Keira hidup di balik kemewahan, tapi hatinya penuh luka.
Diperistri pria ambisius, dipaksa jadi pemuas investor, dan diseret ke desa untuk ‘liburan’ yang ternyata jebakan.
Di saat terburuk—saat ingin mengakhiri hidupnya—ia bertemu seorang gadis dengan wajah persis dirinya.
Keila, saudari kembar yang tak pernah ia tahu.
Satu lompat, satu menyelamatkan.
Keduanya tenggelam... dan dunia mereka tertukar.
Kini Keira menjalani hidup Keila di desa—dan bertemu pria dingin yang menyimpan luka masa lalu.
Sementara Keila menggantikan Keira, dan tanpa sadar jatuh cinta pada pria ‘liar’ yang ternyata sedang menghancurkan suami Keira dari dalam.
Dua saudara. Dua cinta.
Satu rahasia keluarga yang bisa menghancurkan semuanya.
📖 Update Setiap Hari Pukul 20.00 WIB
Cerita ini akan terus berlanjut setiap malam, membawa kalian masuk lebih dalam ke dalam dunia Keira dan Kayla rahasia-rahasia yang belum terungkap.
Jangan lewatkan setiap babnya.
Temani perjalanan Keira, dan Kayla yaa!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Seseorang Dari Masa Lalu
Hari itu hujan turun pelan di atap rumah tua di sudut desa. Suaranya mengetuk jendela dengan ritme lembut tapi mengusik, seakan membisikkan luka yang belum selesai.
Di balik pintu kamar kayu, Keira duduk membelakangi jendela. Tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, melainkan oleh sunyi yang menekan dada. Rambutnya terurai, lembap oleh uap hujan, matanya kosong menatap kaca yang basah.
Sudah tiga hari ia tak keluar kamar sejak kejadian di gudang bersama Aldi. Ia menolak makan, tak membuka ponsel, dan menutup diri dari semua suara.
Pak Mahendra, yang biasanya tenang, kini gelisah. Genggaman tangannya mengeras, matanya tak bisa lepas dari lantai.
“Mas… coba kamu yang bicara. Mungkin Kayla lebih nyaman sama kamu,” ucapnya, lirih, dengan wajah pucat dan hati tak karuan .
Aldi menelan ludah, keningnya berkerut ragu namun tetap melangkah ke pintu. “Kei…” panggilnya lembut, jari mengetuk kayu hati-hati. “Bapak khawatir sama kamu. Bisa bicara sebentar?”
Dari dalam, suara tipis menjawab. “Aku baik-baik aja, Pak.”Keira menjawab lesu setiap kalimatnya terdengar getar ketakutan.
Aldi menunduk. “Kalau benar, kamu nggak bakal mengurung diri gini. Tolong jangan bikin semua orang khawatir.” Suaranya bergetar menahan panik.
Hening.Suara tetesan hujan menjadi pengisi kesunyian kamar.
“Aku bakal keluar kalau udah baikan… tolong tinggalin aku dulu, Mas,” sahut Keira akhirnya, lemah tapi tegas.
Aldi menarik napas panjang, kakinya mundur selangkah ,matanya sayu melihat ke arah pak Mahendra lalu menggeleng pelan .
Pak Mahendra menatap kosong, bahunya turun-naik menahan takut. “Bapak cuma takut Kayla kambuh lagi… kayak waktu SMP, setelah Ibu Rahayu meninggal.” Suaranya parau.
“Tenang, Pak. Kayla nggak akan mengulangi kesalahan yang sama,” Aldi mencoba meyakinkan, meski hatinya sendiri meragukan.
Bayangan lama menghantui Mahendra: Kayla kecil terkurung berbulan-bulan setelah neneknya meninggal. Menolak makan, bicara, bahkan cahaya matahari. Satu-satunya yang ia peluk hanyalah baju terakhir sang nenek—aroma sabun dan minyak kayu putih jadi pengganti pelukan. Setiap ketukan pintu hanya membuatnya menarik selimut lebih dalam.
