Hasna Az Zahra terpaksa harus menikahi Mantan Mertuanya setelah tunangannya meninggal dunia. Dalam pernikahan ini, dia menjadi orang ketiga, di perlakukan tidak adil, menjadi istri yang tak di anggap. Mantan Mertuanya sangat membencinya dan menyalahkan dirinya atas kecelakaan anak semata wayangnya.
Akankah Hasna bertahan menjadi madu Mantan Mertuanya atau memilih pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sayonk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku tau
#Maaf ya, aku selang seling upadatnye, entar kalau si 'Lima Tahun Kemudian' sudah tamat, jadi enak bisa fokus ke yang ini.
****
Kedua sahabat itu saling pandang, pagi-pagi mereka di hubungi oleh Alena dan memintanya untuk ke rumah.
"Sya, ini udah lama. Kita nunggu di sini udah kesemutan," ujar Anita. Dia sebenarnya enggan untuk menolaknya dan merasa tidak enak.
"Ya samalah," ucap Anita. Dia mengambil jus di depannya lalu meminumnya.
"Eh Sya, kamu udah di kasik tahu masalah Alena sama tuan Serkan?" tanya Anita. Meskipun mereka berteman, tapi Anita sibuk dengan dunianya sendiri dan Tasya yang juga sibuk dengan dunianya sendiri. Sehingga mereka jarang memiliki waktu bersama.
"Iya, aku kasihan sih sama Alena." Tasya memikirkan nasib Alena yang di madu, seumur hidup dia tidak ingin menikah kalau di madu. Ada beberapa istri yang mau, tapi bukan dirinya. Iya kalau bisa adil, kalau tidak?
Anita melirik Tasya. "Aku pernah melabrak Hasna, ya sama Alena."
"Hah?" Kedua bibir Tasya terbuka lebar. "Kok bisa, lah terus-terus," Tasya begitu penasaran dengan selanjutnya, seakan ingin menonton.
"Kau ini," Anita menceritakan semuanya dan membuat Tasya mengangguk paham.
"Tapi aku kasihan juga sama Hasna, coba kita berada di posisi Hasna. Tunangan kita meninggal terus kita masih di siksa sama ayah mertua, kan gak adil? bukan kita yang membunuh,"
"Kasihan?" tanya Alena. Dia memakai Dres selutut dan sebelahnya memperlihatkan paha mulusnya. Dia pun berjalan dengan anggun ke arah temannya itu, lalu duduk dan mengambil bantal di sampingnya, menaruhnya di atas pahanya.
"Eh maksud ku bukan begitu," ucap Tasya. Dia tidak mau jadi semburan lahar panas wanita di depannya.
"Aku tidak suka kamu bela Hasna, dia saja yang salah dan terlalu lemah."
Anita mengangguk, kalau dia menjadi posisi Alena juga tidak akan terima.
"Maaflah, ya piss"
Alena memutar bola matanya jengah, dia merasa kesal pada temannya itu.
"Lalu di mana tuan Serkan? tumben aku tidak melihatnya, kita duduk di sini mulai jam 6 pagi sampai jam 7 tapi gak menemukan batang hidungnya."
"Pagi-pagi sekali dia pasti sudah berangkat, aku juga tadi menghubunginya namun tidak di angkat." Alena merasa kesal, tidak biasanya suaminya pergi tanpa meminta ijin darinya.
"Hem, lalu sekarang kita mau apa?" tanya Anita. Dia bosan kalau hanya berdiam terus.
"Ke Mall, masak kita diam kayak gini. Ya gak Len?" tanya Tasya, selama ada Alena maka uang kas mereka berjalan lancar.
"Ya sudahlah, ayo." Ajak Alena.
***
Di tempat lain.
"Eh Hasna," sapa seorang ibu-ibu berambut pendek dan menggunakan pando hitam di kepalanya serta bertubuh gemuk. Wanita itu menyapa Hasna di depan pagar tembok rumah Hasna.
Hasna menoleh dan tersenyum manis, ia takut akan ada kejadian salah paham. "Iya," Hasna melangkah ke arah dua orang ibu-ibu itu.
Satu ibu lagi gemuk, tapi tidak terlalu gemuk, rambutnya panjang dan menggunakan jepitan rambut.
"Dia siapa?" tanya ibu rambut panjang. Seperti biasa para ibu-ibu akan menunggu pedagang keliling yang berhenti di samping rumah Hasna.
"Oh dia, tamu," ucap Hasna dengan gugup, sambil tersenyum paksa. Padahal jantungnya cenat cenut.
"Wah, dia tampan." Kedua ibu-ibu itu langsung terpukau seketika melihat wajah Andreas yang turun dari mobilnya.
Sedangkan Andreas terlihat bingung.
"Hey, kamu tamu Hasna ya?" teriak ibu berambut pendek.
Adduh
"Hasna, dia tampan sekali."
"Ada apa ini?" tanya Serkan yang berkacak pinggang. Dia memandangi Hasna dan kedua ibuk-ibuk yang menatapnya.
"Hasna dia siapa lagi?"
"Tamu lagi?"
"Oh begini tuan, saya hanya menyapa Hasna dan menyapa calon suami Hasna," ucap ibu-ibu berambut pendek dan tersenyum.
"Apa?" tanya Serkan tak mengerti.
"Dia," tunjuk kedua ibu-ibu yang menunjuk Andreas dan membuat kedua mata Serkan melotot tajam.
Andreas langsung berjalan ke arah Serkan dan membungkuk, ia takut sang tuan mengeluarkan aura hitam di tubuhnya.
"Lain kali jangan dekat-dekat dengan Hasna," ucap Serkan dengan nada dingin. Dia langsung masuk dan tidak mau meladeni ibu-ibu yang sudah membuatnya jengkel setengah mati.
***
Seperti biasa Hasna menyiapkan sarapan pagi. Entah mengapa ia merasa menjadi istri yang sesungguhnya. Padahal, di dalam hatinya tidak berniat untuk membuat Serkan mengunjungi rumahnya lagi.
"Kenapa?" tanya Serkan. Sejak tadi ia diam saja dan melihat istrinya yang memandanginya.
Andreas menatap kedua majikannya, diapun melanjutkan santapannya lagi. Tidak ingin mengganggu kedua majikannya.
"Tidak apa," ucap Hasna. Dia buru-buru menyantap nasi goreng di depannya.
Serkan menaruh sendok di tangannya, lalu meraih segelas air di samping dan meneguknya sampai setengah. Kemudian kembali menatap Hasna, ia tau Hasna merasa risih karena keberadaannya.
"Aku tau, aku tau kau tidak menyukai ku. Aku tidak meminta mu melupakan Azam, aku hanya takut menjadi seorang suami yang tidak peduli pada istrinya." Jelas Serkan.
Hampir saja Andreas ingin menyemburkan nasi goreng di mulutnya, kalau tidak mengambil dan langsung meminum segelas air di sampingnya. Hampir saja ia mati tersedak. Peduli? sebuah kata yang membuat telinganya langsung melebar.
makanya Azzam memilih calon istrinya utk mendampingi ayahnya