kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..
berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.
hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Body guard cubby rasa teman...
Setelah sarapan, area taman belakang jadi pusat kumpul mereka. Rara dan Maya bergerak cepat, meletakkan berbagai camilan dan buah-buahan di atas meja.
"Mark, jadi ikut Australia?" Axel membuka percakapan, tatapannya lekat pada Mark.
"Pengin, sih. Tapi… belum pasti," jawab Mark, suaranya sedikit tercekat. Ada sesuatu yang tak terucap di sana.
"Alah, rumah sakitmu itu lho. Tinggalin sebentar enggak rugi juga kali. Dokter-dokter terbaikmu banyak banget," timpal Rico, nada suaranya jahil, mencoba menggoda Mark.
Axel kemudian menoleh ke Stev, "Kamu terbang jam berapa ke Cina, Stev?"
"Jam sebelas, Tuan," jawab Stev, matanya fokus. "Saya akan langsung menyeleksi para bodyguard untuk Nyonya."
Axel mengangguk. "Usahakan yang humoris. Biar orang enggak curiga mereka jago bela diri." Ada perhitungan di balik kalimat Axel.
"Yang cantik ya, Stev!" Mark langsung menyambar, bibirnya menyunggingkan senyum genit. "Siapa tahu jadi jodohku!"
CTAK!
Kulit kacang mendarat telak di kepala Mark, dilempar Rico tanpa ampun. Gelak tawa pun pecah, mengisi pagi itu.
"Ric… kapan kamu mulai melatih Maya?" Axel menajamkan tatapannya pada Rico.
"Ini sih namanya menyelam sambil minum air," celetuk Mark, senyum licik terukir di bibirnya, melontarkan ejekan ke arah Rico.
"Mulai hari ini, Tuan. Saya akan melatihnya bela diri dulu," jawab Rico, suaranya mantap.
Axel mengangguk kecil, membiarkan jawabannya meresap.
Siang merangkak naik. Stev diantar Tomy ke bandara, sebuah pesawat komersial membawanya pergi.
Mark memilih kembali ke sarangnya, apartemennya, mencari ketenangan untuk beristirahat.
Axel dan Rara melangkah kembali ke kamar mereka.
Sementara Rico dan Maya, dengan tekad membara, bergegas menuju markas untuk memulai pelatihan yang intens.
Di dalam kamar bernuansa gelap yang menenangkan, mereka tenggelam dalam alur drama Korea. Axel, yang sejatinya tak begitu gemar menonton, rela menemani sang istri.
Perlahan, suasana romantis dalam film meresap, menarik mereka ke dalamnya. Naluri pun mengambil alih kendali. Sebuah ciuman lembut menjadi awal, sebelum api gairah perlahan membara, memanaskan segalanya.
Dengan napas tertahan, Axel meminta izin untuk mengambil haknya, dan Rara, dengan mata memerah, menyetujuinya.
Axel memindahkan tubuh Rara ke hamparan kasur yang lebih luas. Dengan kelembutan yang memabukkan, semua helai kain yang membalut tubuh Rara menghilang, berpindah tempat.
"Siap, Sayang?" bisik Axel, suaranya dalam. "Mungkin ini akan sedikit sakit, tapi Mas akan melakukannya sangat pelan."
Rara hanya bisa merespons dengan anggukan samar, tubuhnya bergetar dalam antisipasi.
Dengan penuh kehati-hatian, Axel memasukkan 'pusakanya'. Rintihan kesakitan Rara menguar di awal, namun perlahan berubah menjadi desahan panjang kenikmatan yang memabukkan.
Tiga jam lebih mereka bertarung dalam gelora asmara, berharap benih cinta yang Axel tanam akan segera bersemi menjadi tunas kehidupan: Axel junior.
Kelelahan menguasai Rara, ia terlelap dalam pelukan mimpi. Axel beranjak, mengambil handuk dan air hangat, dengan penuh kasih membersihkan 'lubang kenikmatan' istrinya.
"Sial, baru saja selesai, sudah bangun lagi," desis Axel, hasratnya kembali mendidih.
Tanpa ragu, ia kembali menyatukan tubuh mereka, seolah melupakan kelelahan Rara. Desahan Rara, "Uuuchhh," semakin memicu nafsu Axel.
Satu jam lagi berlalu, hingga akhirnya mereka berdua terlelap pulas, melewatkan jam makan siang.
Pukul empat sore, Axel terbangun lebih dulu. Ia membersihkan diri di kamar mandi, lalu menyiapkan air hangat untuk Rara berendam.
