NovelToon NovelToon
KSATRIA BHUMI MAJAPAHIT: Ajian Sapu Jagad

KSATRIA BHUMI MAJAPAHIT: Ajian Sapu Jagad

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Petualangan / Fantasi Timur
Popularitas:1.1M
Nilai: 4.6
Nama Author: Agus Amir Riyanto

Karna, seorang pemuda sebatang kara yang dipungut sejak masih bayi oleh Mpu Angalas pada masa kerajaan Majapahit. Karna kemudian dididik berbagai ilmu kesaktian yang mengambil inti sifat Alam, yaitu Tirta Gumulung (Air), Tapak Dahana (Api ), dan Bayu Bajra (Angin). Di samping itu, Karna yang kemudian dikenal sebagai Ksatria Angker mendapat anugerah ilmu dari Alam Semesta yang merangkum semua sifat alam dalam ajian Sapu Jagad yang bersifat Langit dan Bumi. Ilmu inilah yang harus disempurnakan oleh Ksatria Angker dalam setiap petualangan dan pertempuran.
Setelah dinyatakan lulus belajar ilmu kerohanian dan bela diri oleh gurunya, Ksatria Angker berangkat ke Kota Raja Majapahit. Di sana ia bertemu dengan Mahapatih Gajah Mada dan direkrut sebagai Telik Sandi ( mata-mata) yang bertugas melawan musuh-musuh Negara yang sakti secara pribadi untuk mewujudkan impian Gajah Mada mempersatukan Nusantara.
Novel fantasi dunia persilatan ini bukan hanya bercerita tentang perkelahian dan jurus2 yang mencengangkan, namun juga ada intrik politik masa silam, strategi tugas mata-mata, juga dilengkapi dengan berbagai latar belakang sejarah, istilah-istilah Jawa Kuno yang diterjemahkan, serta penggambaran cara hidup masa lalu yang diharapkan mampu membuat pembaca ikut tenggelam ke alam pikiran pada masa Majapahit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agus Amir Riyanto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

21 TIPU DAYA DI SAAT TITI YONI

Beberapa waktu setelah tengah malam terlampaui, Bumi berputar pada porosnya sambil mengitari Matahari sang sumber cahaya. Saat itulah hari sudah terlampaui, titik puncak sudah terlewati. Malam sebenarnya sudah pergi, namun pagi belum datang sebab sang Surya belum memancarkan sinar matanya, dan kegelapan masih menguasai. Itulah saatnya Lingsir Wengi ( dini hari), di mana para gaib yang kasar sedang aktif-aktifnya bergerak, ditandai dengan gerak udara yang kian melambat.

Gagak Bayan menyabarkan diri untuk tidak masuk terlebih dulu mengganggu Jaka Wingit dan Larasati yang ia perkirakan sedang panas-panasnya terbakar hasrat dan cengkraman alkohol. Gagak menunggu sekitar sepenanak nasi lagi, saat datangnya Titi Yoni ( Pertemuan Waktu dengan Kewanitaan), yang jatuh di antara dini hari dan fajar saat ayam jantan berkokok pertama kali.

Titi Yoni adalah waktu Bumi yang paling tepat bila seorang suami ingin menggauli isterinya untuk menciptakan keturunan terpuji atau sekedar bersenang-senang, sebab pada saat itu sang Kala yang melawat Bumi sedang dalam masa kosong, di mana malam telah terlewat, namun pagi belum tiba. Sehingga, gua kewanitaan yang pada dasarnya ruang hampa dapat menyerap sempurna semua daya lelaki yang memasukinya. Maka, dikala Titi Yoni ini, segenap aura keindahan wanita terpancar, demikian pula lobang kekuatan sekaligus kelemahannya terbuka, sehingga perlu waspada bila ada daya pengasihan tak diinginkan yang menerobos dengan maksud mencengkeram hatinya.

Di samping pengaruhnya yang kuat dalam hal olah asmara, kedatanganTiti Yoni sempurna yang ditandai suasana syahdu oleh kabut sejuk mengandung embun dan jedanya laju angin, Titi Yoni juga berarti kuatnya sahut menyahut perkasanya Bapa Angkasa dan lembutnya Ibu Bumi, supranaturalnya Alam dan spiritualnya makhluk bernama Manusia, sehingga inilah saat tertepat untuk menjalin komunikasi Jagad Besar dengan Jagad Kecil, berkhidmat dalam sembah kepada Sang Hyang Tak Terkira, sembahyang dan meditasi. Di waktu itu langit meruntuhkan rintik rinai Wahyu, Ilham dan Wangsit. Di saat itu juga setiap pengetahuan dan ilmu dapat terteguk untuk diserap oleh akal Budhi dan prakerti.

