Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.
Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.
"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sidang Setelah Maghrib
Aku memasuki rumah dengan perasaan yang sudah terlanjur dingin. Ayahku, tidak mengatakan apa-apa lagi setelah menyuruhku masuk. Bunda Fatma, menyambutku dengan senyum lembut di dapur, tetapi aku tahu Bunda pasti sudah mencium adanya ketegangan.
"Ayahmu baru saja pulang, Nak. Katanya capek sekali," bisik Bunda sambil menyiapkan air hangat.
"Iya, Bun. Tadi aku diantar Revan," balasku sepelan mungkin, meskipun aku tahu Bunda pasti sudah mendengar detailnya dari Ayah.
Setelah membersihkan diri, aku bergegas mengambil wudu. Suara Adzan Maghrib berkumandang, dan tak lama kemudian, kami bertiga sudah berdiri sejajar: Ayah sebagai imam, Bunda dan aku di belakangnya. Sholat Maghrib berjamaah selalu menjadi jangkar keluarga kami, pengingat akan kesatuan yang paling mendasar.
Namun, malam ini, setiap gerakan dan bacaan terasa berat. Aku tidak bisa sepenuhnya fokus. Bayangan kalung salib Revan, tatapan dingin Ayah, dan kalimat ‘Untukmu agamamu, dan untukku agamaku’ terus mengganggu konsentrasiku.
Setelah salam terakhir, Ayah berbalik. Biasanya, ia akan langsung berzikir sebentar. Malam ini, ia melipat sajadahnya dengan sangat rapi dan meletakkannya di samping.
"Indira, duduk di sini. Ayah mau bicara sebentar," kata Ayah, suaranya tenang, namun mengandung otoritas yang tak terbantahkan.
Bunda Fatma, yang sudah tahu pertanda ini, hanya mengelus lenganku sebentar sebelum berdiri. "Bunda buatkan teh hangat dulu, ya. Kalian bicara baik-baik."
Aku duduk bersimpuh di depan Ayah, merasakan ubin dingin menembus kain mukena. Posisi ini, berhadapan dengan Ayah setelah sholat, terasa seperti sidang yang tidak terhindarkan.
Ayah memulai pembicaraan tanpa basa-basi. "Revan sering mengantarmu lagi, Nak."
Itu bukan pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan.
"Iya, Yah. Tadi kebetulan dia ada waktu luang, jadi dia menjemputku dari kampus," jawabku, mengulang alasan yang sama seperti yang Revan katakan.
"Dulu, saat Revan masih seiman denganmu, Ayah tidak pernah banyak bicara. Ayah tahu kamu menjaga diri dan Revan adalah anak yang baik." Ayah menatapku lurus. "Tapi sekarang, kondisinya berbeda, Nak. Dan Ayah harus bicara."
"Ayah tidak melarangmu berteman. Tapi Ayah melarangmu membiarkan perasaan itu tumbuh menjadi komitmen yang tidak mungkin."
Aku menunduk. "Kami tidak sedang berkomitmen, Yah. Kami hanya berusaha mempertahankan persahabatan yang sudah lama."
"Persahabatan macam apa yang membuat seorang laki-laki rela menyuruh orang lain mengantar motormu sampai rumah?" Ayah menyandarkan punggungnya ke dinding. "Ayah sudah melihat kalung di lehernya, Indira. Ayah tahu betul ke mana arah hubungan ini."
"Revan menghormatiku, Yah. Dia tahu batasan. Dia tidak pernah menyentuhku. Dia—"
"Itu bagus, Nak. Itu menunjukkan dia dididik dengan baik. Tapi batasan yang kamu maksud itu hanyalah kulit luar. Batasan yang sesungguhnya adalah Garis Batas Keyakinan yang memisahkan kalian," potong Ayah, suaranya naik sedikit.
Ayah menarik napas dalam. "Nak, hukum kita jelas. Ayah tidak bisa membiarkan kamu tersesat dalam cinta yang berujung haram. Kamu adalah Muslimah. Kamu dibesarkan di rumah ini. Apa yang akan kamu lakukan jika ia melamarmu? Apa yang akan kamu katakan pada Tuhan?"
Aku menahan tangis. "Aku tidak tahu, Yah. Tapi aku mencintainya. Dan Revan—dia tidak memaksaku. Dia menghormati agamaku. Bahkan dia berkata, 'Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.' Dia berkata akan mendukungku dalam iman ini."
Ayah menggeleng perlahan, ekspresinya dipenuhi kesedihan, bukan kemarahan. "Itu adalah kata-kata dari Kitabullah, Nak. Ayat itu tentang toleransi, bukan tentang pembenaran pernikahan beda agama. Ayat itu justru menegaskan bahwa kalian tidak bisa bersatu karena jalanmu dan jalannya sudah berbeda."
Ayah meraih tanganku. "Indira Safitri. Cinta itu perlu dikendalikan akal dan iman. Ayah tidak mau kamu kehilangan akhiratmu demi perasaan duniawi. Ayah minta, sudahi hubungan ini, Nak. Sebelum terlambat."
Kata-kata Ayah menghantamku lebih keras daripada omelan atau larangan keras. Aku tahu Ayah benar. Aku tahu hukum itu ada. Namun, mendengarnya secara langsung setelah sholat Maghrib, membuatku sadar betapa tipisnya Garis Batas Keyakinan yang selama ini kupegang.
Aku tak mampu menjawab. Yang bisa kulakukan hanyalah terisak, air mata membasahi mukenaku. Sidang itu telah selesai, dan aku baru saja menerima vonis terberat.