Kalian pernah nggak sih suka sama sahabat kalian? Yah kali ini aku sadar kalau aku suka sama sahabat dari kecil ku. Dari umur 3 tahun hingga sekarang aku umur 23 tahun baru sadar kalau aku suka bahkan cinta sama dia. Namun bagaimana mungkin aku menyatakan perasaan ini? Kami itu sahabatan. Bagaimana aku menaruh hati dengannya/ bahkan dia juga sudah punya pacar. Pacar yang selalu dia bangga-banggakan. Aku bingung bagaimana harus mengungkapkannya!
Hai namaku Dion! Umur ku saat ini 23 tahun, aku baru saja lulus kuliah. Aku suka banget dengan kedisiplinan namun aku mendapatkan sahabat yang selalu lalai terhadap waktu dan bahkan tugasnya. Bagaimana cerita kami? Lest go
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERPUSTAKAAN BARENG VONI LAGI
Rencana Liburan dan Kesalahpahaman Kecil
Rasanya lega sekali. Ujian terakhir akhirnya selesai, dan kini waktunya aku menghabiskan waktu di tempat favoritku—perpustakaan sekolah. Tapi bukannya membaca buku atau mendalami pelajaran, hari ini aku punya misi khusus: menyusun strategi untuk mengisi waktu libur panjang.
Seperti biasanya, kalau sudah masuk masa liburan, aku akan membaca novel sebanyak mungkin. Aku dan Voni sebenarnya punya hobi yang sama, yaitu membaca buku. Namun, bedanya, aku masih menggunakan akal sehat dalam menyalurkan hobiku, tidak seperti gadis aneh itu. Voni bisa membaca buku sambil tertawa sendiri, menangis, atau bahkan berteriak histeris karena terlalu hanyut dalam ceritanya.
“Ion, nanti di perpustakaan aku mau pinjam buku komik saja, deh,” ujar Voni sambil memasukkan dompet ke dalam tasnya.
Aku hanya tersenyum menatapnya. Anak ini memang tidak pernah terlihat terbebani dengan apapun. Hidupnya terlihat sangat nyaman. Kadang, aku iri. Aku ingin merasakan hidup seperti Voni—bebas tanpa beban. Namun, aku tidak bisa berhenti memikirkan nilai-nilaiku. Sungguh, kadang rasanya aku sendiri yang membuat kepalaku penuh sesak.
Setibanya di perpustakaan, aku langsung membuka buku catatanku. Di sana aku mulai menulis jadwal kegiatan liburan. Aku ingin waktu libur ini terasa produktif dan terstruktur. Sementara itu, Voni tampak sangat antusias mencari buku-buku favoritnya. Ia mondar-mandir dari rak satu ke rak lainnya, menumpuk buku di pelukannya hingga hampir setinggi dada.
Beberapa menit berlalu, aku masih sibuk membuat daftar kegiatan seperti membaca novel-novel klasik, menulis cerpen, dan sesekali membantu Mama di toko. Saat aku sedang serius-seriusnya menulis, tiba-tiba seorang pustakawan memberiku sebuah amplop kecil berwarna krem.
Surat?
Aku membukanya dan membaca isinya. Tulisannya khas—halus, rapi, dan penuh pertimbangan.
“Aku nggak ngajak kamu bicara karena aku sudah belajar dari kesalahan aku, hehehe. Tapi, sebelumnya... boleh nggak aku duduk di sini bareng kamu?”
Nama di bagian bawah surat itu membuatku sedikit terhenyak. Reta.
Aku terkekeh kecil membaca surat itu. Gaya Reta memang khas—tenang dan penuh kehati-hatian. Ia melihatku tertawa dan ikut tersenyum dari kejauhan. Aku segera membalas suratnya, tepat di bawah tulisannya.
“Tentu saja boleh, Tuan Putri.”
Ia membacanya, tersenyum lebar, lalu menghampiriku dan duduk di seberang meja. Di depannya sudah terbuka laptop yang langsung ia nyalakan dan mulai ia ketik-ketik. Aku sempat penasaran, ingin tahu apa yang sedang ia kerjakan. Tapi kami ada di perpustakaan, dan aku enggan memulai percakapan yang akan membuat kami ditegur.
Beberapa menit kemudian, Voni datang dengan tumpukan buku yang bisa membuat siapa pun tercengang. Banyak sekali! Ia melangkah pelan dan matanya sedikit menyipit ketika melihat Reta duduk di depanku. Tatapan bingungnya sangat jelas. Namun, ia tak bertanya apa pun. Ia memilih duduk di sampingku dan langsung membuka salah satu bukunya.