Saat Titi Yoni tiba Gagak Bayan menduga Karna si Jaka Wingit sedang terlena jatuh di pelukan daya serap goa kenikmatan Larasati dan akal nalarnya sudah tercerabut oleh kekuatan alkohol dari tuak pilihan. Saat itulah ia akan mengorek keterangan tentang intisari rahasia ajian Bayu Bajra yang ia idam-idamkan.

Dengan senyum penuh jebakan, Gagak Bayan meninggalkan pelataran Wisma yang sudah dipenuhi oleh orang mabuk pelaku pesta bersama hingar bingar sensualitas para ledhek yang masih menggeliat di antara para lelaki hidung belang. Kepergian Gagak Bayan tidak disadari oleh seorangpun yang masing-masing sibuk dengan kesenangannya, baik berjoget maupun bermain dadu. Langkahnya mantap memasuki Wisma Gagak Nagara dengan dipenuhi rencana tunggal melalui Pendapa, Pringgitan ( ruang tamu keluarga atau ruang hiburan untuk pertunjukan wayang), Emperan ( teras), menuju Dalem ( rumah utama) tempat Jaka Wingit dan Larasati sedang bercengkrama.

***

Dugaan Gagak Bayan separuh benar, namun separuhnya justru salah sama sekali. Meski sempat tergoda sebagai laki-laki normal, namun Karna bukan orang bodoh. Ia hanya tanpa pengalaman dan perlu belajar saja, namun tingkat kesadarannya di atas rata-rata orang awam. Karna telah mendapatkan bekal kerohanian tingkat tinggi dari Mpu Angalas yang sekelas Begawan, dan praktek meditasi rutin. Pengenalan dan pengendalian dirinya cukup tangguh. Ketika waktu berjalan dan gejolak-gejolak biologis berkecamuk terlalu besar, kesadarannya segera mengenali untuk mengendalikannya. Apalagi memasuki masa Titi Yoni, Karna sudah terbiasa menggunakannya sebagai waktu meditasi harian.

Bukannya Karna yang terkapar jatuh dalam pelukan Larasati, tetapi Larasati yang justru hangus terbakar napsu. Hasratnya membuncah melampaui ubun-ubun, sedang dalam diri Karna justru alarm alami yang sudah terpasang di rutinitasnya sedang berbunyi. Jam biologisnya secara otomatis mengatakan ini adalah saatnya ia meditasi.

Karna memegang pergelangan tangan Larasati yang sedangmengusap-usap dadanya. Menurunkan perlahan agar melepaskan pelukannya.

" Kangmas Wingit mau ke mana?' sergah Larasati merasa Karna melepaskan diri dari pelukannya.

' Tidak ke mana-mana, " sahut Karna. " Hanya saja, kurasa ini sudah cukup, Nimas."

" Kalau tidak ke mana-mana, mengapa tanganku Kangmas singkirkan?"

" Sudah waktunya Nimas tidur."

" Saya belum ngantuk, Kangmas. Saya masih ingin bersama Kangmas. Sampai pagiiiii.... sampai besok. Dan besoknya lagi. Dan lagiiii, " Larasati merajuk manja. " Lagipula Kangmas sudah banyak minum tuak, untuk apa bangun? Tidurlah, berbaring di sini. Biar saya pijiit-pijit."

Larasati yang sudah terbakar birahi dan alkohol tidak berhenti hanya dengan merajuk. Ia sudah lupa diri dan nekat menubruk Karna untuk menciuminya. Namun Karna yang kewaspadaannya selalu bangkit di Titi Yoni, tidak tergoyah kesadarannya. Meski pengaruh alkohol sangat kuat mencengkram otaknya, kepekaan Karna merasa ada pergerakan napsu yang berlebihan.

Karna bangkit dari pembaringan. Begitu ia berdiri, terasa pengaruh tuak naik ke kepalanya. Ada sedikit goyangan di lutut. Dengan cepat Karna menarik napas dan menekannya di perut. Seketika cakra energinya berputar aktif untuk memulihkan diri. Cukup sekejap, pengaruh alkohol itu lenyap ditelan putaran hawa tenaga murni Karna. Ia kembali bugar. Sementara Larasati menubruk dada Karna, mengulangi usahanya untuk menahan Karna.

" Jangan tinggalkan saya, Kangmas. Mengapa tiba-tiba Kangmas menjauh lagi dariku? Apa salahku?"

Kembali Larasati memainkan perasaannya dengan meneteskan air mata. Kali ini tangisan Larasati tidak pura-pura. Ia benar-benar ingin bersama Karna. Larasati jatuh cinta pada Karna dan takut ditinggalkan begitu saja.

