NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Berbaikan / Cinta Beda Dunia / Kehidupan di Kantor / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Kadang, hidup tak memberi pilihan. Ia hanya menaruhmu di satu persimpangan, lalu membiarkan waktu yang menyeretmu ke arah yang tak kau minta. Johan Suhadi adalah lelaki yang kehilangan arah setelah maut merenggut tunangannya. Tapi duka itu bukan akhir—melainkan pintu gerbang menuju rahasia besar yang selama ini terkubur di balik hutan lebat Bukit Barisan. Sebuah video tua. Sepucuk surat yang terlambat dibuka. Dan janji lama yang menuntut ditepati. Dalam pelariannya dari masa lalu, Johan justru menemukan jalannya. Ia membuka aib para pejabat, mengusik mafia yang berlindung di balik jubah kekuasaan, dan menciptakan gelombang kejujuran yang tak bisa dibendung. Bersama sahabat sejatinya dan seorang wanita yang diam-diam menyembuhkan luka jiwanya, Johan menghadapi dunia—bukan untuk menang, tapi untuk benar.

Dari Padang hingga Paris. Dari luka hingga cinta. Dari hidup hingga kematian.
Bukit Takdir bukan kisah tentang menjadi kuat,
tapi tentang memilih benar meski harus hancur.

Karena

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Di Ujung Waktu, Terbuka Pintu Takdir"

Wiu... wiu... wiu...

Lengking sirine ambulans melukai keheningan malam. Suaranya melesat, bergantian datang dan pergi, seolah membawa beban berat dari kehidupan yang nyaris padam. Rumah sakit itu ramai, seperti panggung sunyi yang memendam banyak duka. Di sinilah Kalmi dan Liana dirawat—tempat luka-luka mereka mencari peristirahatan, meski jiwa mereka masih tetap berperang dalam diam.

Sudah tiga hari Kalmi belum juga sadar. Tubuhnya kaku di atas ranjang, seolah raganya kembali ke dunia ini, tapi jiwanya masih tersesat di antara kabut peristiwa yang mengerikan: ladang ganja di pedalaman Bukit Barisan yang akhirnya ditaklukkan.

Johan baru saja keluar dari ruang rawat Kalmi. Langkahnya lambat, nyaris tanpa suara, menyusuri lorong menuju kamar lain—tempat Liana berjuang melawan perihnya luka. Saat hendak membuka pintu, ia bertemu dengan seorang dokter yang baru saja keluar dari sana.

“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanyanya pelan, suara yang nyaris tercekat.

Dokter itu menatap Johan dengan sorot mata teduh namun serius. “Sebagian wajahnya mengalami luka bakar. Kami berhasil menyelamatkan penglihatannya, tapi lukanya sangat rawan. Ia harus tetap dirawat intensif. Kalau dipaksakan rawat jalan, risikonya tinggi. Bisa terjadi infeksi. Bisa membahayakan nyawanya.”

Johan mengangguk pelan. Tidak ada kalimat yang keluar dari bibirnya, hanya tarikan napas dalam yang tertahan. “Terima kasih, Dok. Saya akan bicara dengan Liana. Saya akan pastikan ia tetap dirawat di sini.”

~

Tok... tok... tok...

“Masuk,” suara lembut itu datang dari dalam kamar.

Johan mendorong pintu perlahan. Cahaya redup menyambutnya. Di atas ranjang, Liana tersenyum begitu melihatnya masuk. Wajahnya setengah tertutup perban, tapi mata itu—mata yang dulu berani menatap langit—masih menyimpan sisa cahaya kehidupan.

“Eh, Johan! Gimana Kalmi? Udah sadar, kan?” tanyanya dengan semangat, mencoba menyingkirkan sepi yang sempat mencengkeram.

“Belum,” Johan menggeleng perlahan. “Tapi keadaannya membaik. Dokter bilang ada harapan.”

Liana mengangguk kecil. Ia menarik napas dalam, mengusap-usap selimut yang menutupi kakinya. “Aku bosen banget, Jo. Rebahan terus kayak gini bikin kepala rasanya kosong. Kapan kita bisa mulai belajar lagi?”

Johan terkekeh. Suara tawa kecilnya seperti denting cangkir di malam hening. “Kamu harus sabar. Kata dokter, kamu harus dirawat beberapa minggu dulu. Tapi tenang aja, aku bakal sering ke sini. Biar kamu nggak bosen, aku bawain buku. Atau... kamu bisa temenan dulu sama benda itu,” ujarnya sambil menunjuk ke televisi.

Liana menoleh, matanya menyipit ke arah layar hitam besar di sudut ruangan. “Itu kaca hitam? Yang kamu maksud?”

