Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.
Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.
Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.
Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Munculnya Sebuah Cahaya Setelah Kegelapan!
Setelah pelelangan, diruangan tempat tamu yang ingin mengambil barang yang ia dibeli.
Gadis lelang membuka pintu kandang besi itu perlahan, suara gesekan logamnya nyaring menggema di ruang bawah tanah yang lembap dan gelap. Kunci tua yang diputar mengeluarkan bunyi nyaring, seolah menandai akhir dari siksaan Xu Hao di tempat mengerikan ini.
"Keluar," ucap gadis lelang dengan nada dingin namun tidak mengandung kebencian. Ia menunjuk ke tikar bambu yang tergelar di dekat dinding batu. "Duduklah di sana. Tuan barumu akan segera datang."
Xu Hao melangkah perlahan, lututnya gemetar, tubuhnya yang kurus hampir tak mampu menopang beban jiwanya yang luka. Ia duduk di tikar bambu itu dengan pandangan kosong, sementara air matanya terus mengalir, membasahi pipinya yang pucat. Pikirannya melayang pada nasihat ayah dan ibunya, kata-kata yang dulu terdengar keras kini terasa seperti pelukan yang telah pergi.
"Jika suatu hari kau keluar dari desa, ketahuilah... dunia luar lebih kejam dari yang bisa kau bayangkan. Kadang, sulit membedakan mana manusia, mana binatang. Mereka bisa lebih buas dari harimau."
Xu Hao menangis tanpa suara. Dunia yang kini dihadapinya jauh lebih mengerikan dari cerita-cerita lama yang pernah diceritakan orang tuanya. Di tempat ini, bahkan harga nyawanya ditentukan oleh seberapa menarik dirinya di mata para pemburu kekuasaan.
Tak lama, pintu berat dari kayu merah dibuka dari luar. Seorang pria masuk dengan langkah tenang namun penuh wibawa. Jubah birunya panjang, dihiasi pola awan emas yang tampak bersinar samar di bawah cahaya lentera batu roh. Di dadanya tergantung lencana kayu giok dengan simbol Klan He, gelombang dan langit yang terbelah dua.
Gadis lelang langsung berdiri dan memberi hormat. "Selamat datang, Tuan Cuyo. Silakan ambil barang milik Anda."
Cuyo mengangguk pelan, lalu mengeluarkan kantong kain berisi batu roh dari lengan jubahnya dan menyerahkannya kepada gadis itu. "Lima puluh ribu batu roh. Hitung dengan teliti."
Gadis itu membungkuk, memeriksa isinya dengan mata spiritual yang tajam. Cahaya samar dari batu-batu roh itu memantul di wajahnya, memastikan keasliannya. "Semuanya asli dan lengkap, Tuan. Terima kasih atas pembelian Anda."
Cuyo tidak membuang waktu. Ia menoleh ke arah Xu Hao, lalu berjalan mendekat. Matanya tajam seperti seekor elang, namun ada kehangatan yang tidak bisa disembunyikan.
Cuyo berlutut, menyamai tinggi tubuh Xu Hao yang masih terduduk. "Sini, Nak. Tidak usah takut. Kau sudah bebas sekarang. Paman akan membawamu keluar dari tempat ini."
Xu Hao menatap pria itu. Tangannya terangkat perlahan, ragu-ragu, seperti burung yang takut jatuh dari sarangnya. Namun akhirnya ia meraih tangan Cuyo, yang hangat dan kokoh, sangat berbeda dari tangan-tangan kasar yang sebelumnya menyeretnya dari hutan.
Cuyo menarik Xu Hao ke pelukannya dan membantu bocah itu berdiri. "Mulai hari ini, kau tidak sendirian lagi. Aku akan merawatmu seperti anakku sendiri. Aku tidak punya putra, hanya seorang putri. Tapi kau... jika kau mau, kau bisa menjadi putraku."
Xu Hao terdiam. Mata kecilnya melebar, dadanya terasa sesak oleh emosi yang membuncah. Perlahan, ia mengangguk. Lalu tubuhnya jatuh dalam pelukan pria itu dan tangisnya pecah sekali lagi, bukan karena ketakutan, tapi karena rasa syukur yang tiba-tiba menyelimuti hatinya.
Cuyo memeluknya erat, menepuk punggung bocah itu. "Tidak ada lagi yang akan menyakitimu. Selama aku masih hidup, tak seorang pun bisa menyentuhmu."
Setelah beberapa saat, Cuyo berdiri dan menoleh ke gadis lelang. "Semua sudah selesai?"
Gadis itu mengangguk. "Sudah, Tuan. Terima kasih telah berurusan dengan kami."