Namun Karna sudah tidak terpancing lagi. Meski berat rasanya melihat Larasati menangis, ia tidak bisa membiarkan diri terlarut pada gejolak hasrat yang bisa membuat pengendalian dirinya porak poranda. Segala hal tentang kesadaran dan pengendalian diri telah ditanamkan oleh Mpu Angalas sejak masih kanak-kanak. Ia akan merasa berdosa pada gurunya jika sampai kalah menghadapi situasi ini.

" Nimas, tidurlah. Istirahatkan tubuhmu, damaikan pikiranmu," ujar Karna sambil menatap tajam langsung ke mata Larasati yang sedang menengadahkan wajahnya berusaha menjangkau bibir Karna untuk dicium.

Tatapan Karna yang tajam dan penuh tenaga menerjang kesadaran Larasati. Sejenak ia terkesiap dan menghentikan gerak cumbuannya.

Mereka berdua mematung. Perlahan Karna mendorong bahu Larasati agar melepaskan pelukannya. Larasati yang masih bengong oleh pengaruh perbawa tenaga murni membiarkan Karna menjauhkan tubuhnya.

Namun, perasaan cinta Larasati yang juga sedang menguat datang menguasai lagi, " Apa saya salah kalau saya merasa ingin selalu dekat denganmu, Kangmas?"

Karna tersenyum datar, " Tidak ada yang salah dengan perasaan. Karena perasaan adalah perangkat manusia dalam menjalani kehidupan. Dan tidak ada seorangpun mampu melarang atau mengatur perasaan orang lain. Tapi, perasaan bisa menjadi salah atau benar bila penggunaanya tidak tepat. Misalnya, siapa yang bisa melarang atau mengatur seorang laki-laki tiba-tiba mencintai istri tetangganya? Tidak ada yang bisa melarang karena perasaan itu tanpa bentuk, warna, atau aroma. Jadi tak ada seorangpun mampu melihat untuk melarangnya. Namun akan bisa menjadi salah, bila laki-laki itu berusaha mewujudkan perasaannya. Dengan merayu istri tetangganya itu, memperkosa, apalagi menculik dan membunuh tetangganya. Itu baru salah, itu kejahatan."

Larasati termangu. Baru beberapa saat lalu ia melihat Jaka Wingit sebagai pemuda yang sangat lugu sehingga ia mengira akan sangat mudah memperdayanya. Namun, di saat genting ketika harusnya mereka telah jatuh ke puncak permainan asmara, tiba-tiba Jaka Wingit menunjukkan bukti bahwa keluguan dan niat baik tidak sama dengan kebodohan. Jaka Wingit mendadak bisa menjawab pertanyaan dengan tepat. Semua kata yang keluar dari 'orang hutan' ini sangat masuk akal seperti ucapan orang yang telah memahami banyak sekali hal kehidupan. Larasati tidak mampu menyangkal kebenaran jawaban Jaka Wingit. Hatinya semakin segan, namun di sisi lain, hatinya juga semakin cinta.

Larasati dimakan dilema. Di satu sisi ia merasa Jaka Wingit terlalu tinggi untuk dimiliki, namun ia tak rela melepaskan begitu saja. Bahkan terbersit pikiran gila yang penting ia bisa tidur dengan Jaka Wingit tanpa menuntut status apapun. Larasati ingin mengandung dan memelihara anak Jaka Wingit.

" Saya bukan istri siapapun, demikian juga Kangmas belum beristri. Tidak jadi masalah kan kalau saya ingin membuat Kangmas senang?"

Karna tersenyum teduh karena ucapan yang akan keluar mungkin akan menyentil kesadaran Larasati, " Sebenarnya kata-kata Nimas benar, tetapi kurang pener, kurang tepat. Membuat saya senang atau membuat Nimas yang senang karena keinginan Nimas terpenuhi? Coba Nimas lebih terus terang pada maksud hati dan tidak terbiasa menyelubungi maksud hati sesungguhnya dengan kata-kata."

Larasati terhenyak dengan jawaban Karna kali ini. Maksud yang ia sembunyikan secara rapi terbongkar di hadapan Jaka Wingit. Tapi hasratnya yang terlanjur membuncah mendorongnya untuk nekat. Tanpa basa-basi Larasati melucuti pakaiannya sendiri sehingga berdiri telanjang di hadapan Karna sebagai upaya akhir untuk menaklukkan Karna.

