"Kenapa hidupku harus semenyedihkan ini? Aku bukan hanya kehilangan suamiku, tapi aku juga harus memupus harapanku untuk menjadi seorang ibu karena aku mandul. Apa aku tidak pantas bahagia?"
Maharani adalah seorang wanita yang menjadi istri dari seorang pria yang bernama Rendy Wijaya. Awal pernikahan mereka terjalin dengan begitu bahagia dan penuh keromantisan. Namun, setelah 5 tahun menikah dan selama itu juga mereka masih belum juga dikaruniai seorang pun anak, perlahan sikap Rendy mulai berangsur berubah hingga akhirnya ia menghadirkan Celine dalam pernikahan mereka dan mengakibat pernikahannya harus berujung dengan perceraian.
Bagaimana kisah Maharani dalam menjalani kehidupan keduanya dan menyembuhkan luka di hatinya atas pengkhianatan yang dilakukan oleh suaminya? Apakah Maharani akan memperoleh kebahagiaan yang begitu diimpikan? Lantas bagaimana dengan kemandulannya, akankah ada mukjizat yang Tuhan akan berikan untuknya atau selamanya harapan untuk dapat menggend
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Pradita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan Hijrah
Selamat membaca!
Vania terus menenangkan tangisan Maharani dengan mengusap punggung putrinya, sampai suara tangisan itu mulai mereda. Tangisan yang berlangsung cukup lama, hingga tak terasa keduanya sudah menghabiskan banyak waktu di dalam kamar.
"Sayang, apakah kamu sudah merasa lebih baik?" tanya Vania dengan lembut.
Maharani mulai mengurai pelukan keduanya dan duduk berhadapan dengan sang ibu. "Aku sudah baik-baik saja, Mah. Makasih ya Mama sudah mau mendengarkan ceritaku yang sejak semalaman aku pendam. Sekarang perasaanku lega, semua ini karena Mama bisa menguatkan aku."
Vania menganggukkan kepalanya dengan perlahan, walau perasaannya masih begitu terluka atas kesedihan yang dirasakan oleh Maharani karena pengkhianatan yang Rendy perbuat di belakang putrinya. Namun, ia mencoba kuat dan tenang di hadapan Maharani karena tidak ingin menambah beban untuk putrinya yang saat ini sedang terluka.
"Sama-sama, sayang. Sekarang lebih baik kamu cepat pergi mandi, Mama tunggu di ruang makan, tapi enggak pakai lama ya! Mama sudah masak makanan kesukaan kamu soalnya." Vania memang sengaja memasak setelah selesai salat subuh agar ketika Maharani terbangun, putrinya sudah bisa menyantap makanan kesukaannya.
"Wah, terima kasih banyak ya, Mah. Aku kangen banget deh makan masakan Mama. Sudah satu bulan aku tidak main ke sini 'kan. Aku mau makan banyak ah, perutku lapar sekali. Boleh enggak kalau aku makan dulu baru mandi, Mah?" tanya Maharani dengan suaranya yang manja sambil mengerucutkan bibirnya.
"Tidak boleh, mandi dulu baru makan!" jawab Vania seraya bangkit dari posisi duduknya dengan tangan yang bersedekap.
"Ya udah deh. Aku pergi mandi dulu ya, Mah. Tungguin aku ya, Mah, kita makan bareng. Aku mandinya cuma lima menit aja kok!" ucap Maharani dengan segera bergegas melangkah menuju kamar mandi, meninggalkan Vania yang terus menatap tubuh putrinya itu dengan kedua mata yang tampak berkaca-kaca.
"Ya Allah, semoga Maharani bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dan bertanggung jawab dan semoga putriku senantiasa diberikan kesabaran untuk melewati masalahnya yang berat ini," batin Vania dalam hatinya yang masih terasa sakit saat mengingat betapa hancurnya Maharani ketika menceritakan perselingkuhan suaminya.
Vania segera melangkah keluar dari kamar Maharani untuk menuju ruang makan. Ia akan menunggu putrinya di sana yang masih berada di dalam kamar mandi.
