Naura, seorang gadis cantik, santun, cerdas dan selalu ceria. Dia seorang dokter spesialis anak di usia 28 tahun. Banyak laki-laki dekat dengannya namun orang tuanya tidak pernah menyetujui karena Naura tidak boleh menikah dengan orang lain!
Naura memiliki 3 orang kakak laki-laki. Fathur, seorang dosen di salah satu universitas terkemuka di Yogyakarta, sudah menikah. Zamy, kakaknya yang nomor dua, seprofesi dengannya, seorang dokter kandungan yang bekerja dengannya di sebuah klinik yang dibangun orang tua mereka. Klinik terkenal ini berada di ibukota propinsi bernama Honey Bee buka mulai jam 4 sore.
Zamy dan Naura dekat sejak kecil. Zamy sangat menyayangi adik perempuan satu-satunya. Kakak yang ketiga adalah Rahman, pengusaha Rumah Makan Sea Food di kota kecil tempat ayah ibu mereka tinggal.
Hingga suatu hari, semua menjadi berubah ketika orang tua mereka membuka sebuah rahasia besar selama ini. Naura harus menikah dengan Zamy, kakak tersayang yang ternyata bukan saudara kandungnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afa's Mommy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Pulang
Mimpi indahku seketika terhenti di Subuh nan dingin. Suara adzan yang mengalun indah mendayu-dayu menembus alam tak sadarku. Aku terbangun, nun jauh di ujung gang, terdengar suara kokok ayam bersahutan yang diselingi suara motor para laki-laki sholeh di sekitarku dan di sekitar rumahku mengejar sholat berjamaah di masjid Al-Islah. Aku mengucek-ngucek mata, melihat jam dinding yang berdetak halus, sudah pukul 04.47 WIB, aku membuka hape, membaca sekilas pesan-pesan di whatapp, membalasnya lalu berwudhu, kemudian segera sholat Subuh.
"Nauraaa..., sudah bangun belum? Ibu masuk ya." Tiba-tiba ibu masuk kamarku dengan sebuah can memasak di tangannya. Aku sedang menggantung mukenah ke belakang pintu habis sholat.
"Alhamdulillah kalau sudah bangun." Ibu langsung melanjutkan bicaranya tanpa menunggu jawabanku. Ia duduk di pinggir tempat tidur. Aku tersenyum lalu mencium tangan ibu.
"Barangmu sudah dikemasi?" Ibu melihat ke arah koper yang kubawa kemarin.
"Memang Naura tidak banyak bawa pakaian kok bu." Aku menjawab.
"Okelah, bantu ibu menyiapkan sarapan yuk sayang...." Ibu bangkit dan keluar kamar, aku mengikuti. Sementara di garasi sudah terdengar suara motor, sepertinya ayah, bang Rahman dan bang Zamy telah pulang dari masjid. Ibu segera membuka pintu dapur. Mereka masuk.
"Hei adikku Naura sayang, bagaimana kabarmu? Kata ibu pulang sendiri ya kemarin? Sudah hebat ya sekarang berani nyetir sendiri jauh-jauh." Bang Rahman datang memelukku.
"Hebat apanya? Itu bukan hebat tapi hanya nekat, maknanya beda jauh. Hebat ya hebat. Kalau nekat bisa jadi ada unsur bahayanya." Bang Zamy mencemooh sambil mengibaskan ujung sajadahnya ke arahku.
"Betul itu. Jangan lagi datang bawa mobil sendiri. Nanti ayah tulis spanduk di depan rumah, 'tidak terima kepulangan anak gadis sendirian.'" Ayah menyambung kalimat bang Zamy.
"Tapi sesekali kan tidak apa-apalaaahhh.... Begitu kan Naura?" Bang Rahman memberiku pembelaan.
"Halaaahhh..., kalian berdua sama saja. Sama-sama telinga jauh." Ibu ikut nimbrung sambil tangannya dengan cekatan mengiris bawang merah.
