Terbangun dari koma akibat kecelakaan yang menimpanya, Lengkara dibuat terkejut dengan statusnya sebagai istri Yudha. Jangan ditanya bagaimana perasaannya, jelas saja bahagia.
Namun, Lengkara merasa asing dengan suaminya yang benar-benar berbeda. Tidak ada kehangatan dalam diri pria itu, yang ada hanya sosok pria kaku yang memandangnya saja tidak selekat itu.
Susah payah dia merayu, menggoda dan mencoba mengembalikan sosok Yudha yang dia rindukan. Tanpa dia ketahui bahwa tersimpan rahasia besar di balik pernikahan mereka.
******
"Dia berubah ... amnesia atau memang tidak suka wanita?" - Lengkara Alexandria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 - Tidak Sengaja
Berawal dari postingan penggemar, hingga akhirnya sampai pada Bima yang sejak tadi fokus dengan monitornya. Mata pria itu mengerjap pelan, berusaha memastikan bahwa foto itu sudah berlangsung lama. Beruntung saja dia memiliki asisten yang suka bersosial media, pak Chan mengetahui itu dari postingan penggemar yang menandai akun sosial media Lengkara.
"Cantik sekali, tuan besar pasti bahagia andai dia tahu Anda sudah menikah."
"Diamlah, Pak Chan ... sampai papa tahu kupatahkan batang hidungmu," ancam Bima kesal seketika, sejak awal memang hanya pak Chan yang mengetahui kehidupan Bima pasca bertemu Yudha.
Saat ini bukan masalah itu yang penting, tapi Lengkara pergi tanpa izin dan membantah perintahnya tadi pagi. Bima tidak lagi membaca balasan dari pak Chan, pria itu memilih untuk menghubungi Lengkara segera.
Berulang kali dia coba, tapi tetap percuma. Entah Lengkara tidak sengaja atau Bima tengah mendapat karma akibat mengabaikannya beberapa waktu lalu, yang jelas saat ini Bima dibuat gusar karenanya.
Bukan tanpa alasan, mertuanya sempat mengatakan lingkungan luar begitu berbahaya untuk Lengkara. Kekhawatiran akan kembalinya Nathan yang merupakan anak dari musuh bebuyutan keluarga Megantara adalah sebab utama.
Menurut info yang Bima ketahui, Nathan masih mendekam di penjara. Namun, hal itu tidak menutup kemungkinan semua baik-baik saja. Terlebih lagi, kala Bima mengetahui bahwa Syila, istri dari kakak iparnya sempat dibawa pergi sewaktu hamil tanpa aba-aba.
"Katakan ini dimana," ucap Bima ketika masuk ke ruangan kerja Zean.
Jika saja tidak mengingat pria di depannya bukan Yudha, ingin sekali Zean memukul ubun-ubunnya. Datang tanpa permisi, mengetuk juga tidak hingga Zean gelagapan mengakhiri panggilan video bersama istrinya.
"Kau tidak bisa mengetuk pintu lebih dulu, Bima?" tanya Zean menggigit bibir dan menunduk, memastikan ritsletingnya sudah tertutup dengan sempurna.
"Tempat ini dimana? Aku tidak bisa menghubungi Lengkara."
Tanpa menjawab, dia tidak begitu peduli dengan paniknya Zean menghadapi kedatangannya yang tiba-tiba. Saat ini dia hanya ingin tahu dimana Lengkara berada, itu saja.
"Depan kampus Citra Wijaya, dia memang suka datang ke sini bersama Ameera," tutur Zean memandangi wajah adiknya di sana, terlihat bahagia sekali seolah tanpa beban.
"Terima kasih, lanjutkan kegiatanmu," ucap Bima tersenyum miring kemudian berlalu seketika, sontak ucapan Bima membuat Zean merah padam, malu dan marah menjadi satu.
"Dasar gila, wajar saja adiknya begitu di malam pertama."
Bima membatin seraya menggeleng pelan. Memang benar salahnya tidak mengetuk pintu lebih dulu, tapi sama sekali dia tidak berpikir jika kakak iparnya akan melakukan hal semacam itu. Lagi pula bukankah ini di kantor? Tempat dimana seseorang melakukan pekerjaan dengan serius, mana bisa disatukan dalam mencari kesenangan, pikir Bima.
