Perselingkuhan antara Kaivan dan Diana saat tiga hari menjelang pernikahan, membuat hati Alisa remuk redam. Keluarga Kaivan yang kepalang malu, akhirnya mendatangi keluarga Alisa lebih awal untuk meminta maaf.
Pada pertemuan itu, keluarga Alisa mengaku bahwa mereka tak sanggup menerima tekanan dari masyarakat luar jika sampai pernikahan Alisa batal. Di sisi lain, Rendra selaku kakak Kaivan yang ikut serta dalam diskusi penting itu, tidak ingin reputasi keluarganya dan Alisa hancur. Dengan kesadaran penuh, ia bersedia menawarkan diri sebagai pengganti Kaivan di depan dua keluarga. Alisa pun setuju untuk melanjutkan pernikahan demi membalas rasa sakit yang diberikan oleh mantannya.
Bagaimana kelanjutan pernikahan Alisa dan Rendra? Akankah Alisa mampu mencintai Rendra sebagai suaminya dan berhasil membalas kekecewaannya terhadap Kaivan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nikah Siri
Hari pernikahan Kaivan dan Diana telah tiba. Tak banyak persiapan penting dilakukan di kediaman Bu Ani, hanya tempat yang layak untuk melakukan ijab kabul dan makanan bagi kerabat terdekat.
Pada kesempatan itu, ibu dan bibi Diana turut hadir mendampingi calon mempelai wanita. Betapa pedih hati Bu Gayatri mendapati putrinya menikah tanpa Pak Praja sebagai walinya. Selain itu, acara yang diadakan sangat sederhana ini bukanlah pernikahan idaman Bu Gayatri beserta keluarga.
Sebelum acara ijab kabul dimulai, Bu Gayatri mendatangi putrinya yang sudah didandani secantik mungkin oleh Alisa. Kedatangannya tentu saja membuat Alisa merasa canggung. Maka dari itu, setelah selesai merias wajah Diana, Alisa beranjak dari tempat duduknya.
"Ibu mau ngobrol sama Diana, ya? Silakan masuk," ujar Alisa, mempersilakan Bu Gayatri duduk di kursi tempat ia merias wajah.
Bu Gayatri mengulas senyum sembari memasuki kamar pengantin. Alisa bergegas keluar, meninggalkan anak dan ibu itu berdua saja sebelum ikatan suci mengikat Diana.
Dengan lembut, Bu Gayatri membelai Diana. Tatapan matanya yang sendu menyiratkan sayatan perih di dinding hati. Bu Gayatri tersenyum getir, tatkala menatap wajah putri tunggalnya yang tampak berada dalam tekanan.
"Apa kamu bahagia, Nak?" tanya Bu Gayatri dengan mata berkaca-kaca.
"Kenapa Ibu bertanya seperti itu? Tentu saja aku bahagia, Bu," jelas Diana, senyum simpul merekah di bibirnya yang dipoles gincu merah muda.
"Ibu tidak melihat kebahagiaan di matamu. Seandainya saja Ibu memiliki kekuatan, kamu akan Ibu ajak pulang sekarang juga ke kampung," tutur Bu Gayatri lesu.
"Apa maksud Ibu bicara begitu?" Diana mengerutkan dahinya, menatap heran wajah sang ibu yang tampak pucat dan letih.
"Ibu hanya ingin kamu bahagia, Nak. Ibu tidak malu ataupun keberatan membawamu pulang dalam kondisi seperti ini," jelas Bu Gayatri, lalu mengusap perut Diana. "Kita akan membesarkan anak ini bersama. Tak peduli orang-orang akan mencemooh kita, Ibu hanya ingin kamu dan anakmu bisa hidup tenang di tengah keluarga yang menyayangi kalian."
Diana memegang tangan ibunya. Matanya menatap Bu Gayatri dengan sayu, seraya berkata, "Tidak, Bu. Sudah cukup penderitaan yang Ibu tanggung dari kelakuan kasar Bapak selama ini. Aku tidak mau membebani Ibu lagi. Ibu juga masih butuh perawatan dan pengobatan penyakit kanker, kan? Sebaiknya Ibu istirahat saja, nggak usah terlalu berat mikirin aku. Lagi pula, keluarga Kaivan bukanlah keluarga yang jahat. Mereka semua baik dan memahami aku, terutama Alisa. Calon ibu mertuaku pun merupakan orang yang baik dan pengertian. Jadi, Ibu nggak usah khawatir."
"Iya, Ibu tau itu. Dari cara mereka menyambut Ibu dan Bibi juga sangat santun dan sopan. Hanya saja ... Ibu meragukan calon suamimu. Apakah dia bersungguh-sungguh mencintaimu, Nak?" terang Bu Gayatri, menatap lekat kedua mata Diana.
Sejenak, Diana diam mematung dan termenung. Tindakan kasar yang dilakukan oleh Kaivan sebelum pernikahan ini diadakan, membuat perasaannya kalut. Ia memalingkan muka sebentar, berusaha menyembunyikan penderitaan yang ditorehkan oleh sang kekasih akhir-akhir ini.
"Ada apa, Diana? Apa dia tidak sungguh-sungguh mencintaimu? Jika benar demikian, sebaiknya kamu ikut Ibu pulang saja ke kampung," tanya Bu Gayatri menatap putrinya dengan menyelidik.