Jika ada satu hal yang unik dari Voni, maka itu adalah ekspresi wajahnya saat membaca. Ia membaca komik, novel, puisi, dan jenis bacaan lainnya dengan penuh penghayatan. Kalau cerita yang dibacanya sedih, ia pasti menangis. Kalau lucu, ia bisa tertawa terbahak. Kalau romantis? Wah, siap-siap saja mendengar teriakannya.
Salah satu kalimat khasnya akan segera terdengar, “Aaaaaa, ini so sweet banget, Ion! Kapan aku dapet cowok kayak gini?!” teriaknya sambil menepuk-nepuk lenganku.
Aku hanya bisa menggeleng pelan.
Setelah cukup lama di perpustakaan, dan aku pun sudah selesai menyusun rencana liburanku, aku dan Voni sepakat untuk kembali ke kelas. Kami pun berkemas dan melangkah keluar.
Namun, belum sampai beberapa langkah, tiba-tiba Reta memanggil dan menarik lenganku pelan.
“Ion, nanti tolong bantuin aku ngerjain tugas remedial, ya?” pintanya.
Aku mengangguk. “Iya, aku pasti bantuin kamu,” jawabku ramah.
Aku sengaja tidak menjelaskan apa-apa ke Voni soal mentoring dengan Reta. Menurutku, tidak semua hal perlu ia tahu. Tapi dari tatapan Voni yang diam dan sedikit kaku, aku tahu, dia menyimpan banyak pertanyaan.
Kami kembali berjalan. Kali ini Voni benar-benar diam. Tidak ada obrolan, tidak ada lelucon receh. Hening. Tidak biasanya dia seperti ini.
“Kalau ada yang mau ditanya, silakan ditanya. Nanti aku akan klarifikasi,” ucapku padanya, mencoba membuka ruang.
Aku tidak mau gadis kecilku ini salah paham. Aku tahu dia orang yang malas berpikir terlalu dalam, apalagi soal perasaan.
Ia menoleh padaku dan berkata pelan, “Aku cuma mikir... ternyata Reta pacar kamu?”
Suaranya kecil. Seperti orang yang kecewa berat. Aku bisa merasakan ada yang bergetar di balik nada suaranya. Aku mulai bingung.
“Kenapa kamu mikir seperti itu?” tanyaku, heran.
“Karena aku hafal parfum kemarin. Parfumnya mirip banget sama yang tadi,” jawab Voni, sesimpel itu.
Astaga. Dasar cewek.
“Cuma karena itu, Von, kamu pikir kami pacaran?” tanyaku tak percaya.
“Iya, lah, Ion. Sejak kapan kamu dekat sama cewek lain selain aku? Sejak kapan kamu mau bantuin cewek lain ngerjain remedial selain aku? Dan... sejak kapan ada cewek yang berani meluk kamu sampai parfumnya nempel di baju kamu selain aku?”
Ia terdiam sejenak. “Tapi itu dulu. Sekarang ada Reta selain aku. Dan kalau Reta pacar kamu, sementara aku cuma sahabat kamu, ya pantas, kan?”
Kata-katanya membuat dadaku sesak. Aku tahu dia salah paham, tapi kalimatnya itu... menohok.
Sebelum aku menjelaskan semuanya, aku bertanya, “Dari mana kamu kenal Reta?”
Ia tersenyum kecil, sedikit sinis.
“Jangan pura-pura lupa, deh, Ion. Waktu kamu baru masuk sekolah ini, kamu itu kagum banget sama dia. Dia kan angkatan kita yang pertama kali jadi worship leader waktu kegiatan pendalaman Alkitab hari Jumat,” jelasnya.
Aku tertegun. Dan... iya, aku ingat. Reta pernah menyanyikan lagu rohani favoritku, This I Believe. Waktu itu, suaranya benar-benar menyentuh hatiku. Aku kagum padanya. Tapi kagum dan cinta itu dua hal yang sangat berbeda.
Aku menarik napas pelan, lalu berkata dengan tenang, “Aku sama Reta itu cuma mentor dan mentee. Aku dibayar untuk bantu dia belajar. Bukan pacaran. Dan soal malam itu... iya, dia sempat peluk aku karena senang nilainya naik, tapi aku juga nggak balas pelukannya.”
Voni masih terdiam.
“Nanti malam, setelah aku selesai ngajar dia, aku akan jelaskan semuanya ke kamu. Aku nggak mau ada salah paham di antara kita,” ucapku lembut sambil mengelus kepalanya.
Tanpa kami sadari, kami sudah sampai di depan kelas. Voni hanya mengangguk pelan. Matanya masih menyimpan ragu. Tapi aku tahu, dia akan percaya padaku. Karena bagaimanapun juga, dia bukan cuma sahabat. Dia adalah bagian dari hidupku yang paling jujur dan nyata.