"Deket kok bu telinga Rahman." Bang Rahman usil mendekati ibu. Dia memegang telinganya. Padahal maksud ibu telinga jauh itu kurang lebih kiasan untuk bahasa membandel atau tidak mau mendengarkan. Ibu malah mencubit bang Rahman sambil tersenyum.
"Ibu, Naura bantu apa?" Aku mendekati ibu seperti biasanya. Menanyakan bantuan.
"Cuci piring, cuci pakaian, semir sepatu, sapu rumah, ngepel, beres-beres, potong dahan mangga di samping." Bang Zamy yang menjawab. Aku mendelik menatapnya jengkel. Bang Rahman tertawa ngakak, ibu cekikikan, sementara ayah tersenyum kecil sambil berjalan menuju ruang keluarga, menghidupkan tivi. Aku spontan melempar bang Zamy dengan serbet yang ada di atas meja makan. Namun dia keburu kabur masuk ke dalam mengikuti ayah. Serbet hanya melayang di dekat kaki kursi makan.
"Sudah sudah sudah..., iiihhh..., ini anak berdua ya Allaaahhh... bagaikan...,"
"Burung dalaaam sangkaaarrrr..., Sungguh nasibmu malaaaang benaaaar, dari kekejaman duniaaa...?" Aku memotong kalimat ibu dengan menyambung sebuah nyanyian lawas. Ibu melepaskan pisau di tangannya dan menyerangku dengan gelitikan. Aku mengerang kegelian.
"Tidak Zamy, tidak Naura sama saja! Memang kalian itu berjodoh kali ya. Suka usil dua-duanya." Ibu melepaskanku dan kembali ke meja kompor. Tangannya melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.
"Naura bawa saja kopi dan teh yang sudah ibu siapin di meja ke dekat ayah dan abangmu." Ibu menunjuk dengan mulut ke arah meja. Sementara tangannya mulai mengaduk-aduk nasi goreng cumi petai pedas. Aku menurut saja. Kuambil teko teh, segelas kopi susu buat bang Zamy, segelas kopi hitam agak pahit buat bang Rahman, 3 gelas keramik cantik kosong dan membawanya ke meja ruang keluarga.
"Silahkan tuan-tuan...." Aku meletakkan semuanya sambil duduk. Ayah menatapku tersenyum. Tangan kanannya spontan mengelus kepalaku.
"Jah...," Kudengar bang Zamy sudah mulai mau usil lagi. Aku tidak mempedulikannya, pura-pura tidak mendengar.
"Jah...," Dia kembali dengan suara lebih besar. Aku tetap tak menghiraukannya. Bersikap masa bodoh.
"Ijaaahhh..., Ijaaahhh..., oh Ijaaahhh..., tolong dong temennya kopi susu mana?" Bang Zamy masih mengolokku. Dia bahkan bicara persis di sebelah kupingku. Tak urung aku terganggu dan tak bisa pura-pura tak mendengar lagi.
"Pembantu baru ya bang?" Bang Rahman ikut menimpali mengusiliku. Aku berdiri, lalu kupukul bahu keduanya dengan nampan plastik yang kupegang. Keduanya mengaduh kesakitan.
"Maaf Ijah tidak sengaja tuan...." Aku meninggalkan mereka yang terpaksa harus mengelus-ngelus bekas pukulan. Ayah tersenyum bahagia.
"Seandainya kalian semua pindah ke Mentok, rumah pasti ramai setiap hari...." Ayah bicara sambil mulai mengangkat segelas teh yang kuisi tadi. Bang Zamy dan bang Rahman hanya berpandangan tanpa menjawab. Mereka sama-sama mengangkat bahu tanda tak mengerti apa maksud omongan ayah.
Pagi telah datang, mentari pun telah menampakkan sinarnya. Burung-burung ayah yang bergelantungan dalam sangkar di garasi sudah berkicau ria. Sementara di luar, burung-burung gereja dengan lincah menapak-napak ke tanah mencari makan kemudian terbang rendah lagi ke udara, sesekali bertenggeran di kabel-kabel listrik. Kami menikmati sarapan dalam suasana kekeluargaan walaupun tanpa bang Fathur dan yuk Vioni di alam nyata. Sempat sejam lebih sambil nonton video call dengan mereka. Ayah ibu pun menceritakan semua kisahku, pertemuanku dengan orang tua kandung, dan rencana segera menikahkanku dengan bang Zamy. Bang Fathur mendukung semuanya dan mengatakan belum akan pulang jika pandemi corona masih berlangsung di negeri ini.
