NovelToon NovelToon
Blood & Oath

Blood & Oath

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Tentara / Perperangan / Fantasi Timur / Action / Fantasi / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:547
Nilai: 5
Nama Author: Ryan Dee

Tharion, sebuah benua besar yang memiliki berbagai macam ekosistem yang dipisahkan menjadi 4 region besar.

Heartstone, Duskrealm, Iron coast, dan Sunspire.

4 region ini masing masing dipimpin oleh keluarga- yang berpengaruh dalam pembentukan pemerintahan di Tharion.

Akankah 4 region ini tetap hidup berdampingan dalam harmoni atau malah akan berakhir dalam pertempuran berdarah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryan Dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Act 2 - Percikan cahaya biru

Hujan belum juga berhenti. Setiap langkahku menimbulkan cipratan dari tanah becek yang sudah bercampur dengan darah, garam, dan sisa keringat para knight yang berperang di pantai ini selama ratusan tahun. Langit di atas kelabu, seolah menolak memberi cahaya pada tanah yang telah terlalu lama dipenuhi jeritan.

Aku berjalan menembus kabut tipis menuju tembok pertama, tempat di mana Erick ditugaskan. Di atas menara penjaga, sosoknya berdiri tegap, menatap lurus ke arah lautan gelap. Tatapan itu tajam, seperti baja yang telah lama ditempa oleh perang.

Dulu matanya memantulkan semangat seorang pemuda—kini hanya tersisa sorot dingin milik seorang knight yang hidupnya tak lagi mengenal selain medan tempur.

Aku menaiki tangga menara dan menepuk bahunya.

“Erick.”

Ia menoleh, sedikit terkejut, lalu segera memberi hormat.

“Komandan. Apa yang Anda lakukan di sini? Tidak seharusnya seorang pemimpin berada di tembok terluar.”

“Tenang saja.” Aku menatap lautan bersamanya. “Sudah lebih dari sebulan kau bertugas di sini. Waktu singkat, tapi cukup untuk melihat seberapa jauh kau berkembang. Dari seorang knight muda yang gugup menjadi salah satu pilar Silver Sentinel.”

Ia menunduk hormat. “Terima kasih atas kepercayaan Anda.”

Aku menarik napas dalam-dalam. “Bersiaplah. Malam ini... kemungkinan besar mereka akan datang lagi.”

Sorot matanya menajam.

“Ombak mulai mengamuk, hujan makin deras. Aku ingin kau bergeser ke distrik tengah. Firasatku, serangan kali ini... jauh lebih besar dari sebelumnya.”

“Dimengerti.” Ia memberi hormat lalu segera turun, menghilang di tengah derasnya hujan.

Aku kembali menatap lautan. Gelombang berdebur seperti lolongan binatang terluka. Aku tidak lagi ingat kapan pertama kali datang ke pantai ini—yang jelas, laut ini tidak pernah tenang sejak hari itu.

“Kapan semua ini akan berakhir...” bisikku.

Aku berjalan memeriksa barisan pertahanan:

Setiap balista, setiap meriam, setiap pemanah yang berdiri di balik perisai logam mereka. Tak satu pun luput dari penglihatanku. Malam ini, kami harus siap untuk perang panjang—perang di mana tak ada jaminan matahari akan terbit kembali.

Thal’kren… makhluk dari laut kelam itu. Tak seorang pun tahu berapa banyak yang akan muncul kali ini. Tapi satu hal pasti—mereka akan datang dengan seluruh kebencian purba mereka. Dan kami… akan menjawabnya dengan tekad umat manusia.

Aku kembali ke tenda, menulis cepat laporan untuk Heartstone, menagih pasokan senjata yang dijanjikan. Setelah itu, kukenakan armor perak dan jubah merah, menutupnya dengan helm berkilau yang memantulkan cahaya matahari yang kian redup.

Di sisi kanan, tombakku. Di sisi kiri, pedang yang kutempa dari logam khusus, satu-satunya yang mampu menembus kulit Thal’kren tanpa harus mencari titik lemahnya.

Tiba-tiba, suara ombak berubah menjadi raungan. Petir saling menyambar, memecah langit malam. Sirine meraung panjang, menggema di antara badai.

Aku naik ke atas tembok pertama. Dari sana, kulihat ratusan titik biru menyala di kegelapan—mata-mata Thal’kren, menembus hujan.

Jumlahnya... tak terhitung.

“Formasi bertahan! Balista, siap di posisi!”

Dan saat mereka berlari ke pantai, menerjang ombak bagai arus hitam yang hidup, aku melihatnya—bayangan besar di belakang barisan.

Sebuah siluet raksasa, begitu besar hingga sempat kukira kapal karam. Tapi ketika sepasang capitnya terangkat, memantulkan cahaya petir, aku sadar—itu bukan kapal. Itu seekor kepiting laut raksasa, seekor raksasa Thal’kren baru yang belum pernah kami lihat sebelumnya.

“Dewa-Dewa… apa itu?”

Tanganku terangkat tinggi. “Balista! Fokuskan tembakan pada makhluk besar itu! Jangan biarkan ia menyentuh tembok!”

Aku menarik pedangku, mengarahkannya ke langit yang bergemuruh.

“Tunjukkan pada mereka tekad umat manusia!”

Dan ketika suara “Tembak!” menggema dari mulutku, badai, petir, dan gemuruh perang menyatu menjadi satu—pertanda malam ini, sejarah akan ditulis kembali dengan darah.

Setiap tembakan balista menghantam tubuh Thal’kren, meledakkan darah biru menyala yang mengalir deras di antara hujan dan pasir.

