NovelToon NovelToon
Generasi Gagal Paham

Generasi Gagal Paham

Status: sedang berlangsung
Genre:Sci-Fi / Anak Genius / Murid Genius / Teen School/College
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.

Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?

Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.

Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 21Rasa yang Tak Terdefinisi

Pagi itu terasa berbeda di sekolah. Langit mendung menggantung rendah seolah ikut merasakan atmosfer yang mengambang di antara mereka. Podcast mereka telah menyebar jauh, dan suara-suara mereka yang selama ini tak didengar mulai menggema ke berbagai arah. Tapi setelah gelombang perhatian itu, ada yang berubah. Mereka sendiri.

Nala duduk di pojok kantin, memegang cangkir kopi sachet yang baru saja ia beli dari koperasi. Ia menatap kosong ke arah meja yang biasanya ditempati Dita dan Raka. Mereka belum datang. Atau mungkin sengaja tidak duduk bersamanya lagi? Ia tak tahu. Ada semacam jarak yang mulai tumbuh di antara mereka—bukan karena permusuhan, tapi karena kebingungan. Tentang perasaan. Tentang tujuan. Tentang mereka sendiri.

“Pagi,” suara Juno memecah lamunannya.

Nala tersenyum lemah. “Pagi. Duduk aja.”

Juno menarik kursi dan duduk, mengeluarkan buku sketsanya. Sudah seminggu ini ia jarang menggambar. Tapi pagi itu ia membuka lembar kosong dan mulai mencoret sesuatu.

“Apa yang kamu gambar?” tanya Nala pelan.

“Rasanya seperti... sesuatu yang belum bisa disebut,” jawab Juno, tetap menatap lembar kosong itu. “Kayak... ada rasa di sini,” dia menunjuk dadanya, “tapi nggak punya nama.”

Nala tertawa tipis. “Kayaknya itu judul film indie.”

Juno ikut tertawa. “Kalau hidup kita difilmkan, pasti rating-nya campur aduk.”

Mereka terdiam beberapa saat. Lalu Nala berujar pelan, “Aku merasa... kehilangan sesuatu. Tapi aku juga nggak yakin apa. Dita makin menjauh. Raka pun. Dan aku... entah kenapa, semakin dekat sama kamu.”

Juno menutup bukunya. Ia menatap Nala dengan mata yang tak biasa—mata yang penuh pertanyaan.

“Aku juga ngerasain hal yang sama. Tapi kalau aku jujur bilang... mungkin aku punya rasa lebih dari sekadar teman ke kamu... kamu bakal marah?”

Nala menelan ludah. Ini bukan obrolan ringan. Tapi inilah kenyataan yang harus dihadapi.

“Gila, ya. Kita lagi di tengah masalah sekolah yang kayak api unggun disiram bensin. Tapi malah ngomongin perasaan.”

“Mungkin karena kita capek,” gumam Juno. “Dan perasaan yang kita tahan, akhirnya pengen keluar juga.”

Nala mengangguk. “Aku nggak marah, Jun. Aku cuma... bingung. Aku juga punya rasa ke kamu, mungkin. Tapi ada rasa bersalah ke Dita juga. Dia pernah bilang, kalau kamu sempat dia suka.”

Juno terdiam. Ini adalah titik di mana semua rasa yang belum sempat didefinisikan akhirnya menyeruak ke permukaan.

Di sisi lain, Raka berdiri sendirian di taman belakang sekolah. Ia memegang amplop putih berisi surat panggilan dari kepala sekolah. Masalah podcast masih belum selesai. Surat itu memintanya hadir bersama orang tua minggu depan. Tapi yang lebih menyita pikirannya adalah... Dita.

Ia merasa sudah lama tak benar-benar bicara dengan gadis itu. Setelah podcast viral dan semua perhatian datang, Dita mulai menghindar. Ia bahkan menghapus sebagian besar isi akun medsosnya. Hanya menyisakan satu foto hitam-putih: foto kertas puisi Nala, tertempel di dinding kelas.

