Seorang gadis cantik bernama hanabi, atau sering di panggil dengan panggilan hana itu. Ia selalu mengandalkan AI untuk segala hal—dari tugas kuliah hingga keputusan hidup nya. Cara berpikir nya yang sedikit lambat di banding dengan manusia normal, membuat nya harus bergantung dengan teknologi buatan.
Di sisi lain, AI tampan bernama ren, yang di ciptakan oleh ayah hana, merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Namun, hidup Hana berubah drastis ketika tragedi menimpa keluarganya. Dalam kesedihannya, ia mengucapkan permintaan putus asa: “Andai saja kau bisa menjadi nyata...”
Keesokan paginya, Ren muncul di dunia nyata—bukan lagi sekadar program di layar, tetapi seorang pria sejati dengan tubuh manusia. Namun, keajaiban ini membawa konsekuensi besar. Dunia digital dan dunia nyata mulai terguncang, dan Hana harus menghadapi kenyataan mengejutkan tentang siapa Ren sebenarnya.
Apakah cinta bisa bertahan ketika batas antara teknologi dan takdir mulai meng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asteria_glory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali ke dunia nyata
Langit sore itu mendung. Awan abu-abu menggantung rendah, seolah ikut merasakan berat yang kini menekan dada Ren. Suara detak jam terdengar jelas di setiap sudut ruangan. Hening. Terlalu hening.
Ren duduk di tepi ranjang, tangannya terkulai di sisi tubuhnya. Pandangannya kosong, menatap selimut yang masih terlipat rapi. Tak ada lagi sosok gadis yang biasanya duduk di ujung ranjang sambil bercerita, tertawa, atau sekadar mengoceh hal-hal sepele. Tak ada lagi suara yang memanggil namanya dengan ceria. Tak ada lagi Hana.
Ia menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang sejak tadi berdesak-desakan di dadanya. Namun usahanya sia-sia. Setetes air mata jatuh membasahi pipinya.
"Hana..."
Hanya nama itu yang sanggup keluar dari mulutnya. Suaranya serak, pecah, menyisakan kehampaan yang tak terlukiskan. Ia memeluk lututnya, membenamkan wajah ke dalamnya, dan untuk pertama kalinya sejak lama, Ren menangis tanpa suara.
Waktu seolah melambat. Semua kenangan muncul bergantian dalam benaknya. Tawa Hana. Tatapan jahilnya. Senyum hangat yang selalu mampu meredakan amarah. Tangis yang kadang membuat Ren ingin memeluknya lebih lama. Semua itu, kini hanya tinggal potongan memori. Bukan lagi kenyataan.
Ren berdiri perlahan, langkahnya berat menuju ruang kerja tempat ayah Hana berada. Ia tidak mengetuk pintu. Hanya mendorong perlahan, lalu berdiri di ambang.
Ayah Hana duduk mematung di depan layar. Tangannya gemetar, dan bola matanya tampak sembab.
"Apa... masih bisa dihubungkan ulang?" tanya Ren dengan suara nyaris tak terdengar.
Ayah Hana menggeleng. "Sistemnya... sudah terlalu rapuh. Setiap fragmen data yang ada kini saling bertabrakan. Jika kita paksa hidupkan lagi, Hana bisa kehilangan semua kesadarannya. Bahkan... bisa hilang selamanya."
Ren mengepalkan tangannya. "Tapi dia sudah hilang!"
"Tidak, Ren. Hana tetap ada di sini..." Ayahnya menyentuh dada Ren perlahan. "Di hatimu."
Ucapan klise itu tak mampu meredakan sesak yang menggumpal di dada Ren. Ia berbalik, melangkah keluar tanpa sepatah kata pun. Dadanya terasa sesak, pikirannya kusut.
Malam itu, Ren duduk sendiri di taman belakang. Angin malam meniup lembut rambutnya. Di pangkuannya, ia meletakkan sebuah buku catatan kecil—milik Hana. Ia membukanya perlahan, membaca tulisan-tulisan Hana yang ceroboh namun penuh semangat.
"Aku ingin menikah dengan Ren... Kalau bisa, cepat. Sebelum dia sadar kalau aku ini menyebalkan," tulis Hana di salah satu halamannya.
Ren tersenyum miris. Matanya memerah.
"Kau memang menyebalkan, Hana... tapi aku tetap mencintaimu."
Ia menatap bintang-bintang yang kini bermunculan di langit. Kilau kecil itu mengingatkannya pada mata Hana yang selalu bersinar saat berbicara tentang masa depan.
"Aku janji, Hana. Aku akan menjaga kenanganmu... dengan caraku sendiri."
---------
Udara dingin menyambut pagi di pusat penelitian bawah tanah, tempat segala kenyataan dan harapan dikaburkan oleh kecanggihan teknologi. Di balik deretan tabung kaca berukuran besar, dua tubuh tampak tertidur lelap—satu di antaranya mulai menggeliat pelan. Kelopak matanya bergerak, lalu perlahan terbuka. Tatapan kosong itu perlahan menangkap cahaya remang yang menyusup dari sela-sela panel atap laboratorium.
Ren terbatuk pelan. Telinganya masih berdengung, seolah menolak menerima kembali hiruk pikuk dunia nyata. Tubuhnya terasa berat, namun yang terasa lebih berat dari segalanya adalah dadanya—penuh, sesak, dan seperti dihantam beribu beban.
“Hana…” bisiknya, nyaris tak terdengar. Suaranya parau, matanya berkaca-kaca saat ia berusaha menegakkan tubuhnya di dalam tabung kaca yang kini mulai terbuka perlahan dengan dengungan pelan.
