Sang Dewi Nemesis Hukum Nolite, yang jutek harus berkelahi dengan berondong teknik yang Playboy itu. Iyuuuuh .. nggak banget!!!!!
Tapi bagaimana kalau takdir berkata lain, pertemuan dan kebersamaan keduanya yag seolah sengaja di atur oleh semesta.
"Mau lo sebenernya apa sih? Gue ini bukan pacar lo Cakra, kita udah nggak ada hubungan apa-apa!" Teriak Aluna tertahan karena mereka ada di perpustakaan.
Pria itu hanya tersenyum, menatap wajah cantik Aluna dengan lamat. Seolah mengabadikan tiap lekuk wajah, tapi helai rambut dan tarikan nafas Aluna yang terlihat sangat indah dan sayang untuk dilewatkan.
"Gue bukan pacar lo dan nggak akan pernah jadi pacar lo. Cakra!" Pekik Aluna sambil menghentakkan kakinya di lantai.
"Tapi kan waktu itu Kakak setuju mau jadi pacar aku," pria itu memasang ajah polos dengn mata berkedip imut.
"Kalau lo nggak nekat manjat tiang bendera dan nggak mau turun sebelum gue nuritin keinginan gila lo itu!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Om Hail
"Kamu, bener-ben-"
Tangan Wira terangkat naik, siap mendaratkan pukulan ke tubuh Cakra yang sudah banyak luka itu. Mata Cakra sudah terpejam pasrah menerima hantaman untuk kesekian kalinya.
Satu kerutan muncul di kening Cakra, beberapa detik berlalu tapi tidak ada yang terjadi. Perlahan Cakra membuka mata dengan hati was-was, mata pemuda itu membeliak lebar melihat seseorang yang tengan menahan tinju Wira yang hanya berjarak beberapa cm dari pelipisnya.
"O-om Hail," gumam Cakra terkejut dengan kehadiran sang paman.
Pria berusia dua puluh sembilan tahun memakai baju coverall warna biru tua dengan bau oli yang menyengat itu menatap tajam Wira lalu, menghempaskan tangan Wira dengan kasar, menendang perut pria paruh baya itu hingga jatuh tersungkur.
Hail menatap Cakra yang babak belur, napasnya tertahan sesaat. Urat di tangannya menegang, jemarinya mengepal kuat. Ini bukan pertama kalinya dia melihat keponakannya dihancurkan, tapi tetap saja dadanya terasa sesak.
"Kamu sudah kelewatan Wira! Aku akan menyeretmu ke penjara!" teriak pria itu dengan jari telunjuk yang menegang ke arah Wira yang meringis memegangi perutnya.
Wira berdecih, ia segera bangkit dan melemparkan tatapan penuh benci dan permusuhan pada pria yang sudah berani ikut campur masalahnya dengan Cakra.
"Bang**t! kau pikir aku takut, Hail. Kau hanya orang asing, kau tidak berhak ikut campur urusanku dengan dia!" tegas Wira pada adik angkat mantan istrinya.
"Orang asing ini lebih berguna, lebih bisa memanusiakan manusia daripada binatang sepertimu. Bahkan kelakuanmu ini lebih sampah dari binatang!" tukas Hail tak mau kalah, dia sudah sangat geram dengan kelakuan mantan iparnya itu.
Hail segera berlari menghampiri Cakra begitu mendapatkan laporan dari seorang pelanggannya yang mampir ke bengkel. Pria itu meninggalkan pekerjaannya begitu saja, karena Cakra lebih penting dari apapun bagi Hail.
"Tutup mulutmu Bang**t!" WIra mengambil ancang-ancang siap untuk memukul pelipis Hail, begitu pula Hail, pemuda itu sudah sangat siap adu fisik dengan Wira. Tangan Hail sudah sangat gatal ingin memberikan pelajaran pada manusia laknat itu.
"Cukup!" teriak Cakra melerai sebelum baku hantam terjadi.
Cakra berdiri diantara dua lelaki dewasa itu, ia lalu menoleh, mendelik tajam pada Wira.