Pagi yang indah, kulihat ayam-ayam tetangga pun sudah bertebaran di halaman mencari semut-semut hitam untuk dimakan. Angin pagi yang sejuk pun mulai menggoyang-goyangkan dedaunan tanaman di sekitar. Bukit menumbing pun sudah menampakkan kegagahannya. Terbayang olehku sepintas bangunan kokoh di dalamnya. Bukit menumbing, icon sejarah di kota tua, kota wisata sejarah. Tempat bung Karno pernah diasingkan. Aku menikmati Indahnya kotaku dengan udara yang masih segar belum terkena polusi. Apalagi di rumahku, karena tidak ada seorang pun yang merokok, udara semakin segar alami. Aku mengenakan sepatu bang Rahman, dan jogging pagi-pagi di jalan yang masih agak sepi. Menyapa para tetangga yang kebetulan kujumpai. Sekitar 30 menit bolak balik berlari dari depan rumah ke ujung gang akhirnya aku kembali ke rumah. Kulihat mesin mobilku sudah dipanaskan. Ayah sibuk dengan burung-burungnya. Bang Rahman telah pergi ke pasar. Ibu menyiram bunga-bunga yang bermekaran di halaman. Sepintas kulihat bude Marni sudah berkecimpung di dapur dengan cucian piringnya. Nyanyian khas Jawanya terdengar indah dan bersemangat. Sementara bang Zamy sedang membilas busa-busa sabun yang tersisa di mobilku. Dia mencucinya, mengelap dengan kaneboku berwarna ping, lalu membuka kap depan dan mengecek air radiator, oli dan lainnya. Aku tersenyum melihatnya.
"Terima kasih mang Udin, sudah dicucikan mobilnya." Aku membuka sepatu lalu pergi mendekatinya.
"Mang Udin Mang Udin enak saja. Nih lanjutin sendiri." Bang Zamy memberikan kanebo kepadaku. Aku melemparkan balik kepadanya lalu masuk ke dalam.
"Aduuuhhh..., sakit perut...." Aku masuk melewati pintu samping.
"Alasaaannn...." Bang Zamy kembali memungut kanebo yang kulemparkan dan melanjutkan mengelapnya. Sementara aku, keluar lagi dengan santai sambil memegang segelas kopi susu hangat di tangan.
***
Tepat pukul 6.30 WIB ayah berpamitan pergi ke kantor. Ayah orang yang paling disiplin di sekitarlu. Itulah sebabnya ayah sering menjadi kepala dan kantor cabang terbaik di penilaian kinerja akhir tahun. Hal itu semakin membuat bonus ayah menjadi bertambah. Pernah berapa kali ayah mendapatkan bonus sampai 10 kali gaji karena mendapat capaian terbaik se-cabang Bangka Belitung. Otomatis bonusnya itu sangat membantu biaya kuliah kami dulu. Oh ya gaji ayah sudah mencapai kepala dua lebih.
"Hati-hati di jalan, rukun-rukun terus dan tunggu Sabtu depan kami ke Pangkalpinang." Begitu kata ayah sambil mencium keningku.
"Oke yah...." Aku menjawab sambil mencium tangannya.
"Zamy, jangan ngebut-ngebut nanti ya...." Ayah menyalami bang Zamy yang sudah membawa tas eig*rnya. Di tangannya dia menggeret koperku. Kami juga bersiap akan ke Pangkalpinang. Ayah sudah membunyikan klakson dan melambaikan tangan ke arah kami. Melaju meninggalkan rumah untuk bekerja.
"Ini jangan lupa bawa ini...." Ibu memberikan sebuah tupperw*are bulat besar berisi aneka buah siap santap.