Lemak lekuk tubuh polos Larasati membayang di bawah sorot temaram api damar yang meliuk-liuk di ruang besar tempat bersenang-senang itu. Keindahan sekaligus gairah yang menggebu terpampang di depan mata Karna. Sedikit gemetar Karna menatap sekilas lalu mengarahkan tatapannya ke arah lain, " Tidak baik seperti itu, Nyimas. Hargailah dirimu sendiri sebagai wanita."

Larasati yang sudah kepalang tanggung membuang semua harga diri dan malunya. " Saya menghargai diri sendiri dengan memilih cara mempersembahkannya untuk Kangmas Wingit. Nikmati saja persembahan saya, jika Kangmas menghargai saya. Saya tidak menuntut apapun dari Kangmas."

Karna membalikkan badan untuk menghindari matanya agar tidak menatap tubuh Larasati. Namun Larasati yang sudah kalap terbakar hasrat dan keinginan untuk memperoleh keturunan dari Jaka Wingit memeluknya dari belakang. Dengan menempelkan wajahnya ke punggung Karna, " Ayolah, Kangmas. Ijinkan aku memilikimu malam ini saja."

Karna berusaha tidak kasar menyingkirkan tangan Larasati yang setengah melingkar di pinggangnya. Namun Larasati seperti sudah kesetanan tak mau melepaskan pelukannya. Saat Karna kebingungan harus bersikap tegas yang berarti kasar, dari arah luar kamar terdengar suara langkah.

" Sembah bhakti, Gusti Gagak Bayan.." terdengar suara Ki Tejo sang pemetik siter.

Rupanya Gagak Bayan sudah sampai di Dalem. Tak lama kemudian terdengar suara Gagak Bayan memberi salam dari luar kamar, " Sampurasun, dhimas Jaka Wingit. Boleh Kakang minta waktunya sejenak? Sebentar saja. Begitu selesai, silahkan melanjutkan bersenang-senang dengan Larasati."

Karna tersenyum lega mendapat alasan untuk melepaskan diri dari Larasati.

' Rampes. Silahkan, Kakang. Ini saya juga sudah selesai, " jawab Karna, " Tapi mohon tunggu sebentar." Kemudian ia berkata lirih pada Larasati, " Nimas, kenakan lagi pakaianmu. Aku harus menemui Kakang Gagak Bayan."

Larasati mendengus kesal. Dengan sekenanya ia kenakan lagi lainnya, " Jangan lama-lama ya, Kangmas? Atau saya ikut."

" Tidak. Ini pasti masalah penting menyangkut Gagak Nagara. Sebaiknya kau tidur di sini atau kembali ke rombongan karawitan. '

" Daripada ketiduran di sini mending saya menunggu di pendapa saja sambil lihat ledhek. Tapi Kangmas janji jangan lama-lama ya?"

Karna tidak menjawab. Hanya tersenyum untuk menghibur hati Larasati yang terlihat sangat kesal oleh kedatangan Gagak Bayan.

Sementara di luar kamar, Gagak Bayan tersenyum kecil mendengar jawaban Karna yang menyuruhnya menunggu. Ia berpikir, pasti Jaka Wingit sedang sibuk mengenakan pakaiannya lagi. Strateginya berhasil. Ia sengaja datang di tengah puncak permainan birahi mereka agar nanti Jaka Wingit terburu-buru saat menjawab pertanyaannya karena ingin segera melanjutkan cumbu rayu yang terpenggal.

Larasati keluar dari kamar terlebih dulu dengan pakaian yang tidak rapi. Gagak Bayan tersenyum menggoda, " Malam yang indah kan, Larasati?"

Tak disangka-sangka, Larasati yang sedang sangat kecewa dan marah lupa pada rasa takut. Dengan sengit ia berkata, " Apa kau tidak punya urusan selain mengganggu urusan orang yang sedang bersenang-senang?"

Gagak Bayan terkesiap mendengar jawaban Larasati yang demikian kurang ajar. Tidak pernah ada orang seluruh Gagak Nagara yang berani berkata seketus itu padanya. Apalagi dengan menyebutnya 'kau' dan bukan Gusti. Nalurinya sebagai penguasa yang gila hormat seketika bangkit. Ia sambar tangan Larasati, menarik tubuh indahnya ke depannya. Tangannya terangkat siap-siap menampar.

Namun Larasati yang dapat membaca keadaan justru menengadahkan wajahnya dan menantang, " Kau mau memukul aku di dekat Gusti Jaka Wingit yang sangat sayang padaku? Lakukan kalau berani!"

Gagak Bayan segera sadar kalau hampir saja melakukan kesalahan fatal. Dengan mendengus pendek ia lepaskan cengkraman tangannya di bahu Larasati. Sementara Larasati yang merasa di atas angin melampiaskan kekecewaannya dengan mengejek Gagak Bayan.