"Bagus," jawab Cuyo. Ia lalu berlutut lagi di hadapan Xu Hao dan menepuk punggungnya. "Naiklah ke punggung paman. Kau pasti lelah."
Xu Hao pun menaiki punggung pria itu, tubuh ringkihnya mudah sekali diangkat. Cuyo membawa bocah itu meninggalkan lorong pelelangan, berjalan naik tangga batu yang panjang, hingga akhirnya kembali menghirup udara kota malam yang lebih segar.
Langkah demi langkah membawa mereka ke pusat kota. Di sana, berdiri sebuah penginapan mewah dari batu hitam giok, dengan lampion spiritual berwarna emas menyala di setiap sisinya. Di gerbangnya tertulis 'Penginapan Bintang Langit', salah satu yang paling mewah di seluruh Kota Shuangluan.
Cuyo menghampiri meja resepsionis. Seorang pelayan berpakaian sutra segera membungkuk memberi hormat.
"Satu kamar terbaik. Untuk satu malam," kata Cuyo.
"Tentu, Tuan. Biayanya sepuluh ribu batu roh."
Cuyo mengeluarkan batu roh lagi dan menyerahkannya. Setelah menerima kunci berbentuk giok merah, ia membawa Xu Hao ke kamar di lantai dua. Begitu pintu dibuka, Xu Hao hampir tidak bisa bernapas.
Ruangan itu luas, berlantai kayu cendana yang harum, dinding dihiasi lukisan langit malam, dan lentera spiritual di setiap sudut menerangi ruangan dengan cahaya hangat. Dua ranjang besar berlapis sutra abu-abu muda berada di tengah ruangan. Di sudut ada tempat mandi dari batu giok, airnya memancarkan uap wangi bunga peony.
"Mari masuk. Mandilah dulu," kata Cuyo, meletakkan Xu Hao dengan lembut.
Setelah membimbing Xu Hao ke tempat mandi dan membiarkannya menyendiri, Cuyo keluar sebentar. Ia kembali beberapa saat kemudian, membawa satu set pakaian abu-abu bersih yang dijahit rapi dari kain ringan, yang terlihat sederhana.
"Pakailah ini," katanya sambil meletakkan pakaian di ranjang.
Xu Hao mengangguk, lalu mengambil pakaian itu dan memakainya. Setelah Xu Hao selesai berganti, Cuyo menatapnya dengan bangga. "Kau terlihat tampan, Nak."
Xu Hao menunduk. "Terima kasih, Paman. Terima kasih sudah memperlakukan aku dengan baik..."
Cuyo menggeleng dan tersenyum. "Jangan ucapkan terima kasih. Semua ini sudah ditulis oleh langit. Takdir tidak pernah salah."
Xu Hao mengangguk, matanya berkaca-kaca. Namun perasaan hangat itu lagi-lagi direnggut oleh kenangan akan ayah dan ibunya. Perasaan rindu menghantamnya, menghancurkan keceriaan barusan.
Melihat perubahan di wajah bocah itu, Cuyo berkata, "Ayo kita keluar sebentar. Aku yakin kau belum makan malam yang layak."
Xu Hao mengangguk pelan. Mereka keluar dari penginapan dan berjalan ke restoran tepat di sebelahnya. Restoran itu ramai, namun begitu Cuyo masuk, semua langsung memberi jalan, menunjukkan hormat pada simbol Klan He di dadanya.
Cuyo memilih tempat duduk di lantai atas, ruangan pribadi yang tenang. Ia memesan begitu banyak makanan hingga meja penuh dengan hidangan. Daging roh api, sup awan bambu, tumis jamur sembilan kelopak, nasi giok lembut, dan teh mawar spiritual.
Xu Hao melongo. Ia bahkan tidak tahu nama makanan itu. Semuanya terlihat asing, harum, dan menggoda.
"Makanlah pelan-pelan. Ambil satu dulu, setelah habis baru ambil yang lain. Semua ini milikmu malam ini," kata Cuyo dengan lembut.
Xu Hao mengangguk dan mulai makan. Setiap gigitan seolah membawa kehangatan masuk ke tubuhnya. Ia makan dengan lahap, seolah ingin mengisi kehampaan yang menganga di dalam dadanya.
Cuyo duduk tenang, memandang anak itu dengan senyum lembut. Dalam hatinya, ia berkata pelan.
"Anak ini... mungkin akan mengubah takdir klan kami. entah mengapa intuisi ku mengatakan demikian..."
