Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21
"See you!” Tejas melambaikan tangan penuh semangat. Sampai kakinya melangkah makin jauh pun, lelaki itu masih tidak melepaskan pandangan dari Kayanara yang sudah berdiri di sisi mobilnya.
“Iya, see you!” Kayanara balas berteriak. Lambaian tangannya tak kalah heboh, membuat Tejas di seberang sana tersenyum puas sebelum balik badan dan melangkah dengan riang.
Kayanara menggeleng pelan melihat tingkah Tejas yang sama sekali tidak terlihat seperti pria matang berusia 31 tahun. Dalam pandangannya, lelaki itu masih sama seperti yang dia kenal bertahun-tahun sebelumnya--si social butterfly kampus berusia 19 tahun yang gemar tebar pesona ke sana kemari.
Setelah memastikan Tejas menghilang dari pandangan, Kayanara bergegas masuk ke dalam mobil. Kantong kertas berisi dua almond croissant ia letakkan di kursi penumpang. Karena masih ingat Tejas tidak suka croissant, Kayanara tak berniat menawarkannya sama sekali kepada lelaki itu tadi.
Baru hendak memasang seatbelt, ponsel di saku jaketnya berdering. Ia mengurungkan niat dan segera meraih benda pipih itu.
Michelle is calling... terpampang di layar, lengkap dengan wajah Michelle dengan duck face andalannya. Rambutnya dihias jepit bentuk kumbang merah merona, semerah gincu yang memulas bibir monyongnya.
Kayanara menggeser ikon hijau, menunggu Michelle berbicara tanpa perlu menyapa duluan.
"Di mana, sayangku?”
“Baru mau balik ke apartemen. Habis beli kopi. Kenapa?” tanyanya.
“Mampir ke rumah bisa kali, sambil bawain bubur ayam.”
Kayanara memutar bola mata malas. Bukan apa-apa, ini sudah hampir jam sebelas siang. Di mana dia bisa menemukan tukang bubur ayam yang masih mangkal?
Meski begitu, permintaan Michelle tetap dia iyakan. Tahu kenapa? Karena percuma menolak. Perempuan itu akan tetap kekeuh minta dibawakan apa yang dia mau, meski harus mencari sampai Dubai sekalipun.
Kayanara sudah hafal betul tabiat menyebalkan Michelle yang satu itu, jadi ia memilih untuk tidak membuang energi.
“Ya, tunggu.”
“Thank you so much, honey sweety!” seru Michelle nyaring.
“Nggak usah teriak-teriak, berisik. Tutup teleponnya, gue mau jalan sekarang.”
“Okay, safe drive, baby!” seru Michelle lagi sebelum sambungan telepon ditutup.
Kayanara memandangi ponselnya sejenak sambil menggeleng pelan, heran kenapa baterai energi Michelle selalu full begini.
“Begini nih kalau udah terlanjur rusak tombol on-off-nya,” gumamnya, lalu memasang seatbelt dan melajukan mobil meninggalkan pelataran coffee shop.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
...
“Nih.” Kayanara menyodorkan sebungkus bubur ayam kepada Michelle. Perempuan itu berjalan ke arahnya dengan senyum lebar sampai kedua matanya hampir menghilang.
“Makasih banyak, Sayangkuuu....” Satu kecupan mendarat di pipi kiri Kayanara, lalu Michelle segera menjatuhkan diri di sofa ruang tengah, bersiap menikmati bubur ayam untuk makan siang.
Dalam sekejap, perempuan itu sudah asyik sendiri. Sambil menyuap bubur yang Kayanara beli dengan susah payah, ia sesekali mengomentari gosip artis yang ditayangkan di televisi besar di depannya.
Kayanara hanya bisa menggeleng. Ingin menegur supaya Michelle tidak banyak bicara saat makan agar tidak tersedak, tapi tenaganya sudah cukup terkuras. Maka, alih-alih menginterupsi kegiatan makan yang khidmat itu, ia memilih ke dapur. Tak lama kemudian, ia kembali membawa dua cangkir couple warna kuning ngejreng bergambar kelinci putih.
Satu cangkir ia berikan kepada Michelle, satu lagi ia teguk sendiri untuk meredakan dahaga.
“Gimana rasanya jadi macan ternak?” tanya Michelle di sela suapan.