“Namanya televisi, Li,” Johan tertawa kecil, mendekat dan menyalakannya.

Layar menyala. Warna-warna hidup muncul di hadapan Liana. Matanya membesar.

“Lho... kok ada orang di dalamnya?” tanyanya polos.

Johan tertawa lagi. “Itu bukan orang beneran. Itu gambar. Direkam, lalu dikirim lewat sinyal ke seluruh negeri.”

Namun, tawa itu lenyap seketika. Wajah Johan berubah, tatkala berita yang muncul di layar membuat hatinya mengeras. Ia terpaku.

Laporan berita itu seperti hantu yang kembali datang mengetuk ingatan mereka—kisah yang belum lama terjadi namun sudah meninggalkan luka sedalam jurang.

> “Pengungkapan ladang ganja seluas delapan hektar di hutan Bukit Barisan terjadi setelah dua pemuda penjelajah menemukan lokasi tersebut. Para pelaku menculik dua puluh delapan warga untuk dijadikan pekerja paksa. Satu di antaranya tewas karena mencoba melarikan diri…”

Johan memejamkan mata. Liana terdiam. Suara pembawa berita terus mengalun, seperti desau angin malam yang mengabarkan pilu dari balik layar kaca.

> “Ladang itu dijaga oleh kelompok bersenjata. Salah satu penjelajah tertangkap, sementara temannya melaporkan ke pihak berwajib. Operasi penyelamatan pun diluncurkan melibatkan TNI, POLRI, dan Basarnas. Sejumlah tersangka ditangkap. Sebuah mobil Xpander hitam dan puluhan karung daun ganja disita…”

Wajah Liana memucat. Nafasnya pendek, seperti ada bara yang menyala dalam rongga dadanya.

> “Polisi menyebut penyelidikan masih berjalan. Salah satu dokumen penting mengarah kepada dugaan keterlibatan ‘M’, seorang pejabat tinggi. Kami terus mendalami hal ini…”

Liana menoleh pelan ke arah Johan. “Jo… semua ini nyata, ya?” bisiknya.

Johan hanya mengangguk. Matanya menatap layar, tapi pikirannya jauh ke dalam—ke malam ketika peluru berdesing, ketika nyawa melayang, ketika kebebasan ditebus dengan luka yang takkan pernah benar-benar sembuh.

Liana masih menatap layar televisi. Ada kerutan samar di keningnya, sorot matanya meraba-raba sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.

“Jo…” gumamnya pelan, “bukannya itu… berita tentang kita?”

Johan tidak segera menjawab. Ia menarik napas panjang, lalu menunduk. Suaranya lirih, seperti gumam yang dititipkan angin.

“Iya, Li… tentang kita. Tentang hari-hari yang tidak akan pernah bisa kita ulang. Dan tahukah kamu… pemilik ladangnya—bukan orang biasa. Ia pejabat negeri ini.”

Liana terdiam. Seperti ada sesuatu yang hancur dalam diamnya. Johan melanjutkan, masih dengan suara yang pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.

“Pantas saja… selama ini tidak ada kabar tentang warga yang hilang. Semuanya seperti ditelan hutan. Ternyata, hutan itu dijaga oleh kekuasaan…”

Kring... kring... kring.

Suara telepon Johan memecah sunyi. Bertubrukan dengan suara wartawan di televisi yang masih menjelaskan kronologi kejadian. Johan menatap layar ponsel, lalu mengangkatnya.

“Halo, Bapak Johan Suhadi?” suara formal dari seberang terdengar jelas. “Kami dari pihak kepolisian. Ingin meminta keterangan tambahan untuk mendukung penyelidikan. Apakah Anda bersedia datang sekarang ke kantor kami?”

“Baik, Pak. Saya akan segera ke sana,” ujar Johan tegas.

Ia menoleh ke arah Liana yang masih duduk bersandar di ranjang, mata gadis itu tak lepas dari layar yang terus berganti gambar.

“Li, aku ke kantor polisi sebentar, ya. Nonton TV-nya jangan terlalu dekat,” katanya sembari tersenyum tipis.

Liana mengangguk, masih terpesona oleh dunia yang baru dikenalnya. “Boleh ganti-ganti channel, kan?” tanyanya sambil mengangkat remote, penuh rasa ingin tahu seperti anak kecil melihat dunia pertama kali.

Johan terkekeh. “Boleh, tapi jangan ditekan pakai tenaga sebesar otot hatimu, ya. Nanti rusak.”

Mereka tertawa kecil. Tawa yang sebentar, namun hangat.