Beberapa ilmuwan yang berjaga langsung menghampiri, disusul sepasang suami istri yang segera menghampiri Ren yang baru saja terbangun dari tidur panjang nya. Wajah wanita itu sembab, matanya memerah, dan tangan prianya bergetar kala menyentuh lengan putra mereka.
“Ren… Nak, kau akhirnya bangun,” suara ibunya terdengar lirih, namun penuh haru.
Ren hanya menatap kosong, bibirnya bergetar menahan emosi yang tak mampu ia bendung. “Hana… Dia tak ikut kembali, kan?” Suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup jelas untuk membuat semua yang ada di ruangan itu terdiam.
Tak ada satu pun yang berani menjawab. Mereka hanya menatapnya dengan tatapan penuh iba—sebuah isyarat diam yang lebih menyakitkan daripada sekadar kata “tidak.”
Ren menggenggam sisi tabung dengan kuat, berusaha menahan tubuhnya agar tak ambruk karena lemas. Ia menoleh ke samping, tempat di mana tubuh Ayah Hana masih terbaring tak sadar. Napasnya masih stabil, namun belum menunjukkan tanda-tanda akan terbangun.
Ia menatap pria paruh baya itu lama, sebelum akhirnya menunduk dan membenamkan wajahnya ke lututnya sendiri. Tak ada isakan, hanya satu tetes air mata yang jatuh diam-diam dan menghantam lantai dingin laboratorium.
“Aku... gagal lagi,” bisiknya. “Aku sudah berjanji tak akan kehilangan dia lagi. Tapi aku malah kembali dengan tangan kosong... lagi.”
Ayah Ren menepuk punggungnya dengan lembut. “Kau sudah berjuang sekuat tenaga, Ren. Kau bahkan melakukan hal yang mustahil bagi sebagian orang. Ini bukan salahmu.”
Ren tidak menjawab. Ia hanya menggertakkan giginya pelan, berusaha menahan emosi yang hendak meledak dalam diam. Ia teringat pelukan terakhir Hana, senyum hangat di bawah sinar matahari pagi itu, dan bagaimana tubuh gadis itu perlahan menghilang dari pelukannya.
“Tubuhnya bahkan tidak ada…” gumam Ren. “Aku bahkan tak bisa memberinya tempat untuk beristirahat. Tak ada jasad. Tak ada perpisahan. Hanya... kenangan.”
Ia mengangkat kepalanya perlahan, menatap langit-langit putih dengan sorot mata kosong. Seolah mencari jawaban pada sesuatu yang tak bisa ia lihat. “Berapa kali lagi harus seperti ini? Berapa kali harus kembali dengan kekosongan yang lebih besar dari sebelumnya?”
Seorang ilmuwan yang berdiri di dekat konsol mengalihkan pandangannya, tak sanggup menahan air mata yang mulai menggenang di matanya sendiri. Semua yang ada di ruangan itu tahu, proyek ini bukan sekadar penyelamatan, tapi perjuangan terakhir seorang anak dan tunangan untuk merebut kembali orang yang mereka cintai dari kehampaan.
Ren dikeluarkan dari tabung dan dibawa ke ruang perawatan. Tubuhnya dipasangi alat pemantau kesehatan, infus menetes pelan ke pembuluh darahnya. Teknologi canggih menopang vitalnya, namun tak ada satu pun mesin yang bisa menyentuh luka batin di dadanya.
Di lorong rumah sakit bawah tanah itu, ia menatap kosong ke arah jendela kecil di dinding. Di luar hanya dinding lain yang menutupi dunia. Dunia nyata—tanpa Hana.
Ia mengepalkan tangan. Rasa sakit, marah, kehilangan, dan kecewa menjadi satu dalam dada. Namun yang paling membuatnya ingin berteriak adalah... perasaan tak berdaya.
Beberapa jam kemudian, dokter memeriksa data hasil pemulihan. "Kondisi Ren stabil, namun gelombang emosionalnya sangat tinggi. Kita harus berhati-hati. Dia bisa mengalami trauma permanen bila ini terus berlanjut."
Namun Ren tidak mendengarkan. Ia hanya ingin tahu satu hal: kapan Ayah Hana akan bangun. Ia ingin mendengar langsung dari pria itu—apakah benar tak ada lagi kesempatan, ataukah masih ada satu celah harapan yang bisa ia kejar.
Di ruang pemulihan lain, Ayah Hana masih tak sadarkan diri. Wajahnya pucat, dan selang oksigen menyambung ke hidungnya. Ren mendekatinya perlahan. Duduk di kursi samping ranjang itu, ia menatap pria yang sudah seperti ayah sendiri baginya.
“Maaf, ayah…” ucapnya pelan. “Aku sudah gagal. Lagi-lagi aku gagal membawa Hana kembali.”
Ia tertunduk, dan kali ini membiarkan air matanya jatuh tanpa tertahan.
Waktu berlalu dalam keheningan yang menyiksa. Hanya suara mesin dan detak jam dinding yang terdengar. Ren tak peduli. Dunia luar tak penting lagi baginya. Dunia Hana sudah runtuh… dan ia belum siap membangun dunia barunya.
Namun jauh di dalam lubuk hati, ia tahu, perjuangan belum selesai. Bukan karena ia yakin bisa mengembalikan Hana sepenuhnya… tapi karena ia ingin Hana tahu bahwa ia tak akan pernah menyerah.
cara narasi kamu dll nya aku suka banget. dan kayaknya Ndak ada celah buat ngoreksi sih /Facepalm/
semangat ya.
Adegan romantis nya itu loh, bkin skskskskskkssksks.