Naila baru saja turun dari bus dari luar pulau. Ia nekat meninggalkan keluarga karena demi menggapai cita-cita yang terhalang biaya. Naila lulus jalur undangan di sebuah kampus negeri yang berada di ibu kota. Namun, orang tuanya tidak memiliki biaya hingga melarangnya untuk melanjutkan pendidikannya hingga memaksanya menikah dengan putra dari tuan tanah di kampung tempat ia berasal.
Dengan modal nekat, ia memaksakan diri kabur dari perjodohan yang tak diinginkan demi mengejar mimpi. Namun, akhirnya ia sadar, biaya perguruan tinggi tidak bisa dibayar hanya dengan modal tekad.
Suatu saat Naila mencari pekerjaan, bertemu dengan balita yang keluar dari pekarangan tanpa penjagaan. Kejadian tak terduga membuat ia bekerja sebagai pengasuh bagi dokter tampan yang ditinggal mati oleh istri yang dicintainya.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Rahasia Martin
Keesokan setelah semua terlihat biasa, tak ada malam pertama, tak ada gelayutan manja istri terhadap suaminya, Naila duduk di sisi ranjang kecil dengan tubuh agak membungkuk, mengusap tangan mungil Rindu yang masih lelap dalam tidurnya. Hanya mesin infus berdetak lembut, menemani kesunyian yang menggantung di udara meski di sana ada pasangan yang baru saja dihalalkan.
Martin berdiri di dekat jendela, menatap ke luar. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya sejak semalam. Bukan karena marah—tetapi benar-benar tak menyangka telah menikah untuk kedua kalinya tepat satu tahun kepergian Rianti. Itu lah salah satu alasan memperkuat untuk mempercepat waktu pernikahan.
Itu artinya, hari itu Reivan genap berusia satu tahun. Naila adalah hadiah terbaik untuk kedua buah hatinya. Meski, ia harus bekerja keras untuk mencari keberadaan orang tuanya, lewat sahabat masa kuliah yang kebetulan berasal dari tempat yang sama dengan Naila.
'Rianti, sekarang putra kita telah genap satu tahun. Maafkan aku yang tak bisa menepati janji untuk sehidup semati di antara kita. Hanya saja, aku sungguh tak kuasa menjalani ini semua sendirian,' ucapnya berperang dalam batin menatap ke langit biru di pagi ini.
Di sisi lain, Naila menyandarkan kepalanya ke sisi ranjang, lelah dan jutaan rasa tak biasa sungguh berkecamuk di dalam dada. Namun dalam lamunannya, jemari kecil itu terasa mulai bergerak.
“Rindu…?” bisiknya dengan mata melebar untuk memastikan ini semua.
Kelopak mata Rindu bergerak samar. Lalu pelan-pelan terbuka, setelah waktu lebih banyak dihabiskan dalam tidur. Tatapan itu buram dan lemah. Tapi ketika melihat wajah Naila, mata itu langsung berkaca-kaca.
“Mama…”
Naila tercekat. Biasanya, ia akan berkata, “Bukan sayang, aku bukan mama, ini Kak Naila…” Tapi kali ini, hatinya tidak bisa mengatakan demikian.
Naila tersenyum lembut, matanya basah. “Iya, Sayang… Mama di sini. Mama menemani Rindu kok.”
Martin berbalik cepat, wajahnya berubah. Ia menatap Naila yang kini menunduk dan mencium dahi Rindu penuh kasih.
Rindu tersenyum kecil. “Mama ke mana aja? Lindu kangen sama Mama." Ia berusaha bangkit, tapi ternyata tak sanggup karena energinya terkuras selama sakit beberapa waktu ini. "Maaa, Lindu lapal…” rengeknya mengusap perut dengan kedua tangan
Naila tertawa pelan, senang dan terharu di saat bersamaan. “Ooo, akhirnya Rindu lapar juga. Rindu mau makan apa? Biar Mama yang suapin, ya?”