Dia tidak bisa berhenti tersenyum geli, entah apa yang ada di otaknya yang jelas orang-orang yang melihat Bima saat ini menduga jika kecelakaan tiga bulan lalu berimbas pada otaknya.
Meski yang memerhatikannya sebanyak itu, Bima sama sekali tidak sadar dan kembali fokus dengan tujuannya mendatangi Lengkara. Sembari terus berusaha menghubungi dan kini justru benar-benar mati, sengaja mungkin.
Tidak butuh waktu lama bagi Bima, hanya sepuluh menit dan kini pria itu sudah berada di tempat tujuan. Sorot tajamnya mengelingi tempat itu, aroma khas yang cukup menenangkan menguar menelisik penciumannya.
Harap-harap cemas, Bima berharap Lengkara tidak pergi lebih jauh lagi. Jika sampai terjadi, maka bukan masalah dari mertua yang dia dapat, besar kemungkinan Yudha juga ikut kecewa.
Cukup lama dia memantau, Bima tidak akan melangkah sebelum tujuannya pasti. Hingga pria itu menghela napas panjang begitu menangkap sosok wanita cantik tengah di pojok ruangan.
Perlahan Bima mendekat, tanpa suara hingga ketika berdiri tepat di hadapannya pria itu mengetukan jemarinya ke atas meja. Sejak tadi Lengkara menunduk, membenturkan kepala di meja entah apa tujuannya.
"Sedang apa?"
Tidak ada jawaban, Lengkara masih terus membenturkan kepalanya berkali-kali. Terpaksa, tidak ada jalan lain hingga Bima menarik rambutnya agar berhenti.
"Aaaarrgghh!!" teriak Lengkara seraya mendongak ke arahnya, tidak begitu sakit, tapi terkejut tentu saja.
"Bisa berhenti? Apa tidak malu? Orang-orang di sini melihat ke arahmu," ucapnya belum juga melepas rambut Lengkara.
"Biarin, lepasin sakit!!"
Lengkara berdecak kesal seraya menepis tangan Bima di sana. Sungguh berbanding terbalik, biasanya Lengkara yang menarik rambut Yudha sebagai pelampiasan emosi ataupun gemas sendiri. Seketika Lengkara berpikir, apa Yudha tengah mengirimkan makhluk ini untuk balas dendam padanya.
"Kenapa tidak izin? Sudah kukatakan tadi pagi dan kamu bilang iya, Mas ... mana? Tahu-tahu sudah di sini, dihubungi tidak bisa, kalau diculik bagaimana?"
"Hp-ku mati, jangan berlebihan ... lagi pula siapa yang mau menculikku? Masih zaman begituan? Keseringan nonton sinetron jadi begitu," omel Lengkara masih masih kesal, apa tidak ada cara yang lebih baik? Menahan dahinya agar tidak terbentur di meja salah-satunya.
"Jangan membantah, papa memintaku melindungimu dan jika sampai kau terluka aku bisa mati muda, paham?!"
"Hm, paham," jawab Lengkara sekenanya, di bagian melibatkan papa dia mulai agak malas karena saat ini Lengkara juga marah pada siapapun, tidak hanya pada Yudha.
"Ayo pulang ... kamu sudah lama berada di sini, 'kan?" tebak Bima seraya menarik pergelangan tangan Lengkara agar segera beranjak dari sana. Dua gelas kopi dan beberapa cake yang tinggal sebagian itu sudah pasti miliknya, dan jelas menunjukkan jika Kara sudah lama.
"Baru," jawab Lengkara singkat dan memutar bola mata malas, kenapa cara Bima menggenggam pergelangan tangannya persis menggenggam pedang.
"Baru apa?"
"Baru dua jam," jawab Lengkara yang seketika membuat Bima menghela napas perlahan, enteng sekali dia menjawab begitu.
.
.
- To Be Continued -
bikin pedih mata...
ada luka yg tak terlihat tp bs dirasa.
kl diposisi lengkara apa jadinya