Melati dan Kemuning tak pernah melakukan kesalahan, tapi kenapa mereka yang harus menanggung karma perbuatan dari orang tuanya?
Sampai kapan dan bagaimana cara mereka lepas dari kutukan yang pernah Kin ucapkan?
Assalamualaikum, cerita ini murni karangan author, nama, tempat dan kejadian semua hanya kebetulan semata. Selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ternyata, Takdir Berkata Lain
Entah, kenapa Karsih menatap Melati seperti orang yang sedang marah, dia pun meminta Melati kecil untuk bangun dari pangkuannya dan Melati kecil merubah posisinya jadi duduk.
Perlahan, Karsih mulai mendekat dan sekarang sudah berdiri begitu dekat dengan sang putri sulungnya, putri yang sudah menanggung beban begitu berat.
"Bu," panggil Melati lagi dan kali ini Karsih membuka tangannya, dia mempersilahkan Melati untuk memeluknya.
Di pelukan itu juga Melati menangis sesenggukan, seolah menuangkan semua rasa sakit di hatinya yang sudah sekian tahun mengendap.
"Sssssttt," bisik Karsih, mencoba menenangkan sang putri.
"Jangan menangis, kamu bisa lalui ini semua, kamu gadis yang kuat!" ucapnya seraya melepaskan pelukan, wanita berpakaian blouse santai ala-ala jaman dulu itu pun merangkum wajah Melati, menatap meyakinkannya.
"Melati menyerah, Bu. Melati nggak bisa melawan kutukan itu," jawab Melati dengan sesenggukan.
"Bisa, kamu bisa! Kamu bisa, Mel!" Karsih menegaskan.
"Tapi, Bu. Bagaimana caranya?" Melati bingung, karena sudah berbagai cara dia lakukan tapi tetap tidak ada hasil.
"Bongkar semua makam itu! Kuburkan dengan layak!"
"Makam?" Melati mengulangi perintah itu dan Karsih mengangguk.
Lalu, dapatkah Melati membongkar semua kebusukan dan membersihkan nama mereka yang dibuat kotor oleh ayahnya?
"Ya, makam," jawab Karsih dan Melati menatap wanita yang jaraknya menjauh itu, semakin jauh dengan tatapan Karsih yang seolah menguatkan sang putri dan sekarang ibu juga dirinya di masa lalu itu hilang dari pandangannya, hanya tersisa kegelapan yang mengelilingi.
Nafasnya terasa berat, sesak, Melati merasa kalau dirinya berada di ruangan yang sangat sempit.
"Aaarrgghh." Melati mengerang kesakitan dan akhirnya dia membuka mata dan mulai mengatur nafasnya yang berlarian, tangannya mengusap lehernya yang terasa sakit.
Dan sebenarnya bukan hanya leher saja yang sakit, seluruh badannya lebih sakit dan ternyata dia sudah terdampar di tepi sungai, di bawah pohon bambu-bambu yang tumbuh subuh di tepi Suanggi itu. Melati terperanjat, dia melihat kanan dan kirinya, mencari-cari keberadaan Kemuning.
"Muning!" panggilnya dengan suara bergetar.
Melati merubah posisinya jadi, matanya mengedar ke sekitar, berharap dapat menemukan sang adik.
Dalam benaknya, dia bertanya, kenapa dirinya tidak mati? Melati mengusap matanya yang basah, kedinginan karena sudah berada di air semalaman tak ia hiraukan karena yang ia pikirkan adalah Kemuning.
Tongkat yang selama ini setia menemani pun hanyut terbawa arus, Melati yang berjalan dengan menarik satu kakinya itu menyesal, menyesali kebodohannya karena hanya melukai diri sendiri dan sekarang Kemuning hilang.
"Dek!" teriak Melati lagi, masih memperhatikan area sekitar, ia terus berjalan menyusuri sungai itu dan tak menemukan adiknya atau tanda keberadaan Kemuning.
Setelah berjalan cukup jauh, Melati mulai putus asa. "Apa Muning meninggal?" tanyanya, seketika dia membeku, jatuh berlutut, menatap ke atas yang dipenuhi dedaunan rimbun.
"Muning!" teriaknya.
"Kenapa bukan aku saja, Tuhan? Atau, setidaknya Engkau ambil kami berdua!" suaranya sampai bergetar, memilukan.
Melati semakin terisak, tangannya memeluk hatinya sendiri, menekan dadanya yang terasa sesak.
Lalu, dimana sebenarnya Kemuning berada?
Melati tak menyerah, dia kembali ke hulu, berpikir kalau sang adik ada di sana. Dia berbalik badan, berjalan perlahan ditemani suara angin yang membawa dedaunan kering.
Sesekali terdengar suara angin yang seperti bersiul, bersahutan dengan pohon bambu dan dedaunan yang lain, tapi gadis itu benar-benar pemberani, dia menepiskan segala perasaan takutnya walau sepanjang berjalan dia merasa ada yang mengawasi.