Satu alis Kayanara terangkat, tidak langsung menangkap maksud pertanyaan itu. “Macan ternak?”
Michelle mengangguk semangat. “Mama cantik anter anak,” katanya dengan senyum geli.
Kayanara menenggak lagi air dalam cangkirnya hingga tandas, lalu meletakkannya di atas meja kaca dan menyilangkan kaki di sofa.
"Biasa aja,” jawabnya. Matanya kini fokus menatap layar televisi yang sedang menayangkan berita lain.
Kali ini tentang kasus KDRT yang dilakukan oleh anak artis senior terhadap pacarnya yang baru berusia 18 tahun. Sebelum kasus ini naik, sempat beredar video kekerasan yang dilakukan si anak artis di media sosial. Orang-orang ramai mengomentari betapa arogannya si anak, lalu menyeret nama orang tuanya dan menuding mereka telah gagal dalam mendidik.
Pada beberapa bagian, Kayanara setuju. Peran orang tua memang sangat penting dalam pembentukan karakter anak. Tapi, tentu ada faktor-faktor lain yang juga memengaruhi perilaku mereka.
Circle pertemanan biasanya menyumbang pengaruh besar. Anak-anak yang salah masuk pergaulan bisa memiliki dua kepribadian: di rumah tampak baik-baik saja, di luar rumah jadi pribadi yang sama sekali berbeda.
Kayanara percaya setiap orang tua pasti berusaha melakukan yang terbaik untuk anak-anaknya. Kalaupun ada yang tidak, jumlahnya pasti tidak banyak.
Oleh karena itu, ia pribadi tak pernah suka men-judge kenakalan seorang anak sebagai kegagalan orang tuanya.
“Miris banget kelakuan anak zaman sekarang,” komentar Michelle di tengah narasi berita. Setelah suapan terakhir, ia menoleh ke Kayanara. “Semoga Naren nggak kayak begitu, ya.”
Kayanara menoleh sebentar ke arah Michelle, lalu kembali menatap layar televisi. Dalam sekejap, pikirannya mulai dipenuhi bayang-bayang wajah Naren.
Gara-gara omongan Michelle, Kayanara jadi membayangkan kalau pemuda berbaju oranye di layar itu adalah Naren. Ia tak bisa membayangkan betapa sedihnya Janu jika anak bungsu kesayangannya tumbuh menjadi seorang kriminal. Lelaki itu pasti akan menyalahkan diri sendiri tanpa henti.
Merasa gagal, seolah usahanya tak pernah cukup untuk jadi orang tua yang baik bagi kedua putranya.
Membayangkan itu saja sudah membuat kepala Kayanara terasa berat. Ia menghela napas panjang, menyandarkan punggung ke sofa, memilih diam.
"Ada tendensi buat dia tumbuh jadi arogan, ya?”
“Enggak.” Kayanara menjawab cepat meski dirinya sendiri tidak yakin. Ia hanya bisa berdoa semoga circle pertemanan Naren di kampus tidak menyeretnya ke dalam hal-hal buruk.
Terdengar helaan napas lega dari sebelah. Tapi Kayanara tak bisa melakukan hal serupa. Perasaannya justru semakin gundah.
Tak ingin terus tenggelam dalam rasa tak nyaman, Kayanara menegakkan punggung. Otaknya bekerja cepat mencari topik lain untuk mengalihkan pikiran.
“Tadi gue ketemu Kak Tejas,” ujarnya begitu topik baru muncul di kepala.
Air minum yang belum sempat ditelan Michelle nyaris menyembur ketika nama itu disebut. Dengan mata membola, ia bertanya, “Tejas Wisesa?” seolah memastikan pendengarannya tidak salah.
Kayanara mengangguk.
“Ketemu di mana? Kok bisa? Bukannya dia tinggal di luar kota?” cerocos Michelle.
“Di coffee shop langganan kita. Dia udah pindah ke Jakarta, ternyata. Sejak dua bulan lalu,” jelas Kayanara.
Untuk beberapa saat, Michelle terdiam. Tampak termenung, entah memikirkan apa. Air mukanya terlalu abstrak untuk bisa Kayanara baca.
Lalu, sebuah pertanyaan meluncur dari bibirnya dan sukses membuat Kayanara seketika bungkam.
Katanya, “Lo udah nggak naksir sama dia, kan?”
Bersambung....