"Lebih baik Anda pergi sebelum polisi datang," Wira mengerutkan kening mendengar ancaman anak kemarin sore itu.
"Kamu lapor polisi?" tanya Wira tidak percaya.
"Belum ... tapi kalau Anda masih di sini apalagi sampai menyentuh paman saya. Maka saya tidak segan untuk menelfon sekarang juga."
Cakra menunjukan ponsel yang siap untuk menghubungi pihak berwajib. Wira melengos, rahangnya mengencang menahan amarah. Telunjuk Cakra mengarah ke logo hijau, siap menggeser logo itu apa saja. Tentu saja hal itu membuat Wira kelimpungan, meski ia berusaha menyembunyikan hal itu.
"Berani sekali kamu melakukan hal seperti itu, apa kamu lupa siapa aku? Aku orang tua mu Cakra!" Tegas Wira mendesis pelan dengan amarah tertahan.
"Sudah saya katakan. Orang tua saya sudah tidak ada."
Cakra menatap lurus ke mata Wira. "Dan Anda... hanyalah orang asing bagi saya ," tukas Cakra.
Hail tertawa melihat wajah masam Wira.
"Kau dengar itu Wira, kau yang orang asing," sarkas Hail dengan puas.
"Urusan kita belum selesai, dan kau Cakra ingat pertunangan mu sudah saya tetapkan," ucap Wira sebelum melangkah pergi menghampiri mobil sedannya dan pergi meninggalkan Cakra dan Hail.
"Kamu nggak apa-apa?" Tanya Hail dengan wajah cemas.
"Aman-aman, Aka kan kuat," jawab Cakra dengan senyum khas pasta gigi.
"Bocah Edan, udah babak belur begini masih saja bisa senyum." Hail mengacak-acak rambut Cakra lalu menarik satu tangan keponakannya dan menaruh di bahu.
"Aka bisa jalan sendiri Om," ketus Cakra berusaha melepaskan tangannya yang melingkar leher Hail.
Aka kan anak kuat, pincang dikit nggak ngaruh ye kan. Mas-mas teknik tuh harus senantiasa keren, masa luka dikit doang jalannya dipapah gini, mana paten.
"Udah diem, atau gue buang ke got sekalian kalau ngga mau jalan kayak gini," ancam Hail yang membuat Cakra diam dan pasrah dipapah hail meski mukanya cemberut.
"Motor Aka gimana Om?" tanya cakra dengan nada memelas, dia tidak tega meninggalkan si hitam manis sendirian dipingggir jalan.
"Nanti biar Bimo yang ambil," tukas Hail dengan nada ketus.
Diam-diam cakra melirik laki-laki itu dengan tatapan penuh arti, dia memang hanya adik angkat sang mama tapi kasih sayang Hail sangat besar untuknya. Hanya Hail yang mau menampung Cakra setelah dia dimusuhi oleh keluarga sang Mama, dianggap anak sialan dan tidak dianggap anak oleh sang Papa.
Sejak umur 8 tahun Cakra tidak merasakan lagi yang namanya keluarga. Semua menghakimi Cakra sebagai penyebab kematian sang Mama. Safira, Mama Cakra mengalami kecelakaan bersama Cakra saat pulang dari liburan bersama berdua, Lestari meninggal dan Cakra selamat, meski harus dirawat beberapa hari di rumah sakit.
Sejak saat itu sikap Wira berubah 180 derajat pada Cakra, meski memang Cakra kurang dekat dengan sang Papa tapi Wira tidak pernah sekalipun main tangan atau membentaknya. Namun, setelah kecelakaan naas itu Cakra seolah menjadi samsak hidup bagi Wira.
Tanpa alasan yang jelas Cakra selalu mendapatkan perlakuan kasar. Sabuk kulit yang biasa Wira pakai bekerja selalu menjadi benda yang paling sering menyentuh kulit Cakra, kamar mandi adalah tempat yang paling sering ia tempati daripada kamarnya sendiri. Sudah tiga kali Cakra opname gara-gara perlakuan Wira.
