Seorang pemuda lulusan kedokteran Harvard university berjuang untuk menjadi seorang tentara medis. Tujuan dari ia menjadi tentara adalah untuk menebus kesalahannya pada kekasihnya karena lalai dalam menyelamatkannya. Ia adalah Haris Khrisna Ayman. Pemuda yang sangat tampan, terampil dan cerdik. Dan setelah menempuh pendidikan militer hampir 2-3 tahun, akhirnya ia berhasil menjawab sebagai komandan pasukan terdepan di Kopaska. Suatu hari, ia bertugas di salah satu daerah terpencil. Ia melihat sosok yang sangat mirip dengan pujaan hatinya. Dan dari sanalah Haris bertekad untuk bersamanya kembali.
Baca selengkapnya di sini No plagiat‼️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Fantasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selama ini? Kamu?
Dua minggu telah berlalu. Hana menjalani aktivitasnya seperti biasa, namun ada yang berbeda. Sejak kejadian tempo lalu yang membuatnya memutuskan untuk mundur perlahan, ia tidak lagi bertemu Haris. Haris pun sedang disibukkan dengan kegiatannya sebagai dokter, sehingga hampir tak ada waktu untuk mengunjungi kekasihnya.
"Mak… sarapan dulu," panggil Hana.
"Iya, Neng…" sahut Minarsih.
Minarsih dan Hana pun kembali makan bersama. Keadaan Minarsih kini jauh lebih baik, bahkan bisa kembali beraktivitas seperti sedia kala.
Tak lama kemudian, terdengar suara memanggil namanya. "Hanaaa… Hana!"
Hana keluar dan melihat Puput berdiri di depan rumah dengan senyum manis. "Eh, Put… ada apa?"
"Ada panggilan dari Bu Desi… kita disuruh kumpul di sana."
"Oh, iya… sebentar aku mau siap-siap dulu… ayo masuk dulu aja."
"Oke…"
Puput pun masuk ke dalam rumah dan melihat Minarsih sedang membuat makanan. "Mak… udah sehat?"
"Udah, Neng Puput," jawab Minarsih.
Puput duduk berdampingan dengan Minarsih, sementara Hana sibuk mencari baju untuk bersiap ke sanggar Bu Desi. "Mana baju yang buat tampil itu," gumam Hana.
Kemudian, ia melihat bahwa baju yang dicari tertindih kotak yang belum sama sekali ia buka. Saat menarik baju itu, kotak tersebut tak sengaja ikut terjatuh.
Braaakkk!
Kotak itu mengeluarkan isi yang lumayan banyak. Awalnya Hana tidak penasaran, namun kini ia syok melihat barang-barang di dalamnya. "Ini punya siapa?" batin Hana.
Pandangan Hana jatuh pada sebuah foto yang bertebaran, beserta tulisan di belakangnya. Tangannya seketika gemetar.
"I-ini Haris, kan? Dan wanita ini… kenapa dia mirip sekali denganku?" batin Hana tak percaya. Seketika sekujur ubuhnya mulai gemetar hebat, napasnya pun tak beraturan. muncul butiran bening yang hendak jatuh ke lintasan kulit mulusnya, serta detak jantung yang bergitu cepat. tiba-tiba saja muncul kilatan aneh di kepalanya, Ia kembali mengingat kejadian di mana Haris pernah keceplosan memanggilnya dengan nama Nahda. Lalu Hana mengerjapkan matanya dan melihat tulisan di belakang foto tersebut:
"Haris dan Nahda akan terus bersama… selamanya." gumamnya pelan saat membaca tulisan di foto tersebut.
Hana merasakan sakit di kepalanya dan bayangan samar mulai terlihat jelas. Wajah pria yang selalu diingatannya itu adalah Haris, pria yang selama ini ada bersamanya. Dada Hana bergemuruh dan napasnya sangat cepat. Pintu kamar Hana terbuka, menampilkan wajah Puput dan Minarsih yang khawatir. "Suara apa itu, Neng?"
"Iya… kamu enggak apa-apa kan?"
Hana tidak menjawab. Ia memegang kepalanya sembari mengeluarkan air mata. "Enggak mungkin," lirihnya, masih menyangkal. Minarsih seketika terkejut saat melihat Hana menemukan kotak yang ia simpan selama sepuluh tahun itu.
