Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 – Bayang di Ladang Singkong
Ladang singkong milik Pak Din terletak di batas barat Kampuang Binuang. Wilayah itu jarang dilewati warga karena tanahnya miring dan berbatasan langsung dengan rimbunnya hutan kecil yang disebut Hutan Samun. Meski demikian, sejak seminggu terakhir, Pak Din bersikeras membersihkan ladangnya, mengaku sering mendengar suara orang menebang, padahal tak ada siapa-siapa.
“Setiap sore ada suara cung-cung—kayak orang menebas batang singkong. Tapi waktu aku datang, batangnya masih utuh,” cerita Pak Din saat duduk bersama Bahri, Reno, Ajo, dan Ucup di beranda rumahnya.
Bahri menyesap teh hangat dan mengangguk pelan. “Kau dengar suara itu jam berapa biasanya, Din?”
“Paling sering lepas asar. Tapi kadang juga muncul pas subuh. Aku pikir awalnya cuma halusinasi, tapi suaranya makin jelas. Bahkan semalam aku dengar suara anak kecil ketawa di ladang.”
Ucup langsung menimpali, “Wah, jangan-jangan itu hantu anak-anak lagi, Ri. Yang kayak waktu di Bukik Lubuak.”
Ajo menyender ke tiang. “Atau bisa juga... suara itu datang dari yang lama pernah tinggal di sana. Pernah ada pemukiman tua nggak, Pak Din?”
Pak Din termenung sejenak. “Dulu... waktu aku masih kecil, memang pernah ada satu keluarga tinggal di ujung ladang. Mereka datang dari seberang, katanya pengungsi. Tapi setelah satu tahun, rumah mereka kebakar. Semua meninggal, termasuk anak perempuannya.”
Bahri menghela napas dalam. “Kalau benar begitu, bisa jadi yang datang ke ladang itu bukan ‘suara’ saja, tapi ‘ia’.”
Sore itu mereka menuju ladang Pak Din. Matahari mulai condong, bayang-bayang memanjang di antara batang singkong. Udara lembap, dan suara serangga mendominasi.
“Eh, dengerin itu!” bisik Reno sambil menunjuk ke arah barat ladang.
Suara cung-cung-cung terdengar pelan, ritmis, seperti irama menebas batang. Tapi tak ada batang yang bergerak. Tak ada manusia terlihat.
Ucup merapat ke Ajo. “Kau bawa itu kan?”
Ajo mengangguk, mengeluarkan sebungkus garam dan cermin kecil dari saku.
“Kata Mak Tundun, kalau makhluknya ga mau bicara, pakai cermin. Biar dia lihat dirinya sendiri.”
Bahri memejamkan mata sebentar, lalu membaca doa pelan. “Kita panggil dengan baik. Kalau dia memang butuh pertolongan, dia akan datang.”
Mereka duduk melingkar di tengah ladang, menyalakan dupa dari daun kering, dan meletakkan cermin serta garam di tengah lingkaran.
“Kalau muncul suara, jangan langsung bicara. Biarkan dia bicara dulu,” pesan Bahri.
Dan benar, suara cung-cung berhenti.
Lalu suara kecil terdengar, pelan, nyaris seperti bisikan di daun telinga.
“Kau datang... akhirnya.”
Sosok anak perempuan muncul di antara batang singkong. Bajunya gosong sebagian, rambutnya kering dan lepek. Ia menatap mereka sambil menggenggam batang singkong.
“Aku suka ladang ini. Tapi mereka bakar rumahku. Katanya... kami bawa sial.”
Bahri menatapnya lembut. “Apa kau ingat namamu, Nak?”
Ia mengangguk pelan. “Aku Sari. Waktu itu aku umur delapan. Ayahku bilang kami aman di sini. Tapi malam itu... semua gelap. Asap. Api.”
Reno menggenggam kain kecil dan memberikannya pada Sari. “Ini... dari Mak Tundun. Katanya, biar Sari nggak kedinginan.”
Anak itu menerimanya, lalu duduk di tanah.
“Kalau aku bisa tanam satu pohon singkong, boleh aku pulang?”
Bahri tersenyum. “Kau boleh tanam singkong di tempatmu. Lalu kita kirim doa agar pohonnya tumbuh sampai langit.”
Sari mengangguk. Ia mulai menggali tanah kecil, dan menanam satu batang singkong yang ia bawa sendiri.
Saat itu, cahaya matahari terakhir memantul dari cermin. Sosok Sari perlahan menghilang, hanya meninggalkan suara kecil, “Terima kasih... aku tak sendiri lagi.”
Malamnya, Bahri dan teman-teman kembali ke rumah Pak Din. Mereka duduk di beranda, menatap langit yang cerah.
Ucup membuka percakapan, “Kira-kira pohon singkong itu beneran tumbuh nggak ya?”
Ajo menjawab, “Kalau tumbuh, berarti Sari beneran tenang.”
Pak Din yang mendengar dari dalam, keluar dan berkata, “Kalau besok ada yang tumbuh di tengah ladang... aku akan pelihara sebaik-baiknya.”
Bahri menepuk bahu Pak Din. “Itu cukup. Kadang, yang dibutuhkan arwah bukan hanya doa, tapi tempat untuk dikenang.”
biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
semangat Thor... semoga sukse...