Gadis kecil itu mengangguk pelan, matanya mulai berbinar lagi. "Rindu mau bubul ayam, Ma..." Lidahnya pun bergoyang membayangkan betapa nikmatnya bubur lembut berisi suwiran ayam masuk ke perutnya.
"Oke, Sayang. Nanti, Mama akan membelikan bubur ayamnya."
Mendengar obrolan mereka, Martin berjalan mendekat, menatap Rindu yang mulai bisa bicara lebih jelas. Ia mengelus kepala anaknya, dan Rindu langsung menggenggam tangan ayahnya.
“Papa… Mama sekarang udah mau dipanggil mama kan, Pa? Mama udah jadi Mama Lindu kan, Pa?”
Martin tersenyum tipis. Lalu mengangguk. “Iya, Seperti yang papa janjikan.”
Dan pagi itu, untuk pertama kalinya sejak Rindu jatuh sakit, ruangan itu terisi oleh senyum Martin. Tidak hanya itu, ini untuk pertama kali semenjak mereka bertemu Naila melihat senyuman di wajah Martin. Senyum yang tenggelam semenjak kehilangan Rianti.
'Tampan,' batin Naila, baru menyadari itu semua.
Setelah dokter anak memeriksa dan menyatakan kondisi Rindu mulai stabil, Naila langsung keluar untuk membeli bubur ayam kesukaan Rindu. Saat kembali, ia melihat Martin masih di dalam ruangan, berbicara di telepon dengan seseorang.
“Aku minta Ibu tak usah ke sini dulu .... Benar sekali, Bu Inge. Anak saya masih belum pulih .... Nggak, ia belum bisa dijenguk. Nanti saya kabari.”
Naila pura-pura tak mendengar dan masuk ke ruangan.
“Rindu, ini Mama bawakan makanan yang kamu mau. Bubur ayamnya harum banget. Rasanya pasti lezat.” Naila membuka penutup bungkus makanan perlahan. “Siap dengan suapan pertama?”
Rindu tertawa lemah, pipinya mulai merona kembali.
“Iya, Mama… suapin. Tapi pelan-pelan," bisiknya.
“Siap, komandan,” jawab Naila, membuat Martin yang telah selesai dalam panggilan kembali tersenyum. Ada sesuatu yang janggal yang ia rasakan. Sesuatu yang telah lama hilang.
Dalam diam, Martin memandang Naila—seorang perempuan muda yang baru beberapa bulan lalu datang ke rumahnya sebagai pengasuh, kini duduk menyuapi anaknya yang sakit dengan penuh cinta. Ia sendiri tak menyangka bagaimana hidup bisa berubah begitu cepat.
Sore pun menjelang, dan Rindu sudah bisa duduk sendiri. Suara tawanya kembali mengisi ruangan. Suster yang datang mengecek suhu tubuhnya ikut tersenyum lebar melihat kemajuan pesat sang pasien kecil.
“Saya heran, biasanya anak yang drop kayak begini butuh dua-tiga hari lagi buat pulih. Tapi Rindu... ini luar biasa. Kayaknya dia dapat kekuatan dari cinta ya, Bu Naila?”
Naila tersenyum malu-malu canggung dipanggil 'Bu' oleh seseorang yang lebih tua darinya. Namun, bagaimana lagi, seisi klinik sudah tahu bahwa Naila adalah istri Direktur dan pemilik klinik ini.
“Mungkin juga, Kak.”
Malam hari, setelah Rindu tertidur, Naila keluar ruangan untuk menyegarkan diri di taman kecil di lantai bawah. Ia duduk di bangku panjang, memeluk jaketnya erat karena angin malam mulai menusuk.
Tak lama, langkah kaki pelan menghampiri. Martin duduk di sebelahnya. Sunyi.
“Aku tadi mendengar kamu bilang… ‘Mama’ saat berbicara dengan Rindu,” kata Martin tanpa menoleh.
