Menjelang hari pernikahannya, Amara menghilang tanpa jejak. Dengan waktu yang semakin sempit, keluarga calon pengantin pria mendesak agar pernikahan tetap berlangsung demi nama baik. Helena, adik Amara yang diam-diam mencintai tunangan kakaknya, Lucian, dipaksa menjadi pengantin pengganti.
Namun ketika ia menerima peran itu dengan hati yang penuh luka, Helena menemukan jejak kejanggalan: apartemen Amara yang terlalu rapi, koper yang tertinggal, dan waktu yang tidak sinkron dengan hari hilangnya Amara. Semakin ia melangkah ke dalam pernikahan, semakin besar pula misteri yang membayangi keluarga mereka.
Jejak-jejak ganjil tentang hilangnya Amara membuat Helena ragu: apakah ia sedang mengambil tempat seorang pengantin yang kabur, atau menggantikan seseorang yang sudah tak akan pernah kembali?
.
Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar hanyalah fiktif belaka, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
follow ig: @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Malam sudah turun sepenuhnya ketika Helena tiba di depan rumah. Lampu teras menyala, menyoroti pintu utama yang membisu dan dingin. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan debaran jantungnya sebelum memutar kunci dan masuk.
Begitu pintu terbuka, ia langsung melihat Lucian duduk di ruang tamu, kemeja putihnya masih rapi meski dasinya sudah longgar. Ia menatap Helena dengan tatapan dalam, tetapi bukan ledakan kemarahan yang Helena bayangkan ~ hanya sebuah sorot dingin yang penuh tanya.
“Kau lama sekali,” ucap Lucian, suaranya tenang, tapi ada nada tajam yang samar.
Helena menutup pintu perlahan. “Maaf… aku terlalu tenggelam di perpustakaan. Waktu jadi terasa cepat.”
Lucian menegakkan tubuh, menyandarkan sikunya ke lutut. “Aku bisa mengerti kalau kau sibuk. Tapi aku tidak suka menunggu, Helena.”
Nada itu membuat Helena menunduk. Ia sudah bersiap menghadapi kemarahan besar, tapi justru ketenangan dingin itu yang membuatnya lebih tertekan.
“Aku mengerti,” jawabnya pelan. “Aku tidak akan mengulanginya.”
Lucian bangkit, berjalan perlahan ke arahnya. Tubuhnya menjulang, membuat Helena refleks mundur setengah langkah. Namun, alih-alih membentaknya, Lucian hanya menepuk lembut bahunya, meski sorot matanya masih penuh perhitungan.
“Bagus.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “tidak baik sendirian diluar saat hampir malam."
Helena terdiam. Kata-kata itu seharusnya melegakan, tapi justru menambah beban di dadanya. Karena di balik ketenangan Lucian, ada sesuatu yang terasa lebih berbahaya daripada sekadar amarah.
'Amara dan Lucian pasangan yang cocok, mereka tidak tertebak.' batin Helena terpaku di tempat.
Lucian berbalik, berjalan ke kamarnya. Helena menatap punggungnya yang menghilang di atas sana. Tangannya gemetar di sisi tubuh, sementara di dalam tas, buku catatan hitam Amara seakan berdenyut, mengingatkan pada semua rahasia yang baru saja diungkap Clara.
Helena baru saja menaruh tasnya di kursi ketika suara langkah berat kembali terdengar menuruni tangga. Lucian muncul, kali ini dengan jas hitam yang sudah terpakai rapi, dasi kembali terikat sempurna.
“kita harus segera pergi,” ucapnya tanpa basa-basi.
Helena menoleh, keningnya berkerut. “Pergi? Ke mana?”
"Ke rumah orang tuaku. Ulang tahun Sabrina. Aku lupa mengatakannya.” kata Lucian santai dengan wajah datarnya.
Helena tercekat. Pergi ke rumah besar Kaelith dengan semua yang terjadi ~ Amara, Clara, rahasia yang masih menggantung, ia benar-benar tidak menyiapkan apapun.
“Aku… aku belum ganti baju, dan juga belum menyiapkan kado.” katanya gugup.
Lucian mendekat, sorot matanya tajam namun tetap tenang. “Kau punya waktu sepuluh menit untuk bersiap. Jangan buat kita terlambat.”
"Aku belum menyiapkan kadonya, Lu," Helena seketika panik, ia tidak mungkin datang kesana dengan tangan kosong yang akan membuatnya dipandang buruk. Walaupun ia hanya pengganti, setidaknya Helena ingin terlihat baik di depan keluarga Lucian. Ibunya akan marah kalau ia datang ke rumah Kaelith tanpa membawa apa-apa.
"Aku sudah menyiapkan kadonya." Lucian menunjuk tangga dengan dagunya. "Kau hanya perlu ganti baju, dan datang sebagai istriku."
Helena mengangguk cepat, lalu bergegas menuju kamar. Ia mengambil salah satu gaun yang tergantung di walk in closet. Pikirannya masih dihantui kata-kata Clara, tapi sekarang ia harus menghadapi keluarga Lucian, terutama Sabrina, yang senyum manisnya sering menyembunyikan sesuatu.
Di ruang tamu, suara Lucian terdengar memberi instruksi pada supir, memastikan mobil siap. Sesekali ia melirik jam tangannya, seolah setiap detik keterlambatan adalah bentuk pengkhianatan kecil.
Helena berdiri di depan cermin, mengenakan gaun sederhana berwarna biru tua. Ia menatap bayangannya, lalu berbisik pada dirinya sendiri.
