NovelToon NovelToon
Dunia Dzaka

Dunia Dzaka

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Identitas Tersembunyi / Keluarga / Trauma masa lalu
Popularitas:685
Nilai: 5
Nama Author: Bulan_Eonnie

Aaron Dzaka Emir--si tampan yang hidup dalam dekapan luka, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan berjuang sendirian menghadapi kerasnya dunia.

Sebuah fakta menyakitkan yang Dzaka terima memberi luka terbesar sepanjang hidupnya. Hidup menjadi lebih berat untuk ia jalani. Bertahan hidup sebagai objek bagi 'orang itu' dan berusaha lebih keras dari siapapun, menjadi risiko dari jalan hidup yang Dzaka pilih.

Tak cukup sampai di situ, Dzaka harus kehilangan salah satu penopangnya dengan tragis. Juga sebuah tanggung jawab besar yang diamanatkan padanya.

Lantas bagaimana hidup Dzaka yang egois dan penuh luka itu berlanjut?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulan_Eonnie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

DD 21 Menjalankan Rencana

Bisikan Raffa semalam, nyaris tenggelam dalam beratnya kantuk, masih bergaung samar di telinga Dzaka. "Lo nggak sendiri, Ka."

Kata-kata itu, diucapkan dengan mata tertutup dan napas nyaris tak terdengar, seolah menjadi jangkar terakhir sebelum Dzaka sepenuhnya terempas dalam kegelapan.

Kini, tirai gelap malam berganti dengan untaian sinar mentari yang menembus jendela. Cahaya pagi membanjiri ruangan, menerangi dua sosok yang mengenakan seragam sekolah. Sebuah senyum tipis terukir di bibir mereka, seolah mengakhiri penderitaan tak kasat mata yang telah lama membelenggu.

"Tuan Muda!" Pintu terbuka, menampakkan Paman Adi dengan raut khawatir yang tak mampu disembunyikan. Sebenarnya, Paman Adi tidak setuju Dzaka bersekolah hari ini; kondisi pemuda itu masih sangat rapuh. Namun, alasan yang dilontarkan Dzaka tak mampu dibantah.

"Terima kasih sudah membawakan seragam dan buku kami, Paman," ujar Dzaka, menyalami pria paruh baya itu dengan hormat. Elusan penuh kasih sayang Paman Adi di kepala Dzaka membuat lengkungan senyumnya semakin sempurna.

"Ayo kita berangkat, Tuan Muda! Nak Raffa!" Dzaka dan Raffa segera menyambar tas mereka, melangkah mengikuti Paman Adi menuju mobil. Perjalanan menuju Sky High School dimulai.

Kedatangan mobil mewah Tuan Emir yang dikendarai Paman Adi, seketika menyedot seluruh perhatian. Saat Dzaka dan Raffa keluar bersamaan, bisikan-bisikan langsung menyebar. Mata para siswi dimanjakan oleh aura ketampanan mereka, sekaligus rasa penasaran akan ketidakhadiran mereka sebelumnya.

"Wah, akhirnya bisa lihat Bang Dzaka sama Bang Raffa lagi!"

"Sekolah sepi tanpa cogan berprestasi kayak mereka."

"Apa sih cewek-cewek, lebay."

Dzaka sudah terbiasa menulikan telinga dari rentetan komentar itu. Namun, Raffa justru tersenyum menawan, melambaikan tangan pada kerumunan siswi yang histeris. Siapa sangka, di sudut lapangan, seseorang sudah menanti dengan lengan bersedekap dada, sorot matanya tajam dan penuh sindiran.

"Bagus, ya. Belum sembuh sudah berangkat sekolah," sinis Tanvir, langsung mengapit kepala kedua sahabatnya dengan ketiak.

"L-lepas, Vir. G-gue masih lemes." Dzaka kesulitan bernapas, wajahnya pucat pasi, menahan nyeri yang menusuk. Tenaga untuk melawan terasa terkuras habis.

"Makanya kalau masih sakit itu jangan sekolah dulu, bego!" Tanvir melepaskan Dzaka yang langsung terbatuk-batuk.

"Vir! Masa lo cuma lepasin Dzaka, sih? Gue, 'kan juga sakit!" Raffa menampakkan puppy eyes-nya, berharap Tanvir luluh. Namun, Tanvir justru semakin mengeratkan apitannya.

Dzaka duduk di pinggir lapangan, mencoba menenangkan napasnya, menunggu Raffa dan Tanvir menyelesaikan "urusan" mereka. Entah mengapa, kelelahan begitu cepat menyerangnya. Padahal, ia hanya mengeluarkan sedikit tenaga untuk mengurangi efek apitan Tanvir di lehernya.

"Udah bel tuh. Ayo ke kelas!" ajak Dzaka, akhirnya membuat Tanvir terpaksa melepaskan Raffa. Sebelum pergi, Raffa menatap tajam Tanvir yang menampilkan raut datar.