Hingga akhirnya, Melati bertemu dengan seseorang yang sedang mencuci pakaian di sungai.
"Permisi, Bu," sapa Melati dan wanita yang usianya mungkin sekitar empat puluh tahun itu menoleh, dia segera mencuci tangannya yang dipenuhi busa, menaruh kembali bajunya ke ember supaya tak terbawa arus lalu bangun untuk menyambut Melati.
"Iya, ada apa, Nduk?" tanyanya seraya memerhatikan gadis yang baru pertama kali ini dia lihat.
"Mau nanya, Bu. Apa ibu lihat anak kecil yang 'maaf' cuma punya satu kaki, dia perempuan," jawab Melati.
"Oh, rambutnya panjang? Kunciran?" tanyanya lagi dan Melati mengangguk dengan semangat, air mata tak lagi dapat dia bendung, harapan nyata sudah ada di depan mata.?
"Iya, Bu. Dia adik saya," jawab Melati dengan suara bergetar. "Sekarang, dia dimana, Bu?"
"Ada, ayo ikut saya!" jawab si ibu yang kemudian mengemasi barang-barang miliknya, mereka pun berjalan mengikuti jalan setapak yang membawa mereka ke sebuah gubuk yang tak jauh dari sungai.
Selama perjalanan, mereka saling tanya jawab, dari nama dan asal-usul Melati juga Kemuning. Diketahui nama wanita itu Minah, Bu Minah, Melati memanggilnya.
"Ayo, masuk! Adik kamu ada di dalam," kata si ibu seraya membantu Melati untuk naik ke rumah panggungnya.
Kemudian, wanita itu pun membawa Melati ke kamar Kemuning, gadis kecil itu terbaring lemah tak berdaya, sejak ditemukan oleh keluarga Bu Minah.
Melihat Kemuning, Melati pun segera menghambur memeluknya dengan tangis. "Dek! Bangun! Maafin mbak, Ning!" tangisnya dan Kemuning masih belum menjawab.
Karena keterbatasan biaya dan jarak yang sangat jauh untuk kerumah sakit membuat Melati tak bisa berkutik. Dia sendiri bingung harus bagaimana.
"Seandainya mbak nggak berpikiran bodoh, semua ini nggak akan terjadi, mbak minta maaf!" tangisnya lagi.
Sementara itu, di luar sana ada yang datang, seorang pria yang ternyata adalah suami Bu Minah.
"Ada yang nangis, siapa, Bu?" tanyanya seraya mendekat ke arah istrinya berdiri.
"Kakaknya anak kecil itu, anak kecil yang kita temukan di sungai tadi pagi," jawab Bu Minah dan suaminya yang sekarang sudah berdiri di sisi Minah itu mengangguk mengerti.
Mereka menatap tak tega pada Melati dan Kemuning.
Sementara itu, di desa ada Arman yang sudah lelah mencari-cari keberadaan Melati. Tapi tak seorang pun melihatnya. Kabar terakhir yang dia dengar adalah Melati pergi ke kota, seperti rencana awal saat pergi bersama Seno.
"Kasihan mereka, kemana mereka pergi? Ya Allah, maafkan kami yang sudah dzolim sama mereka," batin Arman.
Lalu, suara pintu terketuk, dia adalah ayahnya yang mengajaknya untuk sholat jamaah di surau. "Pak, waktu bapak sholat, apa bapak nggak kepikiran bagaimana sikap kita ke sesama? Karena kelak kita bakal dimintai pertanggungjawaban itu, Pak."
"Begini, nih. Kalau anak lebih pinter dari orang tua, berani ceramahin orang tua!" jawab ayahnya dengan ketus, lalu pergi meninggalkan Arman yang masih duduk di kursi meja belajarnya.
Di gubuk kecil yang jauhnya berjarak dua desa dari desa asalnya, Melati sedang mengambil wudhu dengan dituntun oleh Bu Minah.
"Nah, kalau sudah tau tahapan-tahapannya, setelah ini kita hafalkan doa-doanya," kata Minah dengan penuh kesabaran.
"Kasihan mereka, hidup tanpa orang tua dan tanpa ada yang mengajarinya beribadah," batin Minah dan sekarang mereka sholat maghrib berjamaah di rumah.
Sementara Melati, dia merasakan kedamaian setelah mengenal apa itu sholat, menghadap juga bersujud langsung kepada Sang Pemilik kehidupan dan saat itu, dia bersyukur karena sudah dipertemukan dengan Bu Minah dan Pak Bambang.
Tapi, dia juga takut, khawatir kalau kutukan yang mereka bawa akan membuat masalah untuk keluarga yang sangat baik ini.
Apakah kekhawatiran Melati akan terjadi? Ataukah justru ini titik balik bagi Melati dan Kemuning untuk bangkit dan lepas dari kutukan itu?
waduhh bnr kah melati hamil ?