“Bertahanlah. Malam ini hanya sebuah pesta. Hanya itu…”
Namun di lubuk hatinya, ia tahu, ulang tahun Sabrina bukan sekadar pesta keluarga biasa. Ia harus bersandiwara disana seolah semuanya baik-baik saja, ia harus tersenyum palsu agar semua orang mengira pernikahan ini bahagia.
Selesai mengganti baju, Helena segera turun dan berangkat bersama Lucian.
Supir membukakan pintu untuk mereka. Tapi, malam ini Lucian ingin mengemudi sendiri.
"Tidak perlu ikut. Saya yang akan menyetir." Kata Lucian masuk ke dalam mobil, dan duduk dibalik kemudi.
"Baik Tuan," pria tua lima puluh tahun itu menunduk sedikit.
Mobil hitam itu melaju tenang di jalanan malam, lampu kota berpendar melewati jendela seperti kilasan cahaya yang dingin. Helena duduk di kursi penumpang disamping kemudi, tangannya bertaut di pangkuan, mencoba menahan gelisah.
Lucian duduk di sampingnya dengan tenang, wajahnya nyaris tanpa ekspresi seperti biasa. Hanya suara jam di dasbor dan deru mesin yang terdengar, menciptakan keheningan yang menekan.
Sesekali, Lucian melirik ke arahnya. “Kau terlihat tegang,” katanya datar.
Helena mengalihkan pandangannya ke luar jendela. “Aku hanya… lelah.”
Lucian tidak menanggapi langsung. Tangannya bergerak ke dasbor, menyalakan musik klasik yang mengalun pelan. “Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Ini hanya pesta ulang tahun.”
Hanya pesta ulang tahun. Kata-kata itu menggaung di kepala Helena, tapi tidak membuatnya lebih tenang. Ia tahu betul, setiap kali ada acara keluarga, Helena selalu merasa seperti orang asing di tengah keakraban yang dingin. Apalagi di keluarga Lucian yang seharusnya tidak ada ia disana.
Apa mereka akan menerimanya dengan hangat seperti saat mereka menerima Amara?
Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah Sabrina akan kembali menatapnya dengan senyum penuh teka-teki itu.
Mobil berbelok ke jalanan yang lebih sepi, menuju kawasan perumahan elit dengan pagar tinggi dan pepohonan rapi. Cahaya lampu taman di kejauhan menandai kediaman keluarga Kaelith yang megah.
Lucian menoleh sebentar, lalu berkata dengan nada rendah namun tegas, “Jangan tunjukkan wajah murungmu di depan keluargaku. Tersenyumlah, Helena. Mereka memperhatikan lebih dari yang kau kira.”
Helena menelan ludah, lalu mengangguk pelan. Tangannya tanpa sadar meremas gaun di pangkuannya. Ia menarik napas panjang, berusaha menyiapkan wajah yang bisa bertahan di balik senyum pura-pura.
Dan di kejauhan, rumah besar dengan lampu-lampu terang mulai tampak ~ seperti panggung megah yang siap menelan dirinya lagi.
Mobil berhenti di depan gerbang besar yang terbuka perlahan, lalu melaju masuk ke halaman luas dengan taman tertata rapi dan lampu hias berkilauan. Dari luar saja, pesta ulang tahun Sabrina sudah tampak meriah: musik lembut terdengar, meja panjang berderet dengan hiasan bunga, dan tamu-tamu berbusana elegan bercengkerama di teras.
Lucian keluar lebih dulu, kemudian bergegas membukakan pintu untuk Helena. Senyum tipis menghiasi wajahnya, bukan untuk Helena, melainkan sebagai persiapan menghadapi keramaian.
Begitu Helena melangkah turun, udara malam bercampur aroma mawar segar menyapanya. Dan tak lama, suara lembut penuh kehangatan terdengar dari arah pintu rumah.
“Lucian, Helena!”
Seorang wanita anggun dengan gaun berwarna gading berjalan mendekat, senyumnya tulus. Itu Gaby, ibu Lucian. Rambut hitamnya disanggul rapi, sorot matanya hangat ~ berbeda jauh dari tatapan tajam putranya.
Ia langsung meraih Helena dalam pelukan hangat. “Akhirnya kalian datang juga. Aku sudah menunggu.”
Helena sedikit terkejut, tapi segera membalas pelukan itu. Ada sesuatu dari Gaby yang membuatnya merasa… sedikit lebih aman.
“Maaf, kami agak terlambat, Ma,” jawab Helena pelan.
“Tidak apa-apa, sayang.” Gaby menepuk tangannya lembut, lalu menoleh pada Lucian dengan tatapan penuh kasih. “Kau masih sama seperti ayahmu, selalu tepat waktu kalau urusan bisnis, tapi kalau keluarga…” Ia tertawa kecil.
Lucian hanya mengangkat alis tipis, membiarkan ibunya berbicara. Namun sorot matanya tetap mengawasi Helena.
“Masuklah,” ajak Gaby sambil menggandeng tangan Helena. “Sabrina akan senang sekali melihatmu. Dia sudah menanyakanmu beberapa kali.”
Nama itu membuat Helena sedikit tegang. Ia memaksa tersenyum, meski di dalam hatinya ada rasa berat. Sabrina dekat dengan Amara, ia takut gadis itu tidak menerima keberadaannya.
...***...
...Like, komen dan vote....
...💙💙💙...