Setibanya di lantai bawah, Vania melihat sahabatnya yang bernama Dini sedang mengobrol dengan salah satu pelayannya di rumah.
"Hei, Dini. Kamu datang ke sini pasti mau kasih aku masakan yang kamu buat ya?" tanya Vania yang segera menghampiri sahabatnya itu.
"Eh, bukan Nia. Aku ke sini mau ketemu sama Maharani, katanya si Mba, Maharani sudah pulang sejak semalam ya?" tanya Dini yang terlihat begitu antusias.
Vania mencebik kesal mendengar ternyata Dini datang untuk mencari Maharani dan bukan malah mengantar makanan untuk tetangga yang berada di sebrang rumahnya.
"Ah, kamu ini. Masakan kamu itu harumnya sampai masuk ke rumahku lho, aku kira kamu yang mau kasih masakan kamu ke aku. Lagian ada apa sih kamu cari Maharani sepagi ini? Dia lagi mandi tuh."
"Aku cuma masak sedikit pagi ini, Nia. Nanti deh kalau siang mood masak aku sudah balik, aku masakin buat kamu deh. Masa kamu tanya kenapa aku cari Maharani? Aku tuh kangen banget sama dia, pengen ajak dia belanja ke mall ah, selagi Maharani ada di rumah kamu!" jawab Dini yang memang sangat dekat dengan Maharani karena anak perempuannya telah meninggal dunia akibat mengalami depresi dan trauma yang me dalam dengan kejadian yang dialaminya. Maka dari itulah dia sangat menyayangi Maharani seperti anaknya sendiri, apalagi Maharani adalah sosok yang sangat baik di mata Dini selama ini.
"Dini, jangan ajak Maharani keluar rumah dulu ya. Dia lagi menjalani masa iddah," ucap Vania yang kelepasan hingga membuat Dini merasa cemas.
"Jangan bercanda kamu, Nia. Memangnya apa yang terjadi dengan rumah tangga Maharani sama Rendy? Kenapa mereka bisa berpisah?" tanya Dini yang seketika merasa khawatir.
"Ceritanya panjang banget, Din. Nanti aku ke rumah kamu deh buat ceritain semuanya, tapi jangan sekali-kalinya kamu sampai bahas soal ini di depan Maharani ya, biarkan dia tenang dulu agar mudah mengikhlaskan semua yang terjadi!" ucap Vania yang memperingati sahabatnya itu.
"Ya sudah, ke rumah aku sekarang yuk!" ajak Dini sambil menarik lengan Vania agar mengikuti kemauannya.
"Jangan sekarang dong, Din! Aku mau temani Maharani sarapan dulu, biar aku bisa memastikan bahwa Maharani makannya banyak, soalnya seharian kemarin itu dia pasti tidak selera makan, sampai makanan yang dikirim pelayan malam-malam cuma berkurang sedikit."
Perkataan Vania membuat Dini merasa sangat iba dengan apa yang saat ini dialami oleh Maharani. Hatinya ikut merasa terluka, terlebih selama ini Dini sangat mengenal Maharani sebagai sosok yang periang dan selalu mudah tersenyum.
"Astagfirullah, kasihan banget Putriku. Pasti sekarang dia sangat terpukul karena perpisahan ini," ucap Dini dengan kedua matanya tampak mulai berkabut.
"Doain yang terbaik untuk Maharani ya, Din! Lebih baik sekarang kamu pulang dulu ya, nanti aku pasti datang ke rumah kamu!" pinta Vania pada sahabatnya, agar tak mengganggu putrinya dulu.
"Iya, Nia. Aku titip Maharani ya, jaga dia baik-baik! Aku akan selalu doakan yang terbaik untuk kehidupan Maharani. Aku pamit dulu ya, assalamualaikum." Dini pun melangkah keluar dari rumah Vania untuk kembali masuk ke rumah miliknya dengan perasaan yang tidak tenang. Terlebih setelah ia mendengar kabar Maharani yang saat ini baru saja berpisah dengan suaminya.
