"Yang kalian lakukan salah."
Baik Meyra maupun Fero tidak mempedulikan apa yang mereka lakukan itu salah atau benar. Yang mereka tau ialah mereka senang dan puas karena melakukan hal yang mereka inginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aalgy Sabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
My Family
◻️◻️◻️
Rumah sederhana terpampang jelas di depan matanya. Di halaman rumah dipenuhi dengan macam-macam bunga, warna-warni bunga meningkatkan kesan hidup pada rumah itu. Namun tak dapat dipungkiri tak adanya kehidupan di sana tak bisa ditutupi dengan semua keindahan itu.
"Ini rumah Nenek gue, kalau yang itu rumah Icha, " ucap Mayra sambil menunjuk rumah yang tepat berada di sebelah rumah Neneknya.
Fero memasukkan motornya setelah Mayra membuka gerbang yang digembok.
"Gue ngajak lo ke sini mau nunjukin sesuatu ya, bukan buat ngajak lo aneh-aneh. Jangan mikir terlalu jauh oke?"
Fero mengernyitkan dahinya. "Nggak tuh, gue gak mikir ke sana. Otak lo aja yang ngeres," ucapnya sambil menyentil pelan kening Mayra.
Mayra menyentuh keningnya yang disentil Fero. "Ya kali kan, biasanya cowok kan kayak gitu."
"Gue nggak."
"Terserah lo."
Mayra memimpin jalan di depan. Ia merogoh sakunya begitu berada di depan pintu utama. Ia mencari kunci rumah ini. Tak butuh waktu lama kunci berhasil ditemukannya. Tanpa basa basi ia membuka pintu dan mempersilahkan Fero masuk—mengiringnya ke ruang keluarga.
"Kalau lo mau minum ambil aja di kulkas, gue mau ganti baju dulu bentar."
Keheningan menyelimuti Fero begitu Mayra masuk ke kamarnya yang ada di lantai dua. Mengamati rumah ini pun menjadi pilihan Fero untuk menunggu Mayra selesai dengan urusannya.
Satu pertanyaan bercokol di kepalanya, saat tadi Mayra bilang bahwa ini rumah Neneknya. Kenapa Mayra tak tinggal saja di rumah ini? Padahal rumah layak huni, tak seperti rumah kebanyakan yang ditinggal dan akhirnya terbengkalai. Namun rumah ini seolah dijaga dalam semua aspeknya. Misalnya saja cat temboknya, masih terlihat segar atau mungkin memang baru dicat? Lalu kebersihannya, yang Fero lihat tak ada setitik debu pun di rumah ini. Padahal sedari tadi hanya ada dirinya dan Mayra di rumah ini yang mana menunjukkan bahwa di rumah ini memang tak ada siapapun yang menghuni. Setahunya juga Mayra lebih sering pulang ke apartemen Varidza daripada ke sini ataupun rumah Ayahnya.
Di ruang keluarga ini juga Fero dapat melihat betapa hangatnya hubungan Mayra dan Neneknya, mungkin—Fero dapat melihatnya lewat foto yang banyak terpajang di dinding. Kebahagiaan dari setiap foto yang dipajang tak bisa ditampik, semuanya natural. Tapi anehnya hanya ada foto Mayra, Neneknya, serta satu orang lagi yang Fero duga sebagai Kakaknya Mayra—kenapa tak ada foto lainnya?
"Lo udah ngambil minum?" suara Mayra memecah pikirannya.
Fero menggeleng, "Gue gak tau dimana dapurnya."
Mayra menepuk keningnya. "Gue lupa gak kasih tau dimana dapurnya," ucapnya sambil cengengesan.
Mayra saat ini sudah mengenakan pakaian santai berupa sweater oversize berwarna army dengan bawahan berupa celana kain sepaha, meskipun sederhana Fero tetap saja terpesona.
"Lo mau minum apa?"
"Apa aja."
"Kebetulan kalau gak salah di dapur ada mangga, gue bikinin jus mangga lo mau gak?"
Fero mengangguk.
Setelah kepergian Mayra ke dapur, Fero kembali mengamati ruangan ini. Matanya terpaku pada foto seorang gadis kecil dengan rambut Acak-acakan yang sedang menangis. Dapat dipastikan kalau anak kecil itu adalah Mayra, Fero tanpa sadar tersenyum kecil melihatnya. Lucu.
"BULE!"
Fero terlonjak kaget saat Mayra berteriak memanggilnya dari dapur. Segera saja ia menyusul Mayra ke dapur, walaupun ia tak tahu dapurnya di mana. Tapi tadi ia melihat Mayra berbelok ke arah dekat tangga, jadi ia ke sana saja.
Ternyata benar.
Di sana ada Mayra dengan tangan yang berusaha menggapai sebuah toples di rak yang terbilang tinggi.
Seolah merasakan kehidupan lain di sekitarnya Mayra menoleh ke arah Fero. "Bantuin gue ambilin gula."
Mayra menyingkir dan membiarkan Fero mengambilkan gula untuknya.