Naila mengangguk, pelan. “Itu... spontan. Aku... merasa memang harus seperti itu agar Rindu tahu, bahwa saat ini dia telah memiliki ibu yang sesungguhnya.”
Martin tak menjawab. Bibirnya kembali terulas senyum tipis. “Terima kasih. Kamu telah membuat dia hidup lagi.”
Naila memutar kepalanya. Di sana, Martin masih terlihat tak memperhatikannya sama sekali. “Aku senang jika Bapak merasa begitu,” bisik Naila.
Keheningan menggantung. Tapi kali ini tidak canggung lagi. Entah kenapa, dinding pembatas yang dulu terasa sangat tinggi, kini telah menghilang.
Martin membuka mulut hendak berkata sesuatu, tapi ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Marvel.
> "Besok aku ke sana. Mama bilang Rindu udah bangun. Aku ingin menengoknya dan bertemu Naila.<
Martin memandangi layar ponsel cukup lama hingga Naila melirik penasaran.
“Ada apa?”
“Marvel mau datang.”
Wajah Naila berubah. Ia teringat gelagat Marvel sebelum akad mereka dimulai.
“Apakah dia marah? Kenapa dia pergi begitu saja? Harusnya dia menyaksikan pernikahan kita hingga selesai."
Martin hanya diam membiarkan itu semua menjadi pertanyaan yang jawabannya masih menggantung. Meski sebenarnya ia tahu, tapi ia enggan untuk menjelaskan pada Naila, bahwa Marvel benar-benar cemburu akan terlaksananya pernikahan ini.
Sekian menit tak mendapat jawaban, Naila yang seolah hapal dengan sikap Martin pun tersentak bagai mengingat sesuatu. "Pak, bisa kah kamu jelas kan padaku, kenapa Bapak bisa menghubungi kedua orang tuaku? Bahkan aku sendiri tak tahu harus ke mana menemukan kontak mereka."
Martin tersenyum tipis teringat usaha yang cukup berat untuk meyakinkan ayah Naila. Ayahnya begitu emosional saat tahu ia seorang duda yang telah memiliki dua anak.
Banyak hal yang tak terkendali keluar dari mulut sang ayah. Namun, akhirnya ia mampu diluluhkan juga. Setelah ia menjanjikan akan membayar semua hutang keluarga mereka. Dan meyakinkan mereka bahwa Naila tak akan kurang satu apa pun saat hidup bersamanya.
"Hmm, aku rasa itu tak terlalu penting. Yang penting, kedua orang tuamu telah merestui pernikahan ini."
Naila menghela napas panjang. "Ah, begitu ... Aku tak menyangka, ternyata sesederhana itu." Ia kembali menatap langit.
"Maksudnya?"
"Aku pikir pernikahan itu terlalu rumit. Mempelai wanita harus repot menggunakan riasan secantik mungkin, kedua tangan dan kaki dilukis henna, memakai busana mewah bewarna merah megah, memakai mahkota khas daerahku yang amat tinggi dan di sana kami menyebutnya dengan 'suntiang. Ada filosofi kuat dan diyakini oleh suku kami di dalam gaun pernikahan, di sana."
“Sampai saat ini, semua masih terasa seperti mimpi,” lanjut Naila sambil menatap sesuatu pada salah satu jemarinya. Pada jari manis, kini melingkar sesuatu yang tak pernah ada.
“Apakah benar aku telah menjadi istri atau sekedar pengasuh yang diresmikan?”
Martin menyimak diam-diam menatap Naila yang kembali menatap langit tertutup pekatnya malam. "Maaf, telah membuatmu berpikir seperti itu."
Naila menangkap dirinya tengah ditatap dengan sorot yang tak pernah dilakukan Martin sebelumnya.
"Kenapa, Pak? Ada yang salah denganku?"
"Apa kamu ingin kita memakai itu semua?"