"Sayang… bangun. Mandi dulu," bisiknya lembut, mengelus pipi Rara.
"Hmm, jam berapa, Mas?" Rara malah bertanya, suaranya serak.
"Jam empat sore, Sayang," jawab Axel, menahan senyum.
Rara tersentak, mencoba buru-buru bangkit. Namun, rasa nyeri di area bawah perutnya menghentikan langkahnya. Axel tersenyum maklum, lalu menggendongnya menuju kamar mandi.
"Kamu berendam sebentar biar rileks. Nanti Mas bantu oleskan ya biar enggak perih lagi," janji Axel, matanya penuh perhatian.
Merasa terlalu malu untuk keluar, Axel meminta maid untuk membawakan makanan ke kamar. Mereka pun menyantap hidangan dengan lahap, berbagi keintiman dalam kesederhanaan.
Seminggu berlalu begitu cepat. Kabar baiknya, bodyguard untuk Rara akan datang hari ini. Di sisi lain, Maya terlihat sangat tekun belajar bela diri, semangatnya patut diacungi jempol.
Pagi ini, Rara tiba-tiba ingin pergi ke mal, tapi Axel tidak bisa menemaninya. Ia harus mengecek barang untuk transaksi nanti malam – sebuah tugas yang biasanya Rico tangani, namun kali ini pembeli meminta Axel sendiri yang turun tangan.
"Mas, Rara nanti siang mau jalan ke mal, boleh?" tanya Rara, matanya penuh harap.
Axel mengelus lembut rambut Rara. "Hmm, boleh, Sayang. Tapi Mas tidak bisa menemani." Nada suaranya penuh sesal.
"Enggak apa-apa, Mas. Kan ada Kak Maya. Kalau enggak, Kak Rico yang nganterin, boleh, ya?" Rara mencoba tawar-menawar.
Axel tersenyum. "Ya sudah, ajak saja Rico juga. Tapi tetap hati-hati, ya. Jangan kecapekan," pesannya.
"Siap, Komandan!" Rara menjawab sambil cekikikan, senang rencananya disetujui.
Baru saja Rara hendak melangkah keluar, Steven datang bersama dua bodyguard pesanan Axel.
"Nyonya mau ke mana?" tanya Steven, suaranya datar.
"Ke mal, Kak. Jalan-jalan, bosan di rumah terus," jawab Rara.
"Kalian temani Nyonya ke mana pun ia pergi," perintah Steven pada kedua bodyguard wanita itu. "Nyonya, ini bodyguard untuk Anda. Namanya Vani dan Vanya."
Rara terpaku. Di hadapannya berdiri dua wanita yang tampak seperti boneka hidup: pipi tembem, mata sipit, dan wajah yang persis sama. "Kalian kembar, ya?" tanya Rara takjub.
"Iya, Nyonya," jawab mereka serempak, suara mereka lembut.
"Jangan panggil Nyonya, panggil Rara saja. Anggap seperti teman, oke?" pinta Rara ramah.
Mereka pun berangkat, tanpa mengajak Rico. Bagi Rara, dua bodyguard ini sudah lebih dari cukup.
Di tengah perjalanan, mobil mereka tiba-tiba dihadang oleh sekelompok perampok bertampang sangar.
"Keluar kalian!" seru kepala perampok itu, suaranya menggelegar.
Vanya, dengan wajah imutnya yang tak terbaca, membuka pintu mobil.
Tanpa aba-aba, ia langsung menghajar perampok terdekat. Vany dan Maya segera ikut membantu, membentuk formasi yang tangguh.
Rara dilarang turun oleh Maya, yang dengan sigap melindunginya.
Para perampok itu kocar-kacir, tunggang langgang melarikan diri. Pertarungan singkat itu berakhir, dan mereka melanjutkan perjalanan ke mal.
Dua jam lebih mereka menjelajahi mal. Rara dengan senang hati membelikan pakaian untuk Maya, Vani, dan Vanya.
Ia sendiri memilih beberapa setelan dan kemeja untuk suaminya. Langkah mereka kemudian berhenti di sebuah butik tas branded. Rara terpikat pada sebuah tas yang modelnya tampak biasa saja, namun harganya paling tinggi di toko itu.
Karena kurang hati-hati, Rara tak sengaja menyenggol seorang gadis yang seumuran dengannya.
"Maaf, saya tidak sengaja," ucap Rara sopan, refleks menunduk.
"Apa? Maaf?" Gadis itu mendelik. "Lihat ini, bajuku jadi kotor! Harganya belum tentu kamu bisa menggantinya!" bentaknya, suaranya melengking tajam.