"Perasaan gue udah tinggi deh, kenapa tetep susah ngambil gula," gerutunya kesal.
Memang, Mayra mempunyai tinggi yang bisa dibilang di atas rata-rata para wanita. Namun bila dibandingkan dengan Fero, tetap saja masih lebih tinggi Fero dengannya.
"Nih," ucap Fero datar sambil menyodorkan setoples gula.
"Thanks."
Fero tak menjawab dan memilih duduk di depan pantry berhadapan dengan Mayra.
Mayra memasukkan mangga yang telah dipotong-potongnya ke dalam blender disertai air, gula, dan susu secukupnya.
Dirasa semuanya sudah tercampur, Mayra segera mematikan blender dan menuangkan jus mangga itu ke dalam gelas yang telah diambil tadi. Lalu disodorkannya pada Fero.
"Kenapa lo gak tinggal di sini aja?" Fero mengutarakan apa yang ada dalam benaknya sejak tadi.
"Di sini terlalu sepi, mungkin gue ada temen sama Icha, tapi tetep aja gue gak nyaman. Rumah ini terlalu gede buat gue yang sendirian. Kenapa gue suka nebeng di apartemennya Idza, karena di sana gak seluas rumah ini. Ditambah kadang Idza, atau Icha lebih sering nginep di sana."
Mayra mengambil napas,"Lo juga pasti heran kenapa rumah ini bisa bersih banget. Karena Ayah selalu ngirim tukang bersih-bersih, terus kalau malem suka ada yang ngejaga."
Fero mengangguk paham. Ini lah hal yang dia suka dari Mayra—hanya satu pertanyaan yang ia berikan tapi Mayra menjawab semua dengan jelas. Sehingga ia tak perlu lagi bertanya, karena memang ia tak suka banyak bertanya. Walaupun kadang Mayra suka bertele-tele dalam beberapa hal, tapi dia bisa menempatkannya dengan baik.
"Lo ngajak gue ke sini mau apa?"
◻️◻️◻️
"Bunda, Oma ... Mayra punya temen baru lagi, namanya Fero. Dia ganteng bule lagi, ternyata dia anaknya temen Bunda lho. Namanya Iren, kata mommynya Fero dulu kalian sahabatan pas kuliah. Dia orangnya baik, terus Daddy-nya Fero juga katanya dulu mantannya bunda. Dunia ini memang selucu itu ya Bunda .... "
Fero tidak tahu harus berbuat apa. Mayra sedari tadi mengobrol dengan dua nisan—yang ia tahu merupakan nisan Bunda dan Neneknya Mayra.
Tadi setelah ia dan Mayra berbincang di dapur sambil menikmati jus mangga, Mayra mengajaknya ke belakang rumah ini. Di sana merupakan tempat peristirahatan terakhir keluarga Mayra. Dari penglihatannya pemakaman ini merupakan pemakaman yang memang diperuntukkan bagi keluarga Mayra secara turun temurun—seperti yang pernah dikatakannya dulu.
"Bunda ... Sekarang temen Mayra nambah jadi tiga. Yang pertama Icha, kedua Idza, ketiga Fero. Nanti nambah siapa lagi ya Oma, Bunda ... Kalau Mayra dapet temen lagi nanti Mayra kasih tau lagi ya. Kalau gitu Mayra pamit, Fero kayaknya takut deh Bun dari tadi diem mulu," ucap Mayra sambil terkekeh dan segera menarik Fero agar pergi dari sana.
Fero hanya mampu mengikuti setiap langkah Mayra yang menariknya begitu saja dari sana.
Kenapa Mayra membawa Fero ke makam Bunda dan Oma-nya? Karena Mayra sudah menganggap Fero sebagaimana ia menganggap Icha dan Idza. Jujur saja hampir setiap seminggu sekali ia sering ke makam mereka, sebab di sana ia merasa tenang. Dengan menceritakan keluh kesahnya kepada Bunda atau Oma-nya ia selalu merasa lebih lega.
"Kenapa lo diem mulu di sana? Lo takut ya?" tanya Mayra sambil menunjuk wajah Fero dengan muka menyebalkan.
Fero mendelik pada Mayra. Mereka kini kembali berada di ruang keluarga dengan tv menyala, agar tak terlalu hening. "Gue cuma ..."
Mayra mendekat pada Fero, ia yang tadinya duduk di ujung sofa berpindah ke tengah sofa—tempat pria bule itu berada—dengan posisi duduk bersila. "Cuma apa?"
Fero menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali, "Gue bingung harus apa."
Mayra terdiam lama sambil memandangi Fero.
"Lo tuh terlalu kaku jadi cowok," ucap Mayra sambil mengamati dengan baik wajah Fero.
Fero diam.
"Btw, thanks lo udah nemenin gue ke rumah Bunda sama Oma."
"It's ok."
Mungkin di wajahnya Fero hanya menampakkan wajah biasa saja, tapi di dalam hatinya ada setitik rasa senang saat tahu kalau ialah satu-satunya pria yang diajak Mayra ke makam keluarganya. Hingga tak terasa Fero tersenyum ganteng.
◻️◻️◻️