Langkah kaki kecil terdengar dari belakang. Raka menoleh.

“Bisa ngomong sebentar?” Dita berdiri, ragu-ragu.

“Ya. Tentu.”

Mereka duduk di bangku taman. Dita menunduk, jemarinya saling mengusap satu sama lain. “Aku ngerasa kita makin jauh. Padahal dulu kita selalu bareng. Sekarang kamu lebih sering bareng Nala dan Juno. Aku ngerti kok. Tapi... aku juga ngerasa kayak ada yang salah.”

Raka menarik napas. “Bukan kamu yang salah, Dit. Kita semua berubah sejak suara kita mulai didengar. Dan perubahan itu... kadang bikin kita menjauh tanpa sengaja.”

“Aku cuma pengen kita bisa kayak dulu,” bisik Dita.

“Kayak dulu itu... sebelum kita tahu dunia ini terlalu rumit?” Raka mencoba tersenyum.

Dita mengangguk. “Iya.”

Hari berganti. Di lorong sekolah, berita tentang mereka makin ramai. Ada yang mulai menjuluki mereka “Tim Podcast Pemberontak.” Sebagian guru mengawasi mereka lebih ketat, sebagian justru diam-diam mengagumi keberanian mereka.

Namun hubungan di antara mereka yang dulu terasa solid, mulai rapuh. Rasa yang tak terdefinisi—antara sayang, kecewa, harapan, dan bingung menghantui mereka tiap hari.

Suatu sore, Nala mengumpulkan keberanian. Ia mengajak Dita dan Raka bicara. Bertiga, mereka duduk di depan ruang UKS, tempat yang dulu mereka jadikan tempat nongkrong.

“Aku tahu kita makin jauh. Tapi aku nggak mau kehilangan kalian,” kata Nala tegas.

Raka dan Dita saling pandang. Lalu Dita berkata, “Mungkin kita semua harus jujur. Nggak usah pakai bahasa tersamar.”

“Kalau gitu, aku mulai duluan,” ujar Nala. “Aku suka Juno.”

Suasana hening.

Raka mengangguk pelan. “Aku tahu dari caramu lihat dia.”

Dita menatap lantai. “Aku juga pernah suka dia. Tapi sekarang... aku nggak yakin.”

Nala meraih tangan Dita. “Aku nggak mau rasa itu bikin kita rusak.”

“Aku juga,” jawab Dita pelan.

“Dan aku,” sahut Raka. “Tapi kita juga harus sadar, setelah ini semua... kita akan tetap berbeda dari yang lain. Bahkan dari satu sama lain.”

Mereka bertiga saling pandang. Tak ada janji. Tak ada kesimpulan. Tapi setidaknya, untuk hari itu, mereka memilih untuk tetap duduk bersama, walau hati mereka masih penuh pertanyaan.

Di kejauhan, Juno memperhatikan mereka bertiga dari balik pohon. Ia tersenyum kecil, lalu kembali membuka buku sketsanya. Ia mulai menggambar: tiga siluet duduk bersama di bawah langit mendung, dengan tulisan kecil di pojok bawah kertas: Rasa ini belum punya nama. Tapi ia ada.

1
Ridhi Fadil
keren banget serasa dibawa kedunia suara pelajar beneran😖😖😖
Ridhi Fadil
keren pak lanjutkan😭😭😭
Irhamul Fikri: siap, udah di lanjutin tuh🙏😁
total 1 replies
ISTRINYA GANTARA
Ceritanya related banget sama generasi muda jaman now... Pak, Bapak author guru yaaa...?
Irhamul Fikri: siap, boleh kak
ISTRINYA GANTARA: Bahasanya rapi bgt.... terkesan mengalir dan mudah dipahami pun.... izin ngikutin gaya bahasanya saja.... soalnya cerita Pasha juga kebanyakan remaja....
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!