" Ternyata bekas penguasa Gagak Nagara tidak punya nyali. Namanya juga bekas, keberaniannya juga tinggal bekas. Hihihi..." ejek Larasati dengan berbisik.

Tepat saat Larasati melangkah pergi meninggalkan Dalem, Karna keluar dari ruangan. Gagak Bayan menyambutnya dengan senyum ramah.

" Hahaha... selamat menikmati dunia, adhiku Jaka Wingit yang gagah. Apa Larasati mengecewakanmu? Kalau mengecewakan, tinggal bilang pada kakangmu ini. Kalau perlu seribu perempuan cantik akan kucarikan sebagai pengganti."

Karna tersenyum, " Larasati tidak mengecewakan. Dia baik sekali. Apa yang ingin Kakang sampaikan?"

Gagak Bayan makin senang mendengar pertanyaan Karna. Ia masih mengira Jaka Wingit terburu-buru ingin menyelesaikan urusan agar dapat melanjutkan permainan birahinya dengan Larasati.

" Boleh kita ke Sanggar Pamujan ( Tempat Persembahyangan), Dhimas?'

" Mari, " jawab Karna tanpa berpikir panjang.

***

Sanggar Pamujan yang dimaksud oleh Gagak Bayan adalah sebuah bangunan kecil berlatar asri dengan tetanaman dan patung-patung dewa Trimurti terletak di sebelah timur Wisma Gagak Nagara. Penempatannya di sisi timur mengandung makna wetan (timur) sebagai Wiwitan (asal mula) kehidupan yang diasosiasikan dengan arah terbit sang Surya sebagai sumber cahaya penerang.

Terpisah dari patung kecil Trimurti Brahma, Wishnu, Siwa, terpampang arca Bima perkasa dengan ukuran lebih besar. Karna yang mengetahui banyak simbol-simbol keagamaan segera menduga bahwa Gagak Bayan memuja Dewa Bayu ( angin), ayah spiritual Bima.

" Dewa Bayu memang dahsyat," ujar Karna.

Gagak Bayan tersenyum, " Rupanya Dhimas tahu kalau saya pemuja Sanghyang Bayu."

" Tidak masalah Kakang memuja Dewa siapa saja. Semua adalah ujud sifat Sang Hyang Widhi. Semua manusia memiliki kecenderungan pikiran sendiri-sendiri. Ada yang bersifat air, tanah, angin, angkasa, atau yang lain. Itu semua sifat kehidupan. Saya tidak mempermasalahkan kecenderungan yang Kakang pilih."

' Itulah yang ingin saya bicarakan, Dhimas."

" Maksud Kakang?" tanya Karna.

Gagak Bayan menghela napas panjang sebelum menjawab, " Mari saya ajak Dhimas masuk ke ruang sembahyang."

Karna dan Gagak Bayan memasuki ruang tertutup. Di dalamnya terbujur batu besar memanjang yang berfungsi sebagai alltar persembahan. Yang menarik, di atasnya ada patung besar berujud Dewa Bayu yang bertengger di punggung Kijang sebagai binatang yang laju larinya secepat angin.

Dengan khidmat Karna menghatur sikap sembah untuk menghormati keyakinan Gagak Bayan kepada Bathara Bayu. Meski dalam keyakinan yang dianut Karna sesuai yang diajarkan oleh Mpu Angalas, sesungguhnya ia berpendapat bahwa hanya Sang Hyang Tan Kinara ( Yang Maha Tak Terjangkau) yang ada dan Dewa-Dewi hanyalah percikan sifatnya.

Setelah melakukan beberapa gerakan ritual, Gagak Bayan duduk termenung dengan raut wajah gelisah. Seperti ada beban berat yang tengah dipikirkan. Beberapa kali ia menghela napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala.

" Ada apa, Kang? Kenapa kakang Gagak seperti menyimpan beban berat?"

Gagak Bayan memejamkan matanya, seperti tak kuasa ingin menceritakan sesuatu. Karna makin penasaran dan mendesak lebih jauh.

" Sesungguhnya aku malu menceritakan ini. Tapi apa boleh buat, aku takut sekali. Dewa Bayu telah mendatangi aku dalam mimpi sebelum kedatangan Dhmas."

" Mengapa Kakang harus takut? Bukankah justru anugerah dapat menyaksikan kehadiran Dewa Bayu yang Kakang puja?"