Setelah selesai makan malam, Cuyo menuntun Xu Hao untuk kembali ke kamar. Langkah pria itu mantap, setiap gerakannya memancarkan ketenangan yang anehnya membuat Xu Hao merasa aman. Begitu tiba di depan pintu, Cuyo membuka kunci dengan sentuhan ringan, lalu masuk bersama Xu Hao.
“Tidurlah, nak. Besok pagi kita akan berangkat menuju Kota Tianhe,” ucap Cuyo dengan suara tenang, namun mengandung nada perintah yang lembut.
Xu Hao menatap paman barunya itu sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah, paman.”
Cuyo tersenyum tipis. “Anak baik.”
Xu Hao berjalan menuju ranjang di sisi kanan, lalu berbaring. Matanya mulai berat, tubuhnya terasa lelah, bukan hanya karena perjalanan hari ini, tetapi juga dari segala tekanan yang ia alami dalam beberapa waktu terakhir. Perlahan kelopak matanya tertutup, tenggelam dalam mimpi yang samar.
Di ranjang sebelah, Cuyo tidak ikut berbaring. Ia duduk bersila, kedua telapak tangannya diletakkan di atas lutut. Napasnya perlahan melambat. Udara di sekitar tubuhnya bergetar halus, seperti ada aliran tak kasat mata yang mengalir masuk dan keluar dari tubuhnya. Dalam keheningan malam, samar-samar terdengar suara bisikan angin yang sebenarnya adalah riak energi spiritual yang mengalun mengitari tubuhnya.
Langit malam di luar jendela bertabur bintang, sinarnya menembus celah tirai, memantul di lantai kayu giok yang mengkilap. Malam itu berlalu tenang.
Pagi tiba. Cahaya keemasan menembus jendela, membentuk garis-garis hangat di dinding kamar. Xu Hao terbangun, mengucek matanya perlahan.
“Apa kau tidur nyenyak, nak?” suara Cuyo terdengar, dalam namun lembut.
Xu Hao mengangguk kecil. “Tidur nyenyak, paman.”
Cuyo tersenyum tipis. “Bagus. Cuci muka dulu. Setelah itu kita akan sarapan, lalu pergi ke Kota Tianhe.”
Xu Hao menuruni ranjang, lalu berjalan menuju tempat cuci di sudut kamar. Air di wadah batu berukir naga itu dingin dan segar, membuat kantuknya hilang seketika. Setelah selesai, ia kembali menghampiri Cuyo.
Tanpa banyak bicara, Cuyo mengajak Xu Hao keluar dari penginapan. Udara pagi di kota itu masih menyimpan aroma embun. Jalanan belum terlalu ramai, hanya ada beberapa pedagang yang baru membuka lapak dan beberapa kultivator muda yang berlatih jurus pedang di alun-alun kecil.
Mereka menuju sebuah restoran yang terletak tak jauh dari penginapan. Aroma kaldu dan rempah menyambut begitu pintu kayu dibuka. Mereka memilih meja dekat jendela, dan pelayan segera datang menyajikan teh hangat sambil menunduk hormat.
Setelah sarapan dengan tenang, Cuyo meletakkan sumpitnya, lalu menatap Xu Hao. “Siapa namamu, nak?”
Xu Hao menatap Cuyo, lalu menjawab dengan suara pelan namun jelas. “Namaku Xu Hao.”
Mendengar itu, Cuyo tersentak halus, lalu terdiam sesaat. Pandangannya sedikit berubah, seolah nama itu membangkitkan kenangan yang hanya ia sendiri yang tahu. “Nama yang bagus,” ucapnya. “Sangat cocok untuk anak baik sepertimu.”
Ucapan itu membuat Xu Hao tersenyum kecil. “Makasih, paman.”
Cuyo menegakkan duduknya. “Kalau begitu, mulai sekarang, paman akan memanggilmu Hao’er.”
Sekejap tubuh Xu Hao membeku. Hatinya terasa diremas ketika mendengar panggilan itu. Ingatannya melayang pada ayah dan ibunya, yang dulu memanggilnya dengan sebutan penuh kasih sayang itu. Tapi kini… panggilan itu keluar dari mulut orang lain.
Cuyo melihat perubahan ekspresinya. “Nak, kau kenapa? Kalau kamu keberatan, paman tidak akan memanggilmu seperti itu.”
Xu Hao tersadar dari lamunannya. “Aku… tidak apa-apa, paman. Paman boleh memanggilku Hao’er.”
Senyum tulus muncul di wajah Cuyo. “Bagus, bagus sekali. Jadi mulai sekarang, paman akan memanggilmu Hao’er.”
Xu Hao mengangguk sambil tersenyum, meski di balik senyum itu masih ada jejak rindu yang dalam.