Tiba-tiba, rambut Rara ditarik dengan kencang oleh gadis itu, membuat Rara merintih kesakitan.
Vany, yang melihat kejadian itu, langsung bergerak cepat, melintir tangan gadis tersebut.
"Jangan pernah sentuh teman saya dengan tangan kotormu itu!" ucap Vany, nada suaranya penuh emosi yang tertahan.
"Siapa kamu? Beraninya melawan aku! Kalian akan menanggung akibatnya!" Gadis itu berseru marah, wajahnya memerah.
"Enggak takut, wek!" Vanya membalas, menjulurkan lidah dengan ekspresi meledek.
Gadis itu mendengus kesal, lalu pergi terburu-buru, dikawal tatapan tajam dari Vany dan Vanya.
"Kamu tidak apa-apa kan, Ra?" tanya Maya dengan cemas, mendekat pada Rara.
"Maafkan kami, ya, lalai menjaga kamu," imbuh Vanya, raut penyesalan terlihat di wajahnya.
"Tidak apa-apa, Vanya. Ini salahku tadi tidak sengaja menabrak cewek itu. Oh ya, jangan sampai Mas Axel tahu, ya," mohon Rara, menatap mereka satu per satu.
"Kamu ini," Maya terkekeh pelan, menoel hidung Rara.
Sebelum pulang, mereka memutuskan mampir ke sebuah rumah makan pinggir jalan.
Gelak tawa dan senda gurau mewarnai santap siang mereka. Namun, di tengah keasyikan itu, suasana mendadak membeku saat gadis yang tadi ditabrak Rara tiba-tiba muncul, tidak sendirian. Beberapa pengawal berbadan kekar mengikutinya.
Gadis itu menggebrak meja dengan keras. "Urusan kita belum selesai, gadis kampung!" serunya, sorot mata dan nada bicaranya penuh kesombongan.
Rara menatapnya tanpa gentar. "Kamu mau apa lagi? Saya sudah minta maaf."
"Aku ingin kamu berlutut dan minta maaf!" perintah gadis itu, suaranya menusuk.
Vany sontak melangkah maju, menghalangi Rara yang sempat berniat menuruti perintah gila itu. Vany melangkah selangkah mendekati gadis arogan itu, namun gadis itu dengan sigap mundur, bersembunyi di balik barisan pengawalnya.
"Cih, cemen!" desis Vany, nada suaranya meremehkan.
Salah satu pengawal melangkah maju, membusungkan dada. "Mending kalian minta maaf, atau akan aku buat wajah kalian cacat!" ancamnya dengan suara berat.
"Cih, beraninya mengancam!" Vanya balas mengejek, bibirnya tersungging.
Pertarungan tak terhindarkan. Vany, Vanya, dan Maya langsung berhadapan dengan sepuluh pengawal lawan.
Di tengah kekacauan itu, gadis arogan tadi memanfaatkan situasi. Ia bergerak cepat mendekati Rara.
Namun, sejak koma, insting Rara menjadi jauh lebih tajam. Ia berhasil menghindari dorongan gadis itu, yang justru kehilangan keseimbangan dan jatuh terjerembap sendiri.
Di markas, Tomy terkesiap melihat monitor. "Lapor, Tuan! Sinyal GPS Nyonya urgent!" lapornya panik pada Axel.
Axel langsung membuka laptopnya, matanya menatap tajam ke layar, memindai situasi. Geram, ia menyambar kunci mobil, diikuti oleh beberapa anak buahnya. Begitu tiba di lokasi, Axel menerobos kerumunan yang masih bertarung.
"BERHENTI!" teriak Axel lantang, suaranya menggema, memancarkan aura mematikan yang sontak membekukan suasana.
"Mas Axel!" Rara langsung berlari, memeluk erat suaminya.
Axel membalas pelukan Rara tak kalah erat, mengecup puncak kepalanya. "Kamu tidak apa-apa kan, Sayang?" introgasinya lembut namun tegas, matanya menyapu tubuh Rara mencari luka. "Masuk dulu ke mobil, ya," perintahnya kemudian.
Gadis arogan itu terpana melihat ketampanan Axel. Matanya tak berkedip.
Axel mendekati gadis itu, mencengkram erat dagunya hingga gadis itu merintih kesakitan.
Sorot matanya tajam dan mengancam.
"Jangan coba-coba mengganggu milik Lion King, Nona." Ia melepas cengkramannya dengan kasar, lalu berbalik pergi meninggalkan mereka, aura dingin masih menyelimuti dirinya.