Hana menatap Minarsih penuh tanya. "Apa semua ini, Mak? Kenapa Mak sembunyikan ini dariku?!" seru Hana sambil menangis.
Minarsih hanya tersenyum dan menimpali dengan santai, "Akhirnya kamu tahu semuanya ya… ayo, Mak ceritakan semuanya…"
Puput yang penasaran pun melihat foto yang bertebaran dan terkejut karena ada foto Haris di sana. Ia pun mendekat, di mana Hana dan Minarsih mulai bercerita.
Sebelum bercerita, Minarsih menghela napas berat. "Jadi… sebenarnya… kamu itu Mak temukan di jurang sepuluh tahun yang lalu… awalnya Mak kira kamu telah tiada… tapi, ternyata kamu masih hidup…"
Minarsih menunjukkan baju dan jaket yang penuh robekan serta darah yang mengering. "Lihatlah ini, Neng… ini adalah darah kamu waktu Mak temukan kamu… Mak enggak tega lihat kamu sekarat… akhirnya Mak bawa kamu pulang dan merawat kamu sampai sembuh…"
"Tapi… kenapa aku enggak ingat, Mak?"
Minarsih menghela napasnya. "Karena kamu hilang ingatan… Nama kamu itu sebenarnya Nahda… bukan Hana… Nama Hana Mak berikan padamu saat Mak tidak tahu siapa kamu… akhirnya Mak mengambil nama dari kalung yang kamu pegang sekarang."
Hana dan Puput kembali melihat kalung tersebut. Hana kembali meneteskan air matanya. Pantas saja Haris selalu keceplosan memanggil namanya Nahda.
"Tapi, Mak… kenapa Pak Haris tidak tahu soal ini?" tanya Puput.
"Pak Haris sudah mengetahui semuanya jauh sebelum kalian tahu ini… dia tidak mengungkapkan kejadian aslinya karena tidak mau membuat Hana menjauh darinya… jadi, ia mendekat perlahan untuk mengambil perhatian Hana dan lalu perlahan ia akan mencoba untuk membantu Hana mengingat semua… tapi sepertinya itu tidak berhasil."
"Ohh, jadi begitu… Jadi Hana bukan Hana? Melainkan Nahda?" tanya Puput yang sedikit kaget.
Minarsih terdiam lalu mengangguk lesu. "Iya, benar… Mak juga baru tahu jika Pak Haris tak menceritakan pada Mak, saat dia menemui Mak."
Hana menangis tersedu. Ia menyesali kenapa ia sangat tidak peka dan tidak ingat semuanya. Puput yang merasa kasihan pun mengusap punggung Hana dengan lembut.
"Kenapa Mak enggak cerita sama aku dari awal?!"
"Mak ingin cerita sama kamu dari lama… tapi Mak enggak tega lihat kamu kesakitan saat mencoba mengingat semuanya… akhirnya Mak memutuskan untuk membiarkan kamu ingat dengan sendirinya," jelas Minarsih pada Hana.
Tubuh Hana semakin bergetar. Ia kembali menangis sekencang mungkin sambil memegang foto-foto di tangannya serta kalung berhuruf H&N tersebut. Kemudian, Hana menghapus air matanya dengan kasar dan mulai berlari keluar rumah. Puput yang terkejut berusaha memanggil Hana dan mengejarnya. Tapi, tangannya dicekal oleh Minarsih.
"Mak… Hana!"
"Biarkan saja… dia pasti menemui pria itu…" Mendengar itu, Puput pun terduduk kembali sembari menemani Minarsih sendirian di sana.
***
Hana berlarian sambil mengusap air matanya yang terus bercucuran. Ia kembali teringat perkataan Haris saat ia baru mengenalnya. Entah kenapa Hana merutuki kebodohannya. Tak lama kemudian, ia tiba di klinik yang sudah mulai ramai dikunjungi masyarakat. Hana menerobos kerumunan dan berjalan cepat untuk menemui Haris yang hampir dua minggu tidak bertemu.
Langkahnya terhenti saat melihat pemuda yang sedang fokus pada ponselnya. Pria itu duduk sendirian, dan karena tempatnya sepi, Hana mendekatinya.
"Hariiiss!!!" panggil Hana cukup keras.
Pria itu menoleh ke arah seseorang yang sedang mendekat. Haris tiba-tiba langsung berdiri. Dengan senyum merekah, Haris pun mendekati gadis itu dan merentangkan tangannya. Tapi sepertinya dugaannya salah. Saat Hana berdiri tepat di hadapan Haris, Hana mengayunkan tangannya, dan…
PLAAK!