Kini, setelah kejadian di gudang, Mahendra melihat tanda-tanda itu kembali. Tatapan kosong, tubuh lemah, napas bergetar. Dan ia tahu, jika kali ini Kayla jatuh ke jurang yang sama… mungkin ia tak sanggup menyelamatkannya lagi.
“Kenapa hidup Kayla dipenuhi cobaan?” bisiknya lirih. “Apa karena bapak nggak pernah cukup membahagiakan dia?”
“Jangan berpikiran begitu, Pak. Kayla sangat sayang sama Bapak,” Aldi memegang bahu Pak Mahendra lalu mengusapnya pelan .
Mahendra menghela napas panjang, wajahnya sendu. “Bapak hanya takut dia benci bapak… takut dia ninggalin bapak, seperti ibunya dulu.”
“Kayla nggak akan kemana-mana,” Aldi menepuk bahunya pelan.
Mahendra tersenyum tipis, tapi matanya tetap terpaku pada pintu, seolah menunggu tanda sekecil apa pun dari putrinya.
____
Di dalam kamar, Keira berdiri di depan cermin. Tangannya gemetar saat menggenggam rambut panjangnya. Ia mengguntingnya paksa—satu, dua, tiga helai jatuh ke lantai seperti serpihan masa lalu yang ia singkirkan.
“Aku harus berubah… aku bukan Keira lagi,” bisiknya dengan air mata yang tak hentinya mengalir di pipinya.
Bayangan di cermin tak lagi ia kenali. Jemarinya menyentuh kaca yang dingin. “Kalau penampilanku berubah, Leo nggak akan mengenaliku. Aku harus jadi Kayla. Aku harus bertahan sebagai orang lain, meski harus melawan diriku sendiri.”
Gunting di tangannya terlepas, jatuh berdenting ke lantai. Ruangan seketika sunyi, namun tubuhnya masih bergetar, menatap helaian rambut yang berserakan di lantai. “Tidak ada yang boleh tahu aku ada di sini.”
$$$$$$
Seorang gadis berambut coklat bergelombang melangkah anggun melewati lobi kantor. Blazer crop ketat dan rok span membingkai siluetnya, sementara ketukan stiletto di lantai marmer menggaung mantap, memantulkan kepercayaan diri. Wangi floral lembut mengiringi setiap langkah, membuat beberapa kepala menoleh.
Namun tiba-tiba langkahnya terhenti.
Matanya membeku ketika melihat Leo memasuki lobi bersama seorang perempuan—Keira.
Leo tampil rapi seperti biasa, sementara Keira, yang sebenarnya adalah Kayla tampil sederhana namun tetap tenang. Tatapan sang gadis langsung terkunci padanya. Sesaat mata mereka bertemu—sekilas, nyaris tak berarti—namun cukup untuk menusuk.
Tak ada senyum pengakuan. Tak ada tanda bahwa Keira mengenalnya. Hanya tatapan kosong, lalu langkah ringan yang membuat Keira terus maju di sisi Leo, seakan sang gadis hanyalah bagian keramaian.
Tangan yang semula hendak melambai perlahan turun. Jemarinya mencengkeram tali tas lebih erat. Senyum di wajahnya memudar, berganti garis tipis yang menahan gejolak di dada.
"Dia benar-benar nggak kenal gue… atau cuma pura-pura? "
Sebaris ingatan lama tiba-tiba merangsek masuk, memaksa dirinya kembali pada masa ketika segalanya masih begitu jelas…
FLASHBACK
Suara bel istirahat menggema di koridor SMA itu. Suasana riuh, tawa anak-anak berseragam putih abu-abu memenuhi udara. Di deretan bangku dekat jendela, Haruna duduk dengan wajah tenang. Senyumnya lembut setiap kali teman yang lewat menyapanya. Rambut hitamnya tergerai rapi, kontras dengan kacamata tipis yang menambah kesan anggun.
