Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.
Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Penjelasan Lebih Lanjut
“Dan setiap tingkatan…” ucapnya, lambat, “memiliki risiko mereka masing-masing. Makin tinggi kau naik… makin besar harga yang kau bayar.” Ia menoleh perlahan ke arah Maelon. “Kegilaan bukan sekadar kemungkinan—itu adalah sahabat yang berjalan bersamamu. Tak pernah jauh. Selalu berbisik. Selalu menunggu.”
Tatapan Maelon merunduk. Ia mengangguk perlahan, seperti membenarkan kebenaran yang telah ia rasakan namun belum sepenuhnya pahami. “Benar…” katanya lirih. “Aku… mendengar bisikan. Di kepalaku. Seolah-olah ada yang menghasutku untuk menyerah. Membuatku merasa hampa. Putus asa. Dan kadang aku… tak bisa mengendalikan emosiku sendiri.”
Roy diam sesaat. Lalu ia mengangguk pelan, tak terkejut. “Itu adalah bagian dari resiko pemegang kekuatan Doctrina,” katanya. “Kita berjalan di atas jalan yang dibangun dari kehendak… dan kehendak itu sendiri bisa retak. Mereka yang gagal mengendalikan kekuatan… akan kehilangan diri mereka perlahan.” Ia menyentuh bagian dada kirinya, di atas jantung. “Mereka akan berubah bentuk, kehilangan akal. Menjadi sesuatu yang bukan lagi manusia. Tidak lebih dari binatang buas yang hanya hidup untuk melukai dan dimusnahkan.”
Jeffrie Nova ikut berbicara, suaranya lembut tapi jelas. “Karena itulah,” katanya, “para pemegang Doctrina harus menjaga emosi mereka dengan baik. Kekuatan ini… bukan sekadar alat. Ia cermin dari batin kita. Jika batinmu retak, kekuatan itu pun akan mencerminkan kehancuran itu ke dunia luar.”
Maelon menunduk lebih dalam. Untuk pertama kalinya, ia mulai menyadari… jalan yang telah ia pilih tidak hanya mengarah ke kekuatan. Tapi ke dalam lorong gelap dirinya sendiri, tempat di mana bisikan dan bentuk liar sedang menunggu saat yang tepat untuk mengambil alih.
Ia mengangkat kepalanya perlahan dan bertanya dengan suara pelan, “Lalu… di tingkat mana aku berada sekarang?”
Roy menoleh, pandangannya tak terlihat di balik topeng, namun ada keheningan yang berbicara lebih dari apa pun sebelum ia menjawab, “Kau… berada di tingkat Lapsus pertama. Tingkatan awal yang disebut sebagai Reah.”
“Reah…” gumam Maelon.
Jeffrie menambahkan, “Setiap pengguna kekuatan akan memulai dari nol. Tapi untuk benar-benar memasuki jalur Lapsus, mereka harus menjalani satu ritual khusus—ritual yang membuka tubuh dan jiwanya pada kekuatan tersebut.”
Roy mengangguk. “Dan ritual itu berbeda untuk tiap jenis Doctrina. Terkadang… itu menyakitkan. Terkadang… itu mematikan. Tapi semuanya… akan mengubahmu.”
Maelon terdiam.
Dalam keheningan itu, api di sudut ruangan masih retak perlahan.
Dan di balik cahaya remang-remang, jalan yang telah ia tempuh kini terasa semakin panjang… dan semakin sunyi.
Suasana di dalam ruangan berubah pelan-pelan. Lilin di sudut ruangan menyala lebih tenang, seolah menahan napas, menyimak setiap kata yang terucap. Maelon menatap Roy dan Jeffrie bergantian. Keheningan menggantung di antara mereka sesaat sebelum akhirnya ia angkat bicara, suara pelan dan ragu, “Kalau begitu… apa tingkatan kalian berdua?”
Roy menoleh sedikit, seolah memperhatikan Maelon dengan lebih dalam dari balik topengnya. Ia tak langsung menjawab. Hanya ada diam… dan dingin yang seakan menebal. Akhirnya, Roy berkata, datar namun jelas, “Kau masih baru, Maelon. Kami… lebih memilih untuk tidak mengungkapkan informasi seperti itu pada pendatang baru. Bukan karena kami tidak percaya… tapi karena kehati-hatian adalah kunci bertahan hidup di dunia ini. Terlalu banyak yang mengincar celah.”
Jeffrie Nova menyambung dengan senyum tenang, tidak menegaskan apa pun tapi juga tak menyangkal. “Benar. Tapi satu hal bisa kukatakan… aku sama sepertimu, Maelon. Aku juga pengguna Aetheron.”
Maelon mengangguk pelan. Ia mengerti. Tak semua pertanyaan layak ditanyakan, terutama saat kau belum menjadi bagian dari lingkaran dalam. Diam adalah bentuk penghormatan yang paling aman, dan ia memilihnya. Dalam batinnya, ia sadar—ia masih orang luar. Belum layak menembus kedalaman rahasia mereka.
Namun, satu pertanyaan lain masih membebani pikirannya. Ia menarik napas pelan, lalu bertanya, “Bagaimana… cara kita meningkatkan kekuatan kita?”