---

Malam mulai turun perlahan saat Johan melajukan mobilnya menuju kantor polisi. Jalanan kota Padang terlihat lebih lengang. Lampu-lampu jalan menyala seperti bintang yang diturunkan untuk menemani perjalanan panjangnya.

Setibanya di kantor polisi, Johan duduk di ruangan berpendingin yang dinginnya menusuk, tidak hanya kulit—tapi juga pikiran. Ia menjelaskan segalanya dengan runut. Kata demi kata keluar dari mulutnya seperti potongan kepingan yang perlahan membentuk gambaran utuh tentang kejadian itu. Polisi mencatat, menyimak, mengangguk.

Setelah semuanya selesai, Johan ragu-ragu membuka mulut.

“Pak... soal pemilik ladang itu, apa benar dia pejabat negeri ini?”

Petugas itu terdiam sejenak, seolah sedang menimbang kebenaran dengan neraca kehati-hatian. Lalu ia menatap Johan lekat-lekat.

“Dugaan kami mengarah ke sana. Tapi kami belum bisa mengumumkannya. Bukti yang kami miliki belum cukup kuat untuk menyeret namanya ke meja hijau.”

Johan menatap lurus. “Tapi saya terlibat langsung, Pak. Saya punya hak tahu. Siapa dia?”

Polisi itu mendekat, nadanya menurun, hampir seperti bisikan doa di tengah malam.

“Oke. Tapi tolong jaga informasi ini. Masih sangat rahasia.”

Ia menyebut sebuah nama. Pelan. Namun cukup untuk mengguncang dunia kecil yang Johan bangun selama ini.

Johan terbelalak. “Pak Mulyono?” gumamnya, nyaris tercekat.

Petugas itu menajamkan pandangannya. “Anda mengenalnya?”

Johan mengangguk pelan. “Baru saja akan menjalin kerja sama bisnis dengan beliau. Bisnis ekspedisi pengiriman barang. Tapi belum ada kesepakatan apa pun. Baru satu kali pertemuan.”

Polisi itu mengangguk, mencatat. “Informasi ini penting, Pak Johan. Apakah Anda mengetahui aktivitas lain dari beliau?”

“Tidak, Pak. Yang saya tahu hanya itu. Dan mohon... kalau nanti wartawan tahu, tolong jangan sebut nama saya. Saya tidak ingin nama saya jadi mainan media.”

“Baik, kami pastikan identitas Anda aman,” kata polisi itu meyakinkan.

Johan berdiri, pamit. “Kalau ada perkembangan, mohon kabari saya, Pak.”

“Siap, Pak Johan.”

---

Keluar dari kantor polisi, malam terasa lebih gelap dari biasanya. Bukan karena langit tak berbintang, tapi karena pikirannya penuh bayangan. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu memutuskan untuk tidak langsung kembali ke rumah sakit. Sebuah janji melintas di ingatannya—janji pada seseorang yang sedang menyembuhkan lukanya.

Akhirnya Johan tiba di sebuah tempat yang tak asing baginya—toko buku mungil di sudut kota, yang lebih mirip rumah daripada toko. Tak banyak yang tahu, tapi di sanalah ia sering menemukan damai, jauh dari hiruk-pikuk dunia.

Sudah lebih dari sebulan ia tak berkunjung. Padahal biasanya, seminggu sekali ia akan menyusuri rak demi rak, membiarkan matanya tersesat di antara barisan judul, lalu membawa pulang beberapa lembar pengetahuan dan imajinasi. Namun hari ini, langkahnya bukan untuk dirinya sendiri. Hari ini, ia datang membawa nama Liana dalam benaknya.

Ia memilih buku-buku dengan perlahan, seolah setiap lembar yang disentuh harus mewakili sebuah dunia yang belum pernah Liana kenal. Buku berjudul Kehidupan Manusia, Manusia Modern Mencari Jiwa, buku-buku teknologi, atlas dunia, dan beberapa novel sederhana. Semuanya bukan sekadar bacaan—melainkan jendela kecil agar gadis itu bisa mengenal dunia yang selama ini tersembunyi dari hidupnya.

Saat Johan berjalan ke arah kasir, suara hangat menyambutnya.

“Wah, akhirnya muncul juga nih manusia yang suka hilang tanpa kabar,” sapa pemilik toko itu dengan senyum lebar.

Bang Pandu—begitu Johan biasa memanggilnya—dulu pernah menjadi Wakil Wali Kota Padang. Tapi kini, ia lebih dikenal sebagai penjaga toko buku, penulis, dan pendongeng kehidupan. Sejak pensiun, ia memilih tinggal bersama sunyi di antara buku-bukunya, menulis kisah demi kisah, sambil menyambut siapa saja yang datang dengan cerita baru.