"I hate you!" ujar Raffa, membalikkan badan menuju gedung IPS. Dzaka hanya mampu menggeleng pelan melihat tingkah kekanakan sahabatnya.

Melihat tangga membuat kepala Dzaka berdenyut hebat. Namun, jika dia tak segera ke lantai tiga, mereka akan terlambat. Saat Dzaka hendak bertumpu pada pegangan tangga, lengannya beralih pada bahu Tanvir.

"Jangan terlalu memaksakan diri, Ka. Ada gue di sini. Lo nggak sendiri." Tanvir memapah Dzaka, menaiki anak tangga satu per satu menuju lantai tiga—tempat kelas mereka berada.

"Makasih, Vir. Maaf ngerepotin," lirih Dzaka, tersenyum tipis, rasa bersalah menggerogoti.

"Jangan pernah bilang maaf karena lo ngerepotin gue, Ka. Lo sahabat gue." Ucapan Tanvir membuat Dzaka menghela napas berat. Nyatanya, ia memang selalu merasa merepotkan orang lain. Selalu.

...----------------...

"Kamarnya Tuan Muda Dzaka memang yang terbaik," ujar Raffa, merebahkan diri di kasur empuk, memeluk kemasan keripik. Dzaka memilih mengganti seragamnya lebih dulu sebelum Tanvir tiba.

Suara mesin motor yang dimatikan membuat Dzaka bergegas turun. Dia berpapasan dengan Bi Edah. Baru saja Dzaka hendak menyapa, wanita paruh baya itu memalingkan wajah, seolah Dzaka adalah udara kosong. Dzaka terdiam di tempatnya, nyeri merambati hati, sebuah pertanyaan tanpa jawaban menggantung di benaknya. Sikap Bi Edah akhir-akhir ini terasa asing. Ada apa?

"Raffa mana?" tanya Tanvir, mengalihkan perhatian Dzaka dari kebingungannya.

"Itu di kamar lagi ngemil. Ayo masuk dulu!" Dzaka mempersilakan Tanvir masuk. "Bi Edah! Tolong siapin makan siang buat kita, ya," panggil Dzaka, lalu berlalu menuju kamarnya bersama Tanvir.

Tanvir yang melihat Raffa bermalas-malasan langsung melempari Raffa dengan tasnya yang cukup berat.

"ASTAGA! SAKIT WOI!" teriak Raffa, mengusap keningnya yang menjadi sasaran empuk.

"Bukan waktunya buat malas-malasan. Ayo atur rencana lagi!" Tanvir mendudukkan diri di atas karpet beludru hijau, diikuti Dzaka yang menyiapkan teh kotak dan camilan.

"Seperti yang gue bilang kemarin. Kita berpencar, Vir. Nanti kita bisa teleponan atau video call pas sudah sampai." Dzaka mendengarkan perbincangan itu, perasaan tak nyaman yang terus mencengkeram. Misi ini, yang awalnya terasa begitu mendesak, kini diselimuti kabut keraguan.

Dzaka bangkit, mengambil sebuah kotak dari atas meja belajarnya. Rasa bersalah terus menggerogoti, mendorongnya untuk memberikan sesuatu. Akhirnya, Dzaka memutuskan untuk membeli action cam untuk motor Raffa dan Tanvir.

"Gue cuma bisa kasih ini buat jaga-jaga. Motor lo sebentar lagi sampai, Fa. Jadi sebelum berangkat, kalian bisa pasang ini." Dzaka menyerahkan action cam itu pada kedua sahabatnya.

Tanvir dan Raffa langsung merangkul Dzaka, senyum mengembang di wajah mereka. "Jangan sedih gitu dong. Bagi kami, lo selalu ikut andil meski lo nggak ada di dekat kami. Lo nggak perlu maksain diri, Ka. Lo nggak sendiri. Ada gue dan Tanvir yang akan selalu ada dan lindungi lo."

Dzaka membalas ucapan Raffa dengan seulas senyum tipis, namun matanya masih memancarkan beban. "Makasih dan maaf. Cuma itu yang bisa gue ucapin sama kalian. Meski kalian selalu ngelarang gue ngucapin hal itu."

Bi Edah datang memanggil mereka untuk segera turun. Seperti biasa, menu makanan Dzaka selalu berbeda. Kali ini, Bi Edah menyiapkan kentang balado untuknya. Dengan perlahan, Dzaka memaksakan diri untuk makan, meski nafsu makannya belum pulih sepenuhnya.

Tanvir dan Raffa langsung berganti pakaian setelah makan. Mereka juga sudah memasang action cam pemberian Dzaka di motor. Sudah saatnya mereka menjalankan misi. Sebelum pergi, mereka menyempatkan diri saling merangkul dan berdoa untuk keselamatan dalam misi ini.