Gagak Bayan menghela napas panjang. Antara agak ragu saat melirik patung Dewa Bayu yang menimbulkan takut bila berbohong dengan mengatasnamakan keyakinan, namun keinginannya untuk menguasai ajian Bayu Bajra tidak mampu ia tahan. Gagak Bayan sedikit bergetar saat berkata, " Harusnya demikian, tapi beliau malah terlihat menegur dalam mimpi itu. Bahkan marah."

" Maksudnya bagaimana, Kang. Coba jelaskan!"

Gagak Bayan melihat ekspresi wajah Karna untuk menilai apa yang sedang dipikirkannya. Dan kembali lagi kepada dugaannya semula, ia mengira Jaka Wingit terburu-buru minta penjelasan agar dapat secepatnya menemui lagi Larasati untuk melanjutkan bercinta.

" Sudahlah, lupakan saja. Ini urusanku dengan sesembahanku sendiri. Dhimas tidak perlu memikirkan. Aku sudah sangat menghargai bila Dhimas mau menemani mendamaikan hati sampai pagi dengan berbincang. Tapi kalau Dhimas sekarang ingin melanjutkan bercengkrama dengan Larasati ya aku tidak bisa bermohon lebih jauh. Silahkan."

Karna mengerutkan keningnya, " Ceritakan saja, Kang. Bukankah kita saudara? Siapa tahu saya bisa membantu."

" Mungkin malah Dhimas satu-satunya orang yang bisa membantuku. Tapi...aaahhh... ini sama sekali sangat berlebihan jika ku minta. Sudahlah, biar mimpi itu ku simpan di hati saja."

Karna menjadi tidak enak kalau terlalu mendesak Gagak Bayan untuk menceritakan mimpinya. Meski dalam hatinya ingin ikut meringankan beban berat saudara barunya itu, namun Karna juga orang yang tidak pandai berbasa-basi, " Baiklah kalau Kakang keberatan untuk menceritakan mimpinya, saya tidak mendesak. Saya hanya ingin membantu saja."

Gantian Gagak Bayan yang kelimpungan merasa salah strategi. Maksudnya ingin memancing rasa penasaran Karna, tapi justru Karna menghentikan desakannya. Buru-buru ia memperbaiki strateginya khawatir Karna pergi meninggalkannya untuk kembali ke pelukan Larasati, " Bukan begitu maksudku, Dhimas Wingit. Tidak mungkin aku menyembunyikan sesuatu dari saudara mudaku. Aku akan ceritakan."

" Silahkan. Saya menyimaknya, Kang."

Gagak Bayan kemudian menceritakan mimpinya didatangi oleh Dewa Bayu dalam perwujudan lengkap dengan 4 tangan dan tunggangan Menjangan besarnya. Dewa Bayu berkata bahwa persembahan yang dilakukan oleh Gagak Bayan tidak berkenan baginya selama ia belum mampu mempersembahkan Napas dirinya sendiri dalam ujud tata pernapasan yang dapat mengendalikan gerak angin. Dan bila hal itu tidak dapat ia lakukan, semua anugerah udara yang telah dapatkan selama ini akan segera dicabut.

" Begitulah mimpiku, Dhimas. Bukankah dicabutnya anugerah udara berarti kehilangan kemampuan bernapas, artinya aku akan mati?" tanya Gagak Bayan dengan nada khawatir saat mengakhiri ceritanya.

Karna menghela napasnya. Dalam hati sebenarnya ia agak heran karena belum pernah mendengar cerita semacam itu dari gurunya. Sepengetahuannya, meski Sanghyang Bayu digambarkan bertemperamen keras sehingga banyak yang menganggapnya pemarah, tetapi tidak pernah gurunya bercerita meminta persembahan tata napas sedetil itu. Namun kembali lagi kepada kemahaluasan hidup yang penuh kemungkinan. Bisa saja pengalaman pribadi seseorang memang nyata ada meskipun tidak lazim bagi yang lain. Apalagi, Gagak Bayan adalah seorang pemuja, itu sudah menyangkut keyakinan pribadi yang tidak bisa diganggu gugat. Prinsip pertama dalam kebhinekaan berkeyakinan adalah; tidak boleh menghina atau melecehkan keyakinan atau pengalaman rohani seseorang selama tidak mengganggu, merugikan, atau merusak makhluk lain dan alam semesta. Meski Karna heran, namun ia menghormati tanggapan batin Gagak Bayan pada mimpi itu.

" Oh, jadi Kakang sedang memikirkan bagaimana tata napas untuk mengendalikan angin?" tanya Karna.

" Benar, Dhimas Jaka Wingit, " sahut Gagak Bayan datar seolah tanpa harapan, sambil mengamati dengan hati-hati ekspresi wajah Karna agar maksud hatinya tak tertebak.