Pertama setelah keluar dari rumah sakit, tepatnya setelah tujuh hari meninggalnya Lestari, Wira menyeret Cakra kecil ke kamar mandi, memukulnya dengan sikat closet dan menenggelamkan Cakra di wastafel yang sudah penuh dengan air. Beruntung waktu itu ART yang sudah lama bekerja dengan Lestari menyelamatkan Cakra. Cakra kecil kembali dirawat dirumah sakit karena demam tinggi selama seminggu.
Kejadian ke dua saat Cakra lulus sekolah dasar, Cakra yang ingin menunjukan prestasinya pada sang Papa membawa piala karena selalu juara 1 sejak kelas satu sampai lulus. Malah di cambuk dan disekap di gudang tanpa makan dan minum selama tiga hari, lagi-lagi sang ART yang menyelamatkan Cakra saat Wira pergi ke kantor.
Puncaknya, saat SMP Cakra dihajar habis-habisan dan dikurung selama lima hari di kamar mandi dengan tubuh yang sudah babak belur. Semua itu Wira lakukan karena marah, Cakra sudah lancang masuk ke kamarnya. Saat itu Hail-lah yang menemukan Cakra, karena ART yang menyayangi Cakra sudah di pecat setelah menolong Cakra saat digudang. Sejak kejadian itu Hail membawa Cakra tinggal bersamanya dan menjadi wali Cakra. Dan Wira tentu saja dia dengan senang hati melepaskan Cakra, dan malah menyuruh Cakra untuk menghapus nama belakangnya.
Cakra tersenyum getir mengingat semua kenangan pahit itu, hebat sekalian Cakra kecil bisa bertahan sejauh ini.
"Ngapain senyum-senyum, tak kamu geser gara-gara pukulan tadi?" Cakra mendengus kesal mendengar ucapan ngawur Om gantengnya, eh nggak ding tetep gantengan Aka. Aka, lebih kiyut kalau Om Hail kan udah mulai bau tanah.
"Masa ganteng, kiyut imut gini dikatain geser sih Om, tega amat," ketus cakra.
"Kalau nggak geser kenapa tiba-tiba senyum nggak jelas kayak gitu, matahari masih terang kayak gini nggak mungkin kamu kesurupan."
"Om, mah gitu sama ponakan sendiri, tega."
"Kalau tega nggak mungkin aku dateng lari-lari ke sini ninggalin bengkel yang lagi rame," sarkas Hail tidak terima.
"YAELAH. Jadi Om pamrih nih nolongin Aka aja pake hitung-hitungan.”
"Sak karepmu Ka,"tukas Hail dengan menggeleng cepat.
Cakra tertawa tapi kemudian mendesis merasakan ngilu di ujung bibirnya yang masih berdarah.
"Makasih ya Om, Om Hail baik deh jadi pengen cium," goda Cakra yang langsung mendapatkan delikan tajam dari pria bermbut pirang itu.
"Najis, amit-amit. Beneran geser otak kamu Ka," ujar Hail dengan wajah jijik pada Cakra yang tertawa.
Kurang dari sepuluh menit mereka berjalan,keduanya pun sampai di Flashline. Hail langsung menyuruh Cakra bersih-bersih dan makan. Cakra menurut meski awalnya debat panjang dulu karena Cakra kekeh mau bantu benerin mobil.
ini juga kenapa pada Ngeliatin Aluna kaya coba.
apalagi dia yang setatusnya sebagai orang tua Cakra. kenapa gak di laporin aja kepolisi si.
Nyatanya mau Cakra tw Om Hail pun sama² keras kepala dalam mempertahankan rasa cinta mereka buat seseorang yg spesial di hati mereka,,,
Apa ini??bakalan ada Drama apalagi yg akan Luna liat???
padahal anak gak tau apa", masa ibunya kecelakaan dan meninggal kesalahan nya harus di tanggung sang anak sampai dewasa?? emang kecelakaan itu disengaja?? salut sama Cakra yg bisa kuat menjalani kehidupan yg keras tanpa kasih sayang orang tua..
padahal anak ny Cakra tapi lebih pro ke Miranda, pasti perkara uang lagi 😒😒