Tak ada yang menyangka gadis yatim piatu yang tinggal di panti asuhan itu begitu pintar dan disukai banyak orang. Nilai akademiknya hampir selalu sempurna. Bahkan guru-guru sering memujinya.
Di sebelahnya, Keira menunduk, sibuk menulis dengan pensil yang bergerak cepat. Wajahnya dingin, seolah dunia di sekitarnya tidak penting.
Dari sisi lain koridor, Vina bersandar bersama gengnya. Tatapannya penuh iri saat melihat Haruna dikerubungi teman-teman. Senyum tipis terangkat di bibirnya.
“Lihat tuh si panti asuhan sok-sokan jadi bintang kelas,” bisiknya pada salah satu temannya.
“Cantik iya, pinter iya. Pantes aja semua cowok ngelirik,” sahut temannya sinis.
Vina mendengus. “Biar cantik, gue bisa bikin dia nggak berharga di sini.”
Dan Vina melakukannya. Ia puas saat menyobek buku tugas Haruna, puas ketika menyiram gadis itu dengan air pel di kamar mandi. Tawa gengnya jadi musik yang menyenangkan di telinganya. Setiap kali Haruna menunduk, menahan tangis, ada rasa puas yang membuncah—seolah dunia tahu siapa yang benar-benar berkuasa di sekolah itu.
Namun, segalanya berubah dalam satu siang.
Saat Vina kembali menghadang Haruna di koridor, sebuah suara tiba-tiba terdengar.
“Cukup, Vin! Kalau kamu masih bully dia, aku bakal laporin semua ini ke guru BP!”
Suara itu tegas, meski terdengar bergetar. Keira. Si kutu buku yang selalu diam. Tangannya meraih lengan Haruna, menariknya ke belakang seolah hendak melindunginya.
Ucapan sederhana itu menancap seperti duri di telinga Vina. Bagi orang lain mungkin sepele, tapi bagi Vina, itu cambuk yang merobek harga dirinya. Sejak hari itu, satu hal jadi jelas: kebenciannya tak lagi hanya untuk Haruna, tapi juga Keira.
Awalnya, Vina menganggap Keira sekadar bayangan yang mengganggu. Tapi semakin hari, semakin sering gadis itu berdiri di samping Haruna, semakin muak ia dibuatnya. Ia tidak tahan melihat ada yang berani menantangnya secara terang-terangan.
“Lo pikir keren ya bela dia?” Vina mendorong Keira di koridor, suaranya penuh ejekan. “Mulai sekarang, lo sama aja kayak dia—sampah.”
Dan benar saja. Sejak hari itu, Keira resmi jadi mainan barunya.
Buku catatannya penuh dengan coretan hinaan. Sepatunya dilempar ke tong sampah. Puncaknya, suatu siang di kelas, Vina menyiram susu cokelat ke seragam putih Keira. Cairan lengket itu menetes ke lantai, meninggalkan noda besar di bajunya.
Tawa keras gengnya meledak, menggema di antara dinding kelas. Keira hanya bisa berdiri kaku, menggenggam ujung bajunya dengan wajah menahan malu. Haruna menunduk di kursinya, seolah ikut merasakan perih yang sama.
Vina mendekat, menepuk bahu Keira dengan senyum dingin.
“Lain kali, pikir seribu kali sebelum sok jadi pahlawan.”
___
Lift berdenting, pintunya menutup perlahan. Keira dan Leo lenyap dari pandangan, menyisakan pantulan wajah Vina di permukaan logam mengkilap itu.
Vina menatap dirinya sendiri—mata yang masih menyimpan bara dari masa lalu. Sudut bibirnya terangkat perlahan.
"Kalau lo beneran lupa, gue sendiri yang bakal bikin lo ingat."
Ia berbalik, langkahnya ringan tapi penuh maksud, kembali ke meja resepsionis.
.
.
.
Bersambung.
Leonard Hadiwijaya👿
Keira lebih baik jujur saja. tapi aku tau maksud dari diam mu.