"Jangan ngebut-ngebut Zamy bawa mobilnya. Kalau mengantuk mampir istirahat." Ibu mengingatkan bang Zamy yang masih duduk di kursi plastik berwarna coklat di teras samping.
"Zamy kan nggak bawa mobil bu, ni lagi nunggu dijemput mobil rental." Bang Zamy dengan santai kembali menyeruput sisa-sisa kopi hitam di gelasnya. Aku menatapnya kesal.
"Hati-hati ya Bee di jalan, jangan ngebut-ngebut. Kalau mengantuk ya tidur...." Bang Zamy pura-pura mau menyalamiku. Aku semakin cemberut saja. Namun tak lama kemudian sebuah mobil Avanz* silver masuk ke halaman rumah setelah bang Zamy menerima telponan seseorang. Wajahku seketika berubah. Ingin rasanya langsung menangis sejadi-jadinya, entah tiba-tiba saja sedih datang lagi. Bang Zamy menuju mobil itu masih dengan ransel besar di pundaknya.
"Abang duluan ya Bee..., hati-hati di jalan...." Dia nyelonong meninggalkanku yang kebingungan menuju mobil yang datang. Tak lama kulihat turunlah seorang bapak dan ibu paruh baya seumuran ayah dan ibu dari mobil. Bang Zamy menyalaminya lalu membuka pintu belakang dan menurunkan 2 kantong hitam besar. Ibu juga segera menemui kedua orang tua itu. Mereka kelihatan akrab sekali.
"Ya Allah pak Ali alhamdulillah sudah sehat pak?" Ibu menyalami keduanya.
"Alhamdulillah bu. Untung ada pak dokter kemarin. Kalau tidak mungkin bapak sudah 'disimpan' heheheee...." Si bapak menjawab. Sementara bang Zamy meletakkan satu kantong hitam ke meja dapur dan satu kantong lagi dimasukkan ke dalam mobilku.
"Terima kasih ya nak, kami tidak lama mampirnya hanya nganter itu, lagian kalian mau segera pergi, hati-hati di jalan ya...." Si ibu menyalami ibu dan bang Zamy. Kemudian bergantian bersalaman dengan si bapak. Tak lupa mereka mengangguk, melambaikan tangan dan tersenyum ke arahku. Aku membalas lambaian tangan mereka juga disertai senyum manisku. Tak berapa lama kemudian, mereka kembali masuk mobil dan pergi. Aku bernafas lega. Bang Zamy tidak benar-benar naik mobil dengan orang lain. Kulihat dia mengeluarkan kunci mobilku yang sudah ada di saku celananya.
"Ibu.... kami pamit ke Pangkalpinang lagi ya...." Bang Zamy menyalami ibu dan memeluknya. Dia mengerling kepadaku setelah melemparkan tas ranselnya ke kursi belakang. Aku pun berpelukan sama ibu.
"Jaga diri ya nak..., nanti Sabtu ibu ke sana." Ibu mengecup kedua belah pipiku.
"Ditunggu bu...." Aku lantas berbalik menuju mobilku.
"Silahkan bu..., silahkan duduk." Bang Zamy kembali bertingkah seperti sopir kepada majikannya. Aku mencubit lengan kirinya lalu naik. Ibu melambai-lambaikan tangan tersenyum bahagia. Baru saja mau mundur dari garasi, kulihat bude Marni tergopoh-gopoh dengan lengan baju basah keluar pintu melambai-lambaikan kedua tangannya.
"Stop dulu bang...." Aku meminta bang Zamy menghentikan mobilnya. Kuambil uang seratus ribuan sepuluh lembar dan turun dari mobil. Aku bersalam dan memeluk bude Marni.
"Jangan peluk ah neng dok, budhe basaaahhh...." Bude Marni mundur-mundur mencoba menahanku. Aku tetap memeluknya.
"Ini Naura traktir makan bakso, tapi karena tidak cukup waktu lagi bude beli sendiri ya...." Aku menyelipkan uang satu juta di tangannya.
