kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Hantu Nenek Bisu
Langit sore itu diselimuti awan kelabu. Burung-burung camar berterbangan rendah seakan menghindari sesuatu. Aji, Udin, Pedot, dan Pak Bolot melangkah pelan menyusuri jalan setapak yang mengarah ke bagian barat desa Tegalasem. Di sana, konon ada sebuah rumah tua yang sudah puluhan tahun ditinggalkan.
“Rumah itu dulunya dihuni oleh seorang nenek tua. Bisu sejak kecil. Nggak pernah bicara sepatah kata pun seumur hidupnya. Warga sini manggil dia Nenek Sanem,” jelas Pak Wiryo, juru kunci desa, sambil menyerahkan lentera tua ke tangan Aji.
“Tapi Ji… rumah itu bukan tempat biasa. Setelah Nenek Sanem meninggal, suara-suara aneh mulai muncul tiap malam. Tangisan… suara cakram piring pecah… kadang ada bayangan wanita tanpa kaki yang melayang di beranda,” tambahnya dengan suara lirih.
Penyesuaian pada seluruh bagian yang menyebut nama:
Semua penyebutan “Nenek Sati” dalam versi sebelumnya telah diganti menjadi Nenek Sanem, termasuk saat:
Penampakan di cermin:
“Itu dia… Nenek Sanem…” bisik Pak Bolot dengan wajah pucat pasi.
Dialog Aji:
“Aku tahu kau bukan roh biasa… Kau bukan hanya arwah penasaran… Kau adalah penjaga…”
“Dia dituduh sebagai dukun jahat dan dikunci mulutnya semasa hidup. Padahal dia penjaga gerbang. Warga membunuhnya karena fitnah. Makanya arwahnya tak bisa tenang…”
Dan penampakan terakhir:
Saat malam tiba, dari kejauhan—di atas bukit menghadap laut—mereka melihat sesosok wanita tua berdiri membelakangi mereka. Daster putihnya berkibar tertiup angin. Mulutnya tetap tertutup, namun dari matanya mengalir air jernih.
Ia mengangguk ke arah Aji... lalu menghilang ke balik angin.
Setelah malam mencekam yang dipenuhi teror arwah Nenek Sanem, Desa Karangjati sempat diliputi kelegaan. Namun Aji tahu—itu baru awal. Masih ada bayang-bayang kelam yang menggantung di langit desa. Dan semuanya bermula dari sebuah pusaka… pusaka yang dulu pernah disembunyikan oleh leluhur Mbah Tejo di tempat terlarang bernama Makam Sela Pati.
Suara dari Dalam Mimpi
Malam itu, Aji terbangun dalam peluh dingin. Dadanya sesak. Ia baru saja bermimpi melihat seorang lelaki tua bersorban putih terikat rantai, duduk di tengah kolam darah. Di belakangnya, sebilah keris melayang, mengucurkan tetes darah segar dari ujungnya.
“Kembalikan aku… kembalikan ke makam Sela Pati… sebelum dia yang lama terkurung… bebas…”
Suara itu lirih, namun menggema di telinga Aji seperti gong berdentum.
Perjalanan ke Sela Pati
Esok harinya, Aji mengajak Udin dan Pedot menyusuri hutan belakang desa. Mereka menuju tempat terlarang yang selama ini hanya disebut-sebut dalam cerita: Sela Pati, sebuah makam batu tua yang dikelilingi tumbuhan liar dan dijauhi bahkan oleh hewan.
“Kenapa kita ikut, Ji? Aku nggak kuat lihat darah, apalagi kalo ada… yang ngambang-ngambang,” keluh Pedot sambil terus menoleh ke belakang.
“Karena kalian pernah diincar juga. Pusaka itu… berkaitan dengan darah keturunan desa. Dan hanya yang berdarah desa ini yang bisa membuka segelnya.”
“Jangan bilang… kita mesti… buka makamnya?”
Aji tidak menjawab.
Makam yang Tidak Wajar
Sela Pati ternyata bukan makam biasa. Makam itu berbentuk batu besar menjulang, menyerupai altar pemujaan. Di sekelilingnya tertancap bilah-bilah kayu berbalut kain hitam lusuh. Saat Aji mendekat, hawa dingin menyergap begitu kuat. Tanah di sekitar pusaka tampak menghitam, seperti terbakar dari dalam.
“Ada sesuatu yang dikunci di bawah sini,” gumam Aji, meraba simbol-simbol kuno di batu nisan.
Tiba-tiba, tanah bergetar. Udin berteriak.
“Ji! Ada yang bergerak di bawah tanah!”
Pedot: “Sumpah aku liat tangan! Tangannya keriput! Tangan nenek-nenek!”
Malam Berdarah
Malam itu, desa kembali diganggu. Tapi kali ini, bukan suara tangisan atau ketukan di jendela.
Pak Bolot menemukan kandang ayamnya berantakan, dengan simbol darah di tanah. Seekor ayam tergantung di langit-langit, kepalanya terbalik.
Bu Warti melihat sesosok bayangan dengan mata merah berjalan di belakang rumahnya, tapi saat diterangi senter—bayangan itu menghilang, meninggalkan bau besi dan anyir.
Dan yang paling menyeramkan… suara-suara dari bawah tanah terdengar dari seluruh penjuru desa.
“Bebaskannn… bebaskannn… aku haus…”
Pusaka Berdarah
Keesokan harinya, Aji kembali ke makam Sela Pati. Kali ini, ia membawa sesuatu: keris lama peninggalan Mbah Tejo, yang sempat digunakan saat penguncian arwah Nenek Sanem. Tapi begitu keris itu didekatkan ke batu nisan, keris tersebut bergetar hebat dan berdarah dari gagangnya.
“Ini… bukan pusaka biasa. Ini semacam kunci… dan korban.”
Tanpa peringatan, batu nisan merekah dan menyemburkan asap hitam. Dari dalamnya, muncul makhluk tinggi berbalut kain kafan terbakar. Wajahnya tertutup, tapi dari sela-sela kain, tampak lidah menjulur dan mata menyala merah.
“Kalian membuka segel... yang menjaga antara pusaka dan darah...”
Aji berdiri tenang.
“Aku bukan membuka. Aku menantang. Jika kau penjaga, aku pewaris. Jika kau pemangsa, aku bentengnya.”
Makhluk itu tertawa.
“Kau tidak tahu… darah siapa yang mengalir di pusaka ini…”
Ditandai
Pertarungan tak terelakkan. Aji membaca ayat-ayat pelindung sambil menghunus keris. Tapi makhluk itu tidak menyerang—ia menghilang, dan hanya menyisakan luka berbentuk mata di dada Aji. Luka itu membara, dan seketika menghubungkan Aji dengan visi aneh: potongan tubuh, api, dan suara ratapan dari masa silam.
Pedot: “Ji! Dada kamu berdarah! Apa itu?!”
Aji: “Aku ditandai. Dan itu artinya… pusaka ini memang menginginkanku…”