Setibanya di mansion, Rara langsung berlari masuk, membiarkan gerimis malam membasahi jejak langkahnya yang terburu-buru.
Kamar tidur adalah satu-satunya pelariannya, tempat ia bisa melepas segala ketegangan. Setelah membersihkan diri, bayangan rasa bersalah masih membebaninya.
Ia tahu, Axel, suaminya, pasti sedang menahan amarahnya, dan itu terasa lebih menyakitkan daripada bentakan langsung.
Dengan langkah ragu, Rara menghampiri Axel yang sedang duduk di ruang kerja, aura dingin menyelimuti ruangan. "Mas... maafin Rara ya," bisiknya lirih, menyandarkan kepalanya di dada bidang Axel, mencari kehangatan yang biasanya selalu ia temukan.
Axel menghela napas panjang. Jemarinya perlahan membelai rambut Rara. "Kamu tidak salah kok, sayang," ucapnya, namun ada nada lelah yang terselip di sana.
Mendengar itu, Rara mendongak, matanya berkaca-kaca. "Jangan memarahi Kak Maya sama duo cubby, Mas. Mereka tidak tahu apa-apa," pintanya, suaranya tercekat.
Axel mengerutkan alisnya, kebingungan melintas di wajahnya. "Siapa duo cubby?" tanyanya, ada sedikit rasa ingin tahu di balik ketegasannya.
Rara tersenyum tipis di tengah kecemasannya. "Vany sama Vanya, Mas. Mereka Rara juluki duo cubby karena pipi mereka yang menggemaskan," jawabnya dengan antusiasme yang dipaksakan.
Axel tersenyum simpul, mendekatkan wajahnya ke telinga Rara. "Lebih menggemaskan istri Mas ini," bisiknya, suaranya merdu, melelehkan sedikit kecemasan di hati Rara. Namun, ketegangan di antara mereka masih terasa nyata.
Sementara itu, di sudut lain mansion yang megah, benih-benih rahasia tengah tumbuh. Diam-diam, Maya dan Rico menjalin hubungan. Setiap tatapan, setiap sentuhan, adalah rahasia yang mereka simpan rapat, belum berani diungkapkan pada Axel yang posesif.
Di sisi lain, Vany sedang dalam fase pendekatan dengan Steven, sebuah hubungan yang baru mulai bersemi, penuh harapan dan keraguan.
Malam itu, entah mengapa, Mark merasa seperti ditarik oleh kekuatan tak kasat mata menuju mansion Axel. Sebuah dorongan kuat, hampir seperti takdir, menyuruhnya untuk datang. Begitu tiba di ruang tamu, nasib mempertemukannya dengan Vanya. Mereka bertabrakan, sebuah pertemuan tak terduga yang mengunci pandangan mata mereka secara intens.
Waktu seolah berhenti, hanya ada mereka berdua dalam keheningan yang memikat.
Namun, momen magis itu hancur berkeping-keping oleh suara Rico yang menusuk.
"Tahu saja ya kalau di sini ada yang bening," ejek Rico, senyum sinis tersungging di bibirnya, memutus keindahan sesaat itu, meninggalkan Mark dan Vanya dalam kecanggungan yang tiba-tiba.
Axel dan Rara menuruni tangga, bergandengan tangan, senyum tipis terukir di wajah mereka, seolah melupakan ketegangan yang sempat menyelimuti.
"Malam, Kak Mark," sapa Rara dengan ramah, nada suaranya selembut belaian angin malam.
Mark tersenyum membalas sapaan itu. "Malam, Ra... Oh ya, Xel, soal ke Australia, gue ikut."
Rico menyeringai, matanya melirik ke arah Mark. "Halah, bilang saja ada mangsa, makanya ikut." Ejekan itu meluncur begitu saja dari bibir Rico, penuh provokasi.
Mark melototi Rico, bola matanya berputar malas. Tampak jelas ia tak ingin memperpanjang perdebatan.
Axel tertawa ringan, sebuah tawa yang meredakan suasana. "Oke, tapi di sana enggak boleh ganggu kita yang lagi honeymoon," ucapnya dengan nada bercanda, namun sorot matanya menyiratkan keseriusan.
Mereka pun mulai menikmati hidangan malam. Semua sudah berkumpul, termasuk Vanya dan Vany yang ikut makan bersama. Kehadiran mereka adalah permintaan Rara, yang selalu ingin suasana hangat dan kebersamaan.
semua anak buah good Banggt menurut ku kaya di film badabest Banggt 👍
lanjut Thor
Weh Weh obat perangsang dah ga laku lah let lagu lama itu