Hana menampar Haris dengan keras, membuat pria itu terkejut hingga terdiam. Lalu ia melihat gadis itu yang sudah dibasahi air mata.
"Kenapa kamu tidak terus terang sama aku, hah?!"
"Kenapa kamu malah diam saja?! Malah buat sandiwara seperti ini?!"
Haris menerima pukulan dari Hana. Tanpa melawan, Haris justru berusaha memeluk gadis itu.
"K-kenapa—"
"Kamu jahat sama aku…" lirih Hana sambil terus menangis.
Ia terus memukuli dada Haris dengan tenaga lemahnya dan saat itu juga Hana memeluk tubuh tegap pria itu dengan tangisan yang kencang.
"Aku sudah ingat semuanya… Aku ingat semua… maafkan aku."
Mendengar itu, Haris terperangah dan melepaskan pelukannya. "Jadi… kamu sudah ingat aku siapa?" Hana mengangguk. Lalu mereka kembali berpelukan. Haris pun tak kalah eratnya, bahkan ia menciumi rambut Hana dan tanpa sengaja mengeluarkan air matanya karena terharu.
"Aku sangat merindukanmu, Nahdaku."
"Aku juga."
Kemudian Haris menangkup wajah cantik Nahda dan kembali menempelkan bibirnya, melumatnya sebentar. Haris sadar ini masih di lingkungan umum, tidak baik jika bermesraan di tempat terbuka. Dengan senyum manis, Haris kembali memeluk gadis itu dan mengecup dahinya.
"Kita ke taman, yuk."
"Ayo."
Haris membawa kekasihnya itu untuk berduaan di taman yang tersedia di klinik. Sekarang, kita tidak memanggilnya dengan nama Hana lagi karena dia sudah ingat, kita kembali menyebutnya dengan Nahda. Mereka kembali memeluk satu sama lain dan melepaskan rindu yang terhalang selama ini.
"Aku enggak menyangka bakal memeluk tubuh yang sudah kurindukan sejak lama," ujar Nahda sambil membenamkan wajahnya di dada bidang Haris. Lalu, ia menatap sendu pria itu.
"Tapi… aku enggak ingat semuanya… aku cuma ingat kamu."
Haris tersenyum. "Enggak apa-apa… nanti perlahan aku bantu kamu ingat semuanya ya… sudah ingat aku juga lebih dari cukup."
Lalu Haris merengkuh tubuh Nahda dengan lembut, mendekatkan tubuh kekasihnya itu agar menempel padanya. "Bagaimana bisa kamu ingat aku? Padahal kamu selalu marah kalau aku sebut nama pacarku ini," ujar Haris gemas sambil mencubit pelan hidung gadis itu.
"Ih… Mak yang kasih tahu semuanya… awalnya aku enggak percaya… tapi setelah lihat foto ini dan kalung ini baru aku percaya… makanya aku langsung ke sini."
Haris mengecup dahinya dengan sayang. Nahda kembali menangis karena menyesal telah bersikap kasar pada pria itu. "Maafkan aku ya…"
Haris mengusap air mata yang berjatuhan di pipi mulus gadisnya itu. "Udah, jangan nangis… aku pun bakal melakukan hal yang sama kayak kamu… namanya juga enggak ingat, kan."
Mereka kembali tertawa pelan. Lalu Haris kembali menatap gadisnya itu. "Oh iya? Kenapa kamu kemarin marah sama aku?"
Wajah Nahda seketika memerah karena alasan marahnya yang tak masuk akal. "Enggak… aku enggak marah kok."
"Ih, bohong banget… sampai dua minggu loh kamu jauhin aku," ujar Haris jahil.
"Ih, emang iya?? Aku enggak apa-apa," ujar gadis itu mengelak.
Lalu Haris mendekatkan wajahnya di telinga gadis itu. "Apa kamu cemburu sama Lita?"
"Enggak ya!! Ngapain aku cemburu, huh! Kalau dia dekat sama kamu juga, aku enggak peduli," ujar Nahda yang masih gengsi.
"Benar, nih? Ya sudah…"
Haris berusaha menggoda gadis di sampingnya ini. Mendengar itu, Nahda seketika menatap tajam pria itu sambil mencubit pelan perut yang dilapisi kemeja tersebut. "Ish… jangan bilang mau deketin dia?"