Diana segera menggeleng cepat, menatap ibunya dengan alis terangkat. "Tidak, Bu. Kaivan benar-benar mencintaiku, kok. Sungguh!" bantahnya berusaha meyakinkan.
Bu Gayatri menghela napas panjang, kemudian membelai wajah putrinya. "Ibu selalu mendoakan yang terbaik, Nak. Kalaupun perasaan Ibu ini mengatakan keraguan, tapi Ibu percaya, kamu pasti lebih beruntung dalam berumah tangga," tuturnya, disertai senyum tipis.
"Aku juga berharap demikian, Bu," sahut Diana.
Beberapa saat kemudian, acara ijab kabul pun dilaksanakan. Kaivan dan Diana sudah duduk bersama di depan penghulu serta wali hakim. Bu Ani memakaikan tudung pada keduanya tatkala Kaivan hendak bersalaman dengan wali hakim.
"Sudah siap?" tanya penghulu menatap mata Kaivan.
Pria itu melirik penghulu sebentar, lalu mengangguk pelan. Wali hakim menjulurkan tangannya, lalu Kaivan menjabatnya dengan gemetar.
"Bismillahirrahmanirrahim. Ananda Kaivan Wijaya bin Heru Kurniawan, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak perwalian saya, Diana Saputri binti Praja Kusuma dengan mas kawin berupa seperangkat alat salat dibayar tunai," kata wali hakim, lalu menekan tangan kanan Kaivan dengan ibu jarinya yang masih bersalaman.
"Saya terima nikah dan kawinnya Diana ... Diana ...." Kaivan seketika terdiam, sulit fokus menyimak ucapan wali hakim.
Melihat kegugupan di wajah adiknya, Rendra menunjukkan kepalan tangan tepat di samping penghulu. Wajahnya yang geram dengan mata melotot seakan menuntut Kaivan menunjukkan keseriusan.
"Baiklah, kita ulangi lagi, ya," ucap penghulu dengan tenang. "Nak Kaivan tarik napas dulu, jangan gugup."
"Iya, Pak." Kaivan kemudian menghela napas dalam-dalam, dan mengembuskan lewat mulut.
"Ananda Kaivan Wijaya bin Heru Kurniawan, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak perwalian saya, Diana Saputri binti Praja Kusuma dengan mas kawin berupa seperangkat alat salat dibayar tunai," kata wali hakim, mengulangi ijab kabul sembari menatap lekat kedua mata Kaivan.
"Saya terima nikah dan kawinnya Diana Saputri binti Praja Kusuma dengan mas kawin yang tersebut, dibayar tunai," sambut Kaivan dengan satu tarikan napas dan suara gemetar.
"Sah?" tanya penghulu pada orang-orang yang hadir di kediaman Bu Ani.
"Sah!" sahut para kerabat kedua mempelai yang hadir di sana.
Selanjutnya, penghulu membacakan doa bagi kelangsungan pernikahan kedua mempelai. Suasana terasa khidmat, meski kemarahan bergejolak di dada Kaivan. Pria itu masih tak terima dengan pernikahan paksa ini, apalagi harus tinggal serumah dengan Diana di bawah pengawasan ibunya.
Selesai acara ijab kabul, Diana dan Kaivan dipersilakan foto bersama keluarga yang ada. Wajah Kaivan yang masih masam menimbulkan kekhawatiran di benak Bu Gayatri. Wanita itu menghampiri menantunya sambil mengulas senyum tipis.
"Nak Kaivan, saya mau nanya serius sama kamu. Apa kamu sungguh-sungguh mencintai Diana?" tanya Bu Gayatri, menatap lekat wajah Kaivan.
Seketika, Kaivan mengubah raut mukanya yang semula kusut menjadi lebih datar. "Ibu ini bicara apa? Ibu nggak perlu bertanya seperti itu. Aku mencintai Diana, Bu. Apa Ibu nggak lihat bagaimana aku meresmikan hubungan kami?" kelit Kaivan.
"Syukurlah kalau begitu. Saya harap, kamu bisa menyayangi Diana lebih baik dari bapaknya," ucap Bu Gayatri mengusap pundak Kaivan.
Sementara itu, Alisa dan Rendra yang memperhatikan sepasang mempelai pengantin itu, hanya bisa terdiam sembari mengembuskan napas berat. Rendra yang berdiri sambil melipat kedua tangannya, tampak masih geram pada kelakuan sang adik. Matanya menyorot tajam pada Kaivan, seakan kekesalan di dadanya atas kegagalan pertama ijab kabul belumlah selesai.
"Dasar anak nggak tau diuntung! Pernikahan disiapkan keluarga, tapi mengucapkan ijab kabul saja nggak becus. Sekarang mukanya malah ditekuk terus begitu. Apa dia ingin Ibu digunjing lagi sama orang-orang?" gerutu Rendra.
"Mungkin dia gugup, Kak," kata Alisa.
"Gugup katamu?" Rendra menoleh pada istrinya. "Coba perhatikan baik-baik sepasang pengantin kita ini. Kaivan terlihat jengkel, sedangkan Diana justru tertekan. Senyuman mereka itu terlihat tidak tulus," jelasnya.
Alisa menghela napas, lalu berkata, "Aku harap, rasa sakit hatiku terhadap mereka di masa lalu tidak menjadi kutukan."
lanjut thorrrr.