya tapi takut.

“Gue benci lo, Leo…” bisiknya, suaranya pecah. “Sampai kapanpun, gue nggak akan mau maafin lo. Bahkan sampai lo mati sekalipun!”

Leo mengangguk perlahan, matanya menatapnya dengan tatapan berat. “Aku pun membenci diriku sendiri… karena pernah menyakitimu.”

Kayla mengalihkan pandangan, menahan air mata yang menggenang. Ia menekuk lutut, menggenggam selimut dengan kuat, sementara matanya menyoroti setiap gerakan kecil Leo, mencari petunjuk apakah ada tulus di balik sikapnya. Tapi hatinya tetap kacau—marah, sakit, tapi diam-diam… sedikit goyah.

.

.

.

Bersambung

Leonard Hadiwijaya👿

1
Dedet Pratama
luar biasa
Alyanceyoumee
mantap euy si Revan
Kutipan Halu: hahah abis di kasih tutor soalnya kak 😄😄
total 1 replies
Bulanbintang
Iri? bilang boss/Joyful/
Kutipan Halu: kasih paham kakak😄😄
total 1 replies
CumaHalu
Suami setan begini malah awet sih biasanya 😤
Kutipan Halu: awett benerrr malahan kak😄
total 1 replies
iqueena
Kasar bngt si Leo
iqueena: sharelok sharelok
Kutipan Halu: kasih tendangan maut ajaa kak, pukulin ajaa kayla ikhlas kok🤣
total 2 replies
Pandandut
kay kamu mantan anak marketing ya kok pinter banget negonga
Kutipan Halu: kaylanya sering belanja di pasar senin kak🤣
total 1 replies
Dewi Ink
laahh, pinter nego si Kayla 😅
Kutipan Halu: biasa kakk valon emak2 pinter nego cabe di pasar😄😄
total 1 replies
Alyanceyoumee
nah gini baru perempuan tangguh. 😠
Kutipan Halu: iyaa kak greget jugaa kalau lemah muluuu, org kek leo emng hrs di kasih paham😄😄
total 1 replies
Yoona
😫😫
CumaHalu
Kapok!!
Makanya jadi suami yang normal-normal aja😂
Kutipan Halu: diaa memilih abnormal kak☺☺
total 1 replies
Pandandut
mending ngaku aja sih
Kutipan Halu: emng bisaa ya kak, kan udh terlanjut bohong gituu org2 udah juga pada percaya, klu aku jadi keira sih juga pasti ngambil jln dia juga😭😭
total 1 replies
Pandandut
pinter juga si revan/Slight/
iqueena
pintar juga Revan
Dewi Ink
mending ngaku duluan si dari pada ketahuan
Yoona
leo juga harus ngerasain
Alyanceyoumee
mantap...👍
CumaHalu
Wah, hati-hati Kayla.😬
Kutipan Halu: waspada selalu kak☺
total 1 replies
CumaHalu
Astaga😂😂😂
Bulanbintang
dua kali lebih lama, 😩😒
Bulanbintang
kompak bener😅
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!