"Kalian hati-hati, ya. Jangan lupa setelah sampai langsung video call gue," ujar Dzaka, melepas kepergian Raffa dan Tanvir dengan cemas yang mengumpul di dada. Perasaan tidak enak itu semakin memburuk.

...----------------...

Dzaka menatap lembaran tugas di hadapannya dengan malas. Pikirannya berkecamuk, memikirkan Tanvir dan Raffa di luar sana. Matanya sesekali melirik pada layar laptop yang menampilkan perjalanan Raffa dan Tanvir.

Saat ponselnya bergetar, Dzaka langsung mengangkat panggilan video dari Raffa. Melihat Raffa dan Tanvir baik-baik saja membuat Dzaka bernapas lega.

"Kita udah sampai nih, Ka. Ngomong-ngomong, lo kok pucat gitu?"

"Gue nggak apa-apa kok," balas Dzaka seadanya, berusaha menyembunyikan kecemasannya.

"Kita tinggal samperin petugas di toko dan nanyain liontinnya ada dijual di sana apa enggak, 'kan?"

"Jangan!" Ucapan Dzaka membuat Raffa dan Tanvir bingung. Sebab, ini adalah rencana yang mereka susun sejak kemarin.

Dzaka tampak berpikir sejenak, wajahnya mengernyit dalam. "Gue rasa ada baiknya kalian cukup bilang mau jual liontin."

"Maksudnya apa, Ka?" tanya Tanvir, masih tak mengerti arah pembicaraan Dzaka.

"Setelah gue pikir-pikir, rasanya liontin itu nggak bisa dijual sembarangan orang. Ini toko yang ketat soal pembelian dan penjualan barang," balas Dzaka, suaranya mengandung nada kecurigaan. "Mungkin ada rahasia tersembunyi di balik liontin itu, dan toko ini, Vir."

Raffa dan Tanvir saling pandang, menyadari kebenaran ucapan Dzaka yang menusuk. "Mari kita coba."

...----------------...

Raffa dan Tanvir sudah memasuki toko yang didominasi warna cokelat dan krem, dengan etalase berisi berbagai macam perhiasan berkilauan. Seorang petugas langsung menghampiri Raffa, senyum ramah terukir di wajahnya. "Ada yang bisa kami bantu, Mas?"

Raffa menghela napas sejenak, lalu memulai aksinya. "Saya mau jual liontin dari toko ini."

Senyum ramah petugas itu sedikit memudar. Matanya menajam. "Bisa saya lihat bukti pembelian dan kartu anggotanya? Kami harus memastikan bahwa Mas ini memang pelanggan kami." Raffa terdiam, kemudian berpura-pura lupa membawa kartu anggota dan bukti pembelian, mencoba tetap tenang di bawah tatapan mata yang kini terasa mengintimidasi.

"Ternyata lo benar, Ka. Gila sih, tebakan lo nggak meleset," bisik Raffa melalui video call, terkejut dengan keakuratan prediksi Dzaka.

"Terus sekarang gimana?" Tanvir yang mendengar percakapan Raffa dan petugas toko dari sisi lain, memilih untuk tidak jadi berakting. Sudah jelas, saat disudutkan seperti itu, Tanvir hanya akan canggung dan mati kutu. Pada akhirnya pasti akan ketahuan.

Tiba-tiba, suara langkah kaki berat terdengar jelas mendekati Raffa dari belakang. Sebuah bayangan gelap melintas di layar. Petugas toko itu kini berdiri tepat di belakang, senyumnya lenyap, digantikan ekspresi datar yang dingin.

"Maaf, Mas. Saya rasa Anda memiliki kesalahpahaman yang serius tentang toko kami...." Suara petugas itu berubah, berat dan mengancam. "Liontin dari toko ini... bukan liontin biasa, sehingga tidak bisa dijual kembali kecuali oleh yang bersangkutan."

Sebuah tangan meraih ponsel Raffa dan panggilan video terputus. Dzaka hanya sempat melihat kilatan keterkejutan di mata sahabatnya sebelum layar mendadak gelap. Sedangkan Tanvir mengatakan akan menyusul Raffa setelah mematikan panggilan video.

Tersisa lah Dzaka yang masih termangu dengan isi kepala yang berkecamuk. "Sebenarnya ada apa dengan liontin itu?"

1
Jena
Bener-bener bikin ketagihan.
Bulan_Eonnie🌝🦋💎: Terima kasih kakak❤️ Nantikan terus updatenya ya kak😊
total 1 replies
bea ofialda
Buat yang suka petualangan, wajib banget nih baca cerita ini!
Bulan_Eonnie🌝🦋💎: Terima kasih kakak sudah mampir❤️
total 1 replies
Mamimi Samejima
Teruslah menulis, ceritanya bikin penasaran thor!
Bulan_Eonnie🌝🦋💎: Terima kasih sudah mampir kakak❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!