Roy menatapnya lama. Diam itu kembali hadir, kali ini terasa lebih berat. Seolah jawaban yang akan keluar bukanlah sesuatu yang mudah dicerna. “Dengan membunuh,” ucap Roy akhirnya, suaranya berat namun tak menggigil. “Dan menyerap inti jiwa dari pengguna Doctrina lain.”
Maelon menegang. Ia belum sempat merespon, saat Jeffrie Nova membuka bagian dalam jubahnya. Dari sana, ia mengeluarkan sesuatu—enam bulatan kristal yang berdenyut lemah, seperti jantung yang masih berdetak, meski tubuhnya telah lama mati. Masing-masing memiliki cahaya samar berbeda-beda—merah darah, biru pekat, hijau tua, kelabu, ungu dalam, dan kuning keemasan yang pudar.
“Inilah yang telah kami ambil dari mereka yang telah kami bunuh,” kata Jeffrie lembut, seolah itu hanyalah fakta, bukan keputusan moral.
Maelon menatap bola-bola itu. Keindahan mereka tak menyembunyikan kenyataan pahit di baliknya. Jiwa… yang telah diambil. Nyawa yang direnggut. Kekuatan yang dicuri.
Ia menelan ludah. Tak ada yang berbicara. Di dalam dirinya, sesuatu bergejolak. Kontradiksi. Penolakan. Ia… ingin menjadi kuat. Tapi apakah harus begini caranya?
Membunuh… demi bertahan. Merampas… demi tidak dirampas.
Jeffrie seakan merasakan konflik itu di wajah Maelon, tapi ia tak berkata apa-apa. Ia hanya mengamati, membiarkan Maelon berdiri di tepi jurang pilihan itu sendirian.
Roy pun tak menambahkan. Karena mereka tahu… keputusan ini bukan sesuatu yang bisa dibantu. Ini bukan perintah. Ini adalah kenyataan.
Dan bagi siapa pun yang berjalan di jalan Doctrina… waktu akan tiba, di mana tangan mereka harus ternoda.
Di tengah temaram cahaya lilin yang memantulkan bayangan panjang di dinding kayu yang lapuk, Maelon masih diam, terbenam dalam diam yang penuh gejolak. Wajahnya tertunduk, matanya terpaku pada enam inti jiwa yang tergeletak di meja. Setiap denyut cahaya dari bola-bola itu seolah berdetak langsung dalam dadanya—menggemakan semua keraguan dan luka batin yang tak kunjung sembuh. Jalan yang terbentang di hadapannya terasa terlalu kelam untuk diinjak tanpa ragu.
Namun di tengah kekacauan dalam pikirannya, suara Roy datang pelan, hampir seperti bisikan yang disampaikan oleh seseorang yang tahu betul bagaimana rasanya memikul beban pilihan. “Jangan khawatir, Maelon…” katanya, nada suaranya tenang namun dalam, “Kau bisa memilih untuk hanya membunuh mereka… yang memang pantas untuk dibunuh.”
Maelon mengangkat wajahnya perlahan.
“Itu akan meringankan beban moralmu,” lanjut Roy sambil bersandar ke kursinya. “Dan aku senang. Senang karena kau masih memiliki… kemanusiaan. Karena kebanyakan yang kutemui di jalan ini… sudah tidak memilikinya lagi.”
Ada kejujuran dalam kata-kata Roy, sesuatu yang membuat napas Maelon terasa sedikit lebih ringan. Namun hanya sedikit. Karena kenyataan ini tetap getir—dan tak semua kepedihan bisa dihapus hanya dengan pengertian.
Lalu, dengan suara pelan, nyaris seperti gumaman, Maelon bertanya, “Kalau begitu… apa ada cara… untuk mengeluarkan kekuatan ini dari tubuh seseorang?”
Pertanyaan itu membuat Jeffrie Nova menoleh cepat. “Kau ingin… melepaskan kekuatan Doctrina-mu?” Suaranya terdengar lebih tajam dari biasanya, terkejut namun tak menuduh.
Roy tidak menunjukkan keterkejutan. Ia justru mengangguk pelan, seolah telah memperkirakan arah pertanyaan itu. “Itu mungkin,” katanya, perlahan. “Namun hanya… oleh pengguna Nullis.”
“Nullis?” tanya Maelon, pelan.
“Mereka yang berjalan di jalur peniadaan,” Roy menjelaskan. “Satu-satunya Doctrina yang tidak memberikan kekuatan… tapi mengambilnya. Mereka dapat mengekstraksi kekuatan dari seseorang, namun tentu saja… ada batasnya. Metode itu hanya berlaku untuk pengguna Lapsus tingkat empat ke bawah. Di atas itu… kekuatan sudah terlalu terikat pada tubuh dan jiwa.”
Jeffrie menambahkan, “Dan hanya Nullis tingkat tinggi yang bisa melakukannya. Biasanya… proses ini digunakan pada seseorang yang ingin berpindah jalur—merubah Doctrina-nya.”
Maelon terdiam. Tapi kali ini bukan karena beban. Melainkan… karena harapan. Walau samar, ada titik cahaya di ujung jalan gelap ini. Ia masih belum tahu akan memilih jalan mana, namun setidaknya, pilihan itu ada. Ia tak harus menjadi monster.
Dan untuk pertama kalinya… ia merasa mungkin masih ada cara untuk tetap menjadi manusia, bahkan di tengah dunia yang telah kehilangan artinya.