"Kan kata kamu enggak apa-apa."
"Ihhhh… enggak boleeeehhh… pokoknya enggak boleh!" tegas Nahda yang kesal akibat Haris mempermainkannya.
Lalu Haris pun kembali merengkuh tubuh Nahda untuk berdekatan lagi dengannya sambil tertawa lepas. "Iya, sayang… maaf… lagian mana mungkin aku berpaling dari kamu yang gemesin iniiii."
Nahda kembali memeluk tubuh pria itu. Lalu ponsel Haris kembali berdering dengan keras. "Sebentar, Yang… aku mau angkat telepon dulu."
Nahda sedikit memberi jarak pada pria itu dan terdiam agar tidak mengganggunya.
"Hah? Sekarang? Kenapa enggak besok aja?"
Terdengar helaan kasar dari pria itu. "Ya sudah… nanti gw ke sana."
Lalu telepon tersebut tertutup.
"Kamu sibuk ya?"
Haris menatap gadisnya ini dengan senyuman. "Lumayan…"
"Susah ya jadi kamu…"
Lalu Haris mulai mengecup bibir gadisnya kembali dengan singkat. "Kamu mau pulang? Aku antar, yuk… soalnya sebentar lagi aku mau kerja."
"Oh gitu… ya udah aku pulang sendiri aja."
"Eh… enggak ya… aku antar kamu pulang."
"Tapi—"
"Tidak ada tapi-tapian… ayo."
Akhirnya Nahda terpaksa menerima ajakan Haris. Padahal ia sedang sibuk, tetapi Haris justru memaksa untuk mengantarkannya pulang. Haris membawa Nahda dengan menggunakan motor pinjaman dari desa tersebut. Semua orang kembali menatap mereka yang sedang berduaan dengan Haris yang masih mengenakan jas dokternya. Tapi, Nahda sekarang tak peduli, justru ia semakin mengeratkan pelukannya di pinggang Haris.
Tak lama kemudian, motor yang dikendarai Haris terparkir di depan rumah Minarsih. "Nah, udah sampai."
Nahda pun turun terlebih dulu dan kembali menatap Haris. "Aku pergi sekarang ya…"
"Iya, hati-hati ya…"
Saat hendak berbalik, Haris menahan tangan Nahda sehingga dirinya menatap Haris dengan tatapan bingung. "Kenapa?"
"Cium dulu dong… ayo," ujar Haris yang manja sekali padanya.
Nahda membulatkan matanya. "Kamu gila ya… ini kan di luar… nanti ad— hmmmm."
Karena Nahda sibuk mengoceh, Haris dengan cepat menangkap tubuhnya dan menempelkan bibirnya di bibir gadis itu. Hanya mengecupnya saja.
"Kamu bawel sekali… sama kaya pertemuan awal dulu, hahaha."
Sementara Nahda hanya terdiam. Pipinya memerah karena tersipu.
"Aku pergi dulu ya, sayang… daaahh."
Lalu motor tersebut pergi menjauh dari rumah Minarsih. Setelah melihat Haris pergi, Nahda pun masuk ke dalam rumah dan melihat Minarsih yang tengah senyum padanya. Namun dirinya tak melihat Puput. Sepertinya gadis itu telah pergi.
"Ada yang lagi kasmaran, nih," goda Minarsih.
"Ish… Mak…" ujar Nahda menahan malu.
Lalu Minarsih pun terlihat seperti menahan kesedihan. "Mak kenapa?" tanya Nahda pada Minarsih.
Minarsih mengeluarkan air matanya. "Kamu sudah ingat… apa kamu ingin ninggalin Mak, Han? Mak enggak punya siapa-siapa selain kamu," lirih Minarsih sambil menangis.
Nahda pun ikut menangis sambil merengkuh tubuh ibu sambungnya itu. "Mak… bagaimana pun, Mak tetap Makku… tanpa Mak, aku enggak bakal bisa hidup dan bertemu dengan dia selama ini… jasa Mak padaku sangat besar… nanti aku bakal bicarakan ini pada Haris ya, Mak."
Minarsih menangis terharu. Walaupun Hana bukanlah Hana, tapi sikap Nahda yang memang sedari dulu baik hati, membuat Minarsih semakin menyayanginya.
"Makasih ya, sayang… Mak sayang sama kamu."
"Aku juga sayang, Mak."