" Tadi Kakang bicara kalau saya bisa membantu. Padahal saya tidak memiliki kemampuan mengendalikan angin. Bagaimana cara saya membantu?"

Gagak Bayan menundukkan wajahnya untuk menyembunyikan raut muka liciknya. Dengan didahului desah napas panjang penuh drama, ia berucap lirih, " Sejak mimpi itu datang berulang, pikiranku tidak pernah tenang. Makanya aku sempat mengalihkan kegelisahan dengan mengumbar kesenangan pada banyak perempuan. Termasuk kesalahanku saat menginginkan Savitri. Tapi, semakin aku mengumbar birahi, bukannya kesenangan yang kudapat. Ketakutan akan ancaman mimpi itu makin membesar. Sampai...ya... sampai saat aku melihat Dhimas Wingit mengeluarkan ajian mengeluarkan daya angin untuk menghalau ratusan anak panah di pasar itu..." ujar Gagak Bayan yang sengaja tidak menyebut nama Bayu Bajra agar Karna tidak curiga.

" Oh, maksud Kakang ajian Bayu Bajra?"

" Ooo... namanya Bayu Bajra?" ujar Gagak Bayan pura-pura tidak tahu nama ajian langka tersebut. " Aku tidak tahu itu Bayu Bajra atau apa. Aku hanya menduga-duga, apa itu jawaban dari mimpiku. Bukan ajiannya yang kubutuhkan. Kukira Bathara Bayu hanya menginginkan aku menata napas untuk mengatur gerak angin di dalam diri. Jadi udara yang di dalam, bukan angin di luar."

" Maksudnya Kakang ingin mengetahui tata napasnya?" sahut Karna.

" Iya, hanya itu. Tapi itu permintaan yang tidak layak kan? Ya sudah lupakan saja, Dhimas."

Karna tersenyum, " Kalau hanya tata napas, apa masalahnya, Kakang? Saya akan katakan dasarnya."

Hampir saja Gagak Bayan melonjak dari duduknya karena gembira mendengar kesanggupan Karna. Ternyata semudah itu memperdaya Karna. Yang ia butuhkan memang cuma dasar pernapasannya. Pengembangannya pasti akan dapat ia lakukan saat berlatih.

" Terima kasih, terima kasih. Dhimas Jaka Wingit telah menyelamatkan hidupku! " ujar Gagak Bayan sembari menggerakkan tubuhnya untuk menyembah Karna yang segera menahan bahunya agar tidak melanjutkan hal itu.

" Kapan Dhimas mengajarkan itu, biar aku mempersiapkan diri, " ujar Gagak Bayan dengan mata berbinar.

" Tidak perlu ada persiapan khusus. Malam ini juga saya jelaskan tata napasnya, Kangmas."

Gagak Bayan memasang pendengaran dan ingatannya kuat-kuat. Sementara Karna menjelaskan dengan singkat dasar tata napas ajian Bayu Bajra.

" ....jadi intinya di situ, Kang. Pergerakan tekanan napasnya mengikuti aksara Ba dan Ya, kemudian titik awal dan kembalinya di Cakra ke tiga dan puncaknya hanya sampai di Cakra ke enam. Cakra 1 dan 2 tidak diaktifkan, demikian juga Cakra Mahkota. Bisa dipahami kan, Kang Gagak?" ujar Karna mengakhiri penjelasannya.

Gagak Bayan senang bukan main. Apa yang diterangkan oleh Karna sudah sangat cukup baginya. Sebagai seorang yang akrab dengan ilmu beladiri, ia langsung menyerap dan mampu membayangkan pengembangan yang harus dilakukannya nanti. Serta merta Gagak Bayan berseru, " Terima kasih, Dhimas Wingit. Katakan apa yang Dhimas minta dariku, pasti aku berikan. Harta? Wanita? Atau apa? Apa saja akan aku usahakan."

Karna tersenyum, " Saya tidak minta apa-apa, Kang. Itu hanya olah napas biasa untuk kesehatan. Sekarang saya mohon diri," ujar Karna seraya berdiri.

Gagak Bayan mengira Karna terburu-buru ingin menemui Larasati. Ia tidak menahannya karena tujuannya mengetahui dasar pernapasan ajian Bayu Bajra sudah tercapai. Dengan wajah sumringah ia berdiri bermaksud mengantar kepergian Karna.

Tiba-tiba..." Zzzzeeeppp...tik!"

Tubuh Gagak Bayan seketika kaku. Tanpa diketahui datangnya, sebutir kerikil melesat mengenai titik saraf pergerakannya.