"Wuuaddduuuhhh ndak usah neng dok, ndak usah. Bude baru dikasih bapak bonus kemarin. Abang dokter juga baru ngasih bude kemarin pas datang...." Bude mau menolak pemberianku.
"Sudah bude, ini namanya rejeki. Jangan- jangan nanti sore dapat juga dikasih kepala dinas." Aku melirik ibuku yang langsung nyengir.
"Jangan ah, nanti bude kaya eeeh..., budhe kaya...." Bude mendadak latah. Ibu tersenyum dibuatnya. Aku kembali ke mobil, dan kami mulai melaju menuju Pangkalpinang. Sementara ibu segera masuk ke dalam rumah. Biasanya langsung menangis karena tak nyaman saat kutinggalkan pergi.
***
Cuaca cerah, matahari yang terang muncul dari ufuk timur sangat pas cahayanya mengarah ke mobil kami. Aku menurunkan penghalang matahari untuk menahan panas.
"Enaknya kalau dari Mentok habis Ashar berangkatnya, karena jalanan sudah teduh dan kita membelakangi matahari. Nah ini, pas menantang matahari." Bang Zamy bicara saat melihatku bolak-balik memasang penghalang matahari.
"Abang juga sih yang mau buru-buru ke Pangkalpinang." Aku bicara tidak benar-benar menyesali.
"Abang kan sudah selesai cutinya. Lha Naura yang masih cuti harusnya tetap di Mentok." Bang Zamy bicara lagi sambil melirikku.
"Ambilin rambutan di belakang dong dek tolong...." Bang Zamy memohon kepadaku. Tangan kirinya mulai menengadah.
"Aku membuka toples berisi buah yang dikasih ibu tadi, tidak kutemukan sedikitpun rambutan di sana.
"Tidak ada rambutannya bang. Anggur mau?" Aku mencoba menawarkan.
"Ada tuh, bukan di dalam toples yang dikasih ibu, tapi yang di kantong hitam besar tuh...." Bang Zamy kembali bicara dengan telunjuk kirinya mengarah ke kantong hitam yang dibawakan orang tadi. Aku menjangkaunya dengan tangan kanan. Setelah kutarik kantongnya, kulihat di jok mobilku sudah nampak ratusan semut bertebaran.
"Kok banyak semutnya bang Zamy?" Aku protes.
"Ya.... sudahlah. Nanti abang bersihkan." Bang Zamy menjanjikan. Aku hanya mengangguk. Kubuka isi kantong hitam yang dibawa bang Zamy berisi rambutan yang merah ranum besar-besar. Aku mengambil tiga buah lalu memberikannya kepada bang Zamy. Dia mencoba membukanya dengan gigitan. Namun belum selesai membelah kulit rambutan bibirnya digigit semut.
"Aw aw aw ada semutnya...." Bang Zamy melepas rambutan.
"Kan sudah Naura bilang...."
"Abang nggak tahu kalau semutnya sebanyak itu." Bang Zamy ngumpat. Aku lantas mengambil rambutan yang jatuh di lantai mobil. Kubuka dengan kedua tangan lantas menyuapkan ke bang Zamy. Dia menatapku penuh arti.
"Terima kasih Bee...." Bang Zamy berterima kasih sambil tangannya sesaat mengelus kepalaku. Kemudian kembali lagi tangannya fokus ke kemudi. Entah kenapa, hanya elusan sesaat saja mampu membuat aliran darahku mengalir lebih cepat dari biasanya. Aku menatapnya lagi, lagi dan lagi. Dilihat dari samping Bang Zamy semakin tampan dan gagah saja. Aku menjadi terpesona, dan menyesali tak menikmati wajahnya yang penuh kharisma. Bahkan sering merajuk kepadanya.
"Kok dari tadi memandang abang terus? Terpesona ya?" Bang Zamy menyadari aku menatapnya dari tadi.
"Ge er saja sih abang. Sebelah mana yang bisa membuat Naura terpesona, susah mencarinya." Aku berbohong. Padahal dari dalam hatiku bicara aku terlambat menyadari ketampanan dokter kesayangan.