“Bang Pandu... masih tetap awet muda ya, Bang?” sapa Johan, membalas dengan senyum hangat. “Maaf ya, baru sempat mampir. Bulan lalu agak sibuk sedikit.”

“Lah, saya ini sehat ceria selalu, Jo. Malah harusnya saya yang nanya kabar kamu. Nih orang, calon manusia paling galau se-Indonesia tahun ini,” jawab Bang Pandu sambil tertawa—tawa khas yang entah kenapa selalu menenangkan.

Johan tergelak kecil. “Ah, bisa aja, Bang Pan. Eh, itu kasir baru, ya? Cantik juga tuh... Bisa kali dikenalin…”

Bang Pandu menatap Johan dengan gaya serius yang pura-pura. “Dengar baik-baik, adik Jo. Kalau cinta masih mandang fisik, suruh aja pacaran sama ikan. Ikan banyak fisiknya.”

“Sisik, Bang. Sisik,” sahut Johan sambil tertawa kecil, bahunya berguncang pelan.

Bang Pandu pun tertawa keras. “Hidup jangan terlalu serius, Jo. Nanti cepat tua.”

Tawa mereka memenuhi toko, menyatu dengan aroma kertas, tinta, dan kenangan.

---

Johan tahu, di balik gelak tawa itu, ada kesepian yang diam-diam tinggal di hati Bang Pandu. Istrinya sudah lama berpulang, dan hidup tanpa anak membuat hari-hari Bang Pandu bergantung pada buku dan pertemuan kecil seperti ini. Johan selalu hati-hati. Ia tahu, beberapa luka tak butuh nasihat—cukup ditemani.

“Tumben kamu pilih buku beginian, Jo,” ujar Bang Pandu sambil melirik tumpukan buku yang Johan bawa. “Biasanya mah filsafat berat atau novel-novel absurd itu. Sekarang atlas dunia segala. Mau ngapain? Peta dunia sudah ada di ponsel, tahu.”

Johan tersenyum. “Ini bukan buat aku, Bang Pan. Buat teman... dari pedalaman Bukit Barisan. Dia belum kenal dunia kita. Aku pengin dia lihat, pelan-pelan.”

Bang Pandu mendekat, menatap Johan dengan mata penasaran. “Ehh... ini aroma-aroma kisah baru nih.”

Johan tertawa lirih. “Nanti aku ceritain lengkap, Bang. Kisahnya menarik. Bisa jadi bahan buku abang selanjutnya. Siap-siap aja nulis lagi.”

“Wah, cocok tuh. Saya lagi buntu naskah, Jo. Siapa tahu kisahmu bisa jadi suluh.”

Johan mengangguk, lalu melangkah ke kasir. “Berapa totalnya, Mbak?”

Sebelum kasir sempat menjawab, Bang Pandu menimpali, “Eh, Mbak Nis, kasih diskon lima belas persen buat pelanggan istimewa kita ini.”

“Baik, Pak Pandu,” jawab kasir muda itu dengan senyum ramah.

Johan meletakkan buku-bukunya, tertawa kecil. “Akhirnya, setelah bertahun-tahun, dapat juga diskon di sini!”

“Totalnya delapan ratus lima puluh ribu. Setelah diskon, jadi tujuh ratus dua puluh dua ribu lima ratus,” kata Nisya, masih dengan senyumnya.

Johan membayar, lalu menggenggam kantong buku itu seperti menggenggam secuil harapan.

Sebelum pergi, ia berpamitan pada Bang Pandu. Mereka berjabat tangan erat, seperti dua sahabat yang tak butuh banyak kata.

---

Dalam perjalanan kembali ke rumah sakit, Johan sempat mampir ke toko buah-buahan dan camilan. Ia memilih dengan hati-hati—yang manis, yang segar, yang bisa membuat Liana dan Kalmi tersenyum. Karena baginya, membawakan buku saja tak cukup. Dunia yang baru harus dibuka dengan cinta dan perhatian. Dan tak ada yang lebih membahagiakan dari melihat seseorang yang sedang belajar kembali menjadi manusia... bisa tersenyum.

1
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
Mika
setelah searching, ternyata beneran ada tanaman mandragora, mana bentuk akar nya serem lagii/Toasted/
Mika
nangis aja Joo, ga usah ditahan/Cry/
Mika
anak mapala ternyata, mantan ku anak mapala juga/Chuckle/
Mika
kek hidup gua, ditinggal melulu/Sob/
Lara12
ditunggu updatenya nya/Grievance/
Mika: iyaa, padahal lagi seru serunya/Smirk/
total 1 replies
Lara12
waduhhhh/Cry/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!