Karna terkesiap. Ini jelas sebuah serangan yang dilakukan dengan sangat cepat dan tepat sasaran. Ia sadar, penyerangnya pasti berilmu sangat tinggi sehingga Karna tidak mendengar pergerakan tubuhnya sebelum menyerang.

Belum sempat Karna mendeteksi keberadaan penyerang, telinga Karna mendengar datangnya kerikil kedua yang terbang dengan kecepatan sangat tinggi.

Kerikil itu melaju. Kali ini Karna yang sudah waspada dapat melihat arahnya. Kerikil itu tepat menuju ke kening Gagak Bayan.

" Zeeeeppp..."

" Tap!" Kerikil tertangkap oleh jari Karna tepat di depan kening Gagak Bayan. Andai saja kerikil itu tidak tertangkap, sudah pasti Gagak Bayan mati seketika dengan dahi berlobang. Jari Karna sedikit bergetar menandakan besarnya daya lontar dan kecepatan lajunya.

Mata Karna yang sangat awas menoleh ke arah asal kerikil itu. Segera ia bisa melihat sekelebat bayangan melesat dari rerimbunan semak. Penyerang itu tampaknya sadar bahwa serangannya yang bermaksud untuk membunuh Gagak Bayan berhasil digagalkan oleh Karna. Secepat angin ia melarikan diri.

" Berhenti! " Karna menghentakkan kaki dan melesat mengejar penyerang itu meninggalkan Gagak Bayan yang masih berdiri kaku.

Dua bayangan berkelebat berkejaran di tengah gelap malam. Tiap kali Karna mendekat, bayangan penyerang itu mampu meningkatkan kecepatan loncatannya sehingga jarak kembali menjauh.

Penasaran Karna mengeluarkan seluruh kemampuan meringankan tubuhnya, namun tak juga mampu memperpendek jarak dengan si penyerang misterius. Dalam hati Karna mengagumi kemampuan gerak cepat sang penyerang.

Penyerang itu terus berlari menembus hutan kecil dengan menyusup di antara rimbun pepohonan kecil dan melenting di antara dahan-dahan pohon besar. Kini mereka berkejaran di udara dengan menjejak dahan-dahan ujung pepohonan yang tinggi.

Hingga hutan kecil terlewat dan mereka sampai di tanah lapang, tiba-tiba penyerang itu menghentikan larinya. Membalikkan badan dan melontarkan puluhan kerikil kecil ke arah Karna yang tubuhnya masih di udara karena terjun dari puncak pohon.

Karna terkesiap oleh serangan dadakan itu. Seketika ia memutar tubuhnya sehingga kerikil-kerikil itu tersapu oleh kain pakaian Karna.

" Tak..tak.. tak...tak..plethak!"

Seluruh kerikil runtuh berjatuhan berbarengan dengan kaki Karna yang hinggap di tanah.

" Siapa Kisanak? Mengapa menyerang kami?' ujar Karna.

Penyerang itu mendengus, " Lawan aku dulu dan buktikan kalau kau layak mengetahui siapa aku!'

***

1
Bambang Sukamto
cerita yang menarik
Leori Id
mau pingsan izin dulu /Smirk/
Dar Darminadi
ayoooooooo terusannya
Lilik Muliyadi
hadir
Lilik Muliyadi
savitrinya mirip Dian Nitami hahaa
Lilik Muliyadi
aku msh menyimak
Lilik Muliyadi
lumayan
alurnya TDK terfokus pada satu pemeran
author mencoba gaya novelis zaman ko ping ho
Windy Veriyanti
ayo dong, Author...dilanjutkan ceritanya...✊
Windy Veriyanti
sisipan cerita wayang yang menambah wawasan 👍
matur nuwun 🙏
Windy Veriyanti
ambisi dan niat buruk 😤
Windy Veriyanti
Pasukan khusus Bhumi Majapahit sangat kuat dan hebat ✊✊✊
Windy Veriyanti
Bhumi Majapahit sangat maju pada jamannya 👍
Windy Veriyanti
hebat kapal raksasa jawa jung 👍👏
Windy Veriyanti
indah sekali Kotaraja Majapahit 👍👍👍
Windy Veriyanti
Jaka Julig...Sang Murli Katong
Windy Veriyanti
Puja Jagad Dewa Bathara...
berkah untuk Jaka Julig
Windy Veriyanti
ternyata...ohh ternyata...
Windy Veriyanti
hahh...😰
sungguh sukses mampu mencampuradukkan perasaan 😆
Windy Veriyanti
bikin tegang membacanya 😓
Windy Veriyanti
adegan ini jika divisualisasikan pasti sangan bagus..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!