"Eh ngomong-ngomong yang mengantar rambutan tadi itu siapa bang?" Aku penasaran. Lagi-lagi bang Zamy menatapku sekilas lalu kembali fokus menyetir.
"Masa lupa? Bukankah dulu Naura sering berjumpa...." Bang Zamy menjawab.
"Sering? Siapa ya...." Aku mencoba mengingatnya.
"Siapa sih bang?" Aku menyerah karena tak mampu mengingatnya.
"Itu orang tuanya si Maya Bee, kemarin omnya pingsan saat lagi menggunting kembang. Kebetulan abang lagi di rumahnya si Jay, abangnya Maya yang sekelas abang waktu SMP dulu, sekarang dia jadi satpolpepe...."
"Kecapean ya?" Aku memotong.
"Iya omnya memang lagi sakit masih jalan obat dokter, katanya mau mencari keringat tetapi kebablasan...." Bang Zamy menjelaskan. Aku mengerti mengapa dompetnya kemarin ketinggalan di rumah Maya. Bang Zamy bukan main sama Maya tetapi main sama Jay, abangnya Maya. Aku tersenyum.
"Kenapa kok jadi senyum-senyum sendiri?" Bang Zamy menanyaiku.
"Ada deh...." Aku merahasiakan. Bang Zamy hanya mendesah maklum.
***
Sekitar setengah perjalanan menuju Pangkalpinang. Di kecamatan Kelapa kami mampir sebentar ke rumah makan untuk membeli air mineral dingin. Haus sekali rasanya di cuaca yang terik. Begitu turun dari mobil bang Zamy langsung memegang erat tanganku. Kami berjalan menuju warung. Hatiku bergetar-getar tak karuan jadinya. Dulu berpegangan tangan bahkan naik di pundaknya bang Zamy aku merasa biasa saja. Namun sejak sepakat akan menikah, aku merasa getaran-getaran aneh lebih sering muncul tiba-tiba saat berada di dekatnya. Sakitnya, aku tidak tahu apa bang Zamy merasakan hal yang sama atau tidak. Entahlah.
"Mau minum apa?" Bang Zamy membuka lemari pendingin.
"Apa saja."
"Yang berasa apa tawar?"
"Yang biasa saja."
"Huh kalau gitu bilang saja mau minum air mineral dingin Bee...." Bang Zamy pura-pura mencibirku. Aku tak peduli. Malah sibuk memilih-milih aneka kemplang yang bergelantungan untuk cemilan di jalan nanti.
****
Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam lebih akhirnya kami sampai ke Pangkalpinang. Aku mengantar bang Zamy ke klinik. Mang Ridwan dan istri menyambut kami dengan riang.
"Naura mau ke rumah sana ya bang...." Aku berpamitan dan kembali ke mobil. Baru saja mau jalan, tiba-tiba sebuah mobil hitam juga berhenti di depan klinik. Nina. Kulihat dia berjalan dengan anggunnya tanpa basa basi kepadaku dan pak Ridwan juga istrinya. Dia langsung masuk ke arah dalam rumah bang Zamy. Kembali hatiku menjerit tak nyaman. Rasa cemburu mulai menggangguku. Aku mencoba untuk tidak memikirkannya dan langsung ingin pergi.
"Nauraaa..., barang abang ada yang tertinggal di dalam." Kubuka pintu mobil. Bang Zamy setengah berlari mengetuk kaca depan mobilku.
"Ambillah rambutan, bawa semuanya." Aku mulai tidak stabil emosinya.
"Abang bukan mau rambutan. Nauraaa..., kamu jangan pergi dek. Di dalam ada Nina. Abang kurang suka bertemu dia sekarang." Bang Zamy memohon. Namun aku merasa sebaiknya aku segera pergi. Lalu kusuruh bang Zamy kembali.
"Jadilah laki-laki yang tidak berlari saat ada masalah. Hadapi Nina dengan caramu sendiri. Katakan saja apa yang seharusnya kamu katakan. Lalu aku menghidupkan mesin mobil, perlahan melaju dengan hati yang tidak tenang. Siang menjelang. Aku pun segera berlalu.