Namun, makhluk besar itu—raksasa berkepiting baja—terus melangkah tanpa gentar. Kulitnya sekeras batu karang, tak satu pun proyektil mampu menembusnya.

Terlalu banyak senjata difokuskan ke arah makhluk itu. Para Thal’kren yang lebih kecil memanfaatkan celah, berlari menembus badai, mendaki tembok, mencengkeram celah-celah batu.

Para knight di atas tembok berjuang keras menjatuhkan mereka. Ledakan meriam bergema, darah biru menetes dari dinding, tapi gelombang mereka tak kunjung habis.

Raksasa itu kini hanya sejauh lemparan tombak. Aku tak menunggu lebih lama.

“Semua pasukan! Mundur ke tembok kedua!”

Tanah bergetar ketika ia menabrak dinding pertama, menghancurkannya seperti kaca tipis.

Aku melompat ke atas kudaku dan memacu ke distrik tengah. Di sana, barisan Silver Sentinel sudah menunggu—perisai berderet, tombak terangkat, wajah-wajah yang tak lagi mengenal rasa takut.

“Pasukan bertahan! Bersiap!” suaraku menggema di antara gemuruh hujan.

“Kalian adalah tameng terakhir Iron Coast! Jika kita jatuh, maka pantai ini akan jatuh bersama kita! Jangan biarkan nyawa kalian hilang tanpa makna!”

Dari arah reruntuhan, terdengar suara batu runtuh. Bayangan raksasa muncul di antara debu dan petir, diikuti ratusan Thal’kren yang berlari seperti gelombang hitam.

“Bersiap! Pemanah! Catapult! Fokus pada mereka!”

Aku mengangkat pedang tinggi ke langit.

“Lepaskan!”

Langit tertutup oleh hujan anak panah.

Serentetan ledakan menghantam garis depan, menerangi malam seperti kilat. Ratusan Thal’kren roboh, tapi ratusan lagi melangkah di atas jasad mereka sendiri.

Duar! Batu-batu besar melayang dari catapult, menghantam raksasa itu.

Dank! Gelombang ledakan menyapu debu, menerpa barisan perisai kami.

Raksasa itu terluka—tapi terus melangkah.

“Silver Sentinel! Kuatkan garis!”

Aku melompat turun, mengirim kudaku kembali ke garis belakang.

“Formasi satu! Lepaskan!”

Barisan depan mendorong, perisai saling menghantam, tombak menusuk mata Thal’kren satu demi satu.

“Formasi dua! Ganti posisi!”

Pasukan bergerak seperti roda besi, maju mundur dalam harmoni yang sempurna.

Darah biru menyembur, menodai hujan.

Tubuh-tubuh mereka menggunung, membuat langkah kami semakin berat.

Di barisan depan, Erick berdiri tegak. Tombaknya menembus kepala makhluk itu seperti menembus kain basah. Tak ada keraguan, tak ada rasa takut.

Duar!

Ledakan besar menghantam raksasa. Tubuhnya terguncang, cahaya biru menyala dari sela-sela karapasnya—lalu padam. Raksasa itu ambruk, mengguncang tanah dengan suara bagai guntur terakhir.

Sorak kemenangan menggema, menembus badai.

Fajar akhirnya datang, sinarnya menembus langit kelabu. Para Thal’kren mundur, kembali ke laut, meninggalkan medan yang dipenuhi darah biru dan tubuh gugur.

“Tangkap satu dari mereka!” perintahku.

Mereka menyeret makhluk muda, masih bernafas, matanya bergetar ketakutan.

“Bawa ke ruang penjara.”

Kemenangan ini milik kami—tapi seperti semua kemenangan di pantai ini, datang dengan harga mahal.

Kami mengumpulkan tubuh rekan-rekan yang gugur, menundukkan kepala di bawah hujan.

Aku berjalan perlahan ke arah tenda, tubuh dan armor berlumur darah biru yang tak mau hilang meski dicuci air langit.

Di belakangku, tembok pertama kini terbelah dua.

Aku menatapnya lama.

> “Jika ini hanyalah awal... maka badai yang sebenarnya belum datang.”

---

1
Mr. Wilhelm
kesimpulanku, ini novel hampir 100 persen pake bantuan ai
Ryan R Dee: sebenernya itu begitu tuh tujuannya karena itu tuh cuma sejenis montage gitu kak, kata kompilasi dari serangan disini dan disana jadi gak ada kata pengantar buat transisi ke tempat selanjutnya, tapi nanti aku coba revisi ya kak, soalnya sekarang lagi ngejar chapter 3 dulu buat rilis sebulan kedepan soalnya bakalan sibuk diluar nanti
total 7 replies
Mr. Wilhelm
transisi berat terlalu cepat
Mr. Wilhelm
Transisinya jelek kyak teleport padahal narasi dan pembawaannya bagus, tapi entah knapa author enggak mengerti transisi pake judul kayak gtu itu jelek.
Ryan R Dee: baik kak terimakasih atas kritik nya
total 1 replies
Mr. Wilhelm
lebih bagus pakai narasi jangan diberi judul fb kek gni.
Mr. Wilhelm
sejauh ini bagus, walaupun ada red flag ini pake bantuan ai karena tanda em dashnya.

Karena kebnyakan novel pke bantuan ai itu bnyak yg pke tanda itu akhir2 ini.

Tapi aku coba positif thinking aja
perayababiipolca
Thor, aku hampir kehabisan kesabaran nih, kapan update lagi?
Farah Syaikha
🤔😭😭 Akhirnya tamat juga, sedih tapi puas, terima kasih, author.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!