Selepas kepergian Dini, tak lama kemudian Maharani mulai terlihat menuruni anak tangga menuju ruang makan. Ia hanya mengenakan pakaian lamanya yang masih berada di dalam almari dan tak memakai make up sedikit pun. Namun, ada yang berbeda dengan penampilan Maharani kali ini yang membuat Vania berdecak kagum dan tak henti-hentinya mengucap syukur.
"Masya Allah. Subhanallah, Putri Mama cantik sekali pakai hijab," ucap Vania dengan kedua mata yang tampak berbinar bahagia.
Setibanya Maharani di hadapan Vania, ia segera menghamburkan kebahagiaannya dalam pelukan sang ibu. "Mah, sekarang aku memutuskan untuk mulai berhijab karena Allah dan Mama telah menuntun aku menuju jalan kebenaran. Makasih ya, Mah karena Mama selalu mengajarkan kebaikan untukku."
Maharani mengakhiri pelukan itu dan menghadiahi sebuah kecupan yang langsung mendarat di permukaan pipi Vania.
"Sama-sama, sayang. Semoga kamu tetap istiqomah ya. Mama bangga banget sama kamu yang sekarang karena berani memutuskan hal yang baik dan benar." Vania mengutarakan rasa bangganya sambil mengusap lengan Maharani dengan perlahan.
"Insya Allah, Mah, aku akan selalu ingat setiap nasihat, Mama. Sekarang kita makan yuk, aku lapar tahu gara-gara kebanyakan nangis karena Mama tanya-tanya soal kejadian kemarin."
Perkataan Maharani membuat Vania tersenyum bahagia, setelah melihat keadaan putrinya yang terlihat jauh lebih tenang daripada sebelumnya. Wanita paruh baya itu pun segera merangkul bahu Maharani dan keduanya melangkah bersama menuju ruang makan. Setibanya di sana, keduanya langsung menempati kursinya masing-masing dan duduk saling berhadapan.
Vania mengambilkan dua centong nasi lalu diletakkannya di atas piring Maharani, tidak lupa ia juga meletakkan beberapa menu lauk kesukaan putrinya. "Makan yang banyak ya, biar kamu sehat terus! Mama tidak mau melihat kamu sampai jatuh sakit karena masalah ini dan sampai mogok makan. Maharani 'kan anak Mama yang selalu doyan makan. Kamu harus ingat hal itu!"
Maharani begitu bersyukur memiliki orang tua sebaik Vania, hanya di rumah ini dirinya bisa menjelma seperti seorang ratu dan diperlakukan dengan sangat baik. "Siap, Mah, aku ucapin terima kasih banyak atas kebaikan Mama, bahkan Mama sampai repot-repot lho menyediakan makanan aku seperti ini padahal aku 'kan bisa sendiri."
"Tidak ada repot sama sekali, sayang! Sudah cepat makanlah, tapi jangan lupa berdoa dulu sebelum makan ya!" titah Vania mengingatkan sang putri tercintanya.
Maharani pun mengangguk patuh dan segera menengadahkan kedua telapak tangannya untuk mulai berdoa sebelum makan. Setelah selesai ia mulai melahap makanan yang sudah ibunya sediakan untuknya.
Saat itu Maharani benar-benar menjadi dirinya sendiri. Ia tidak berusaha tampil sempurna atau seperti yang Rendy inginkan. Bagi wanita itu, semua ini adalah awal dari perjalanan hidup yang baru akan dilalui olehnya. Jalan hijrahnya memang harus ditempuh memalui sebuah perpisahan pahit dengan suaminya, tapi itu tak membuatnya menyesal karena ia percaya bahwa apa yang dijalaninya saat adalah kehendak dari Allah SWT.
...🌺🌺🌺...
Bersambung ✍️
📢 Yuk penuhi kolom komentar.
Berikan gift kalian juga ya.
Terima kasih banyak atas dukungannya.
Follow Instagram Author juga ya : ekapradita_87
makasih ya Thor ceritanya bagus 👍