NovelToon NovelToon
My Lovely Cartel

My Lovely Cartel

Status: sedang berlangsung
Genre:Kriminal dan Bidadari / Nikah Kontrak / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Psikopat itu cintaku / Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: DityaR

Kakak macam apa yang tega menjual keperawanan adiknya demi melunasi utang-utangnya?

Di wilayahku, aku mengambil apa pun yang aku mau, dan jelas aku akan mengambil keperawanan si Rainn. Tapi, perempuan itu jauh lebih berharga daripada sekadar empat miliar, karena menaklukkan hatinya jauh lebih sulit dibandingkan menaklukkan para gangster di North District sekalipun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kakak Tiri

...୨ৎ R A I N N જ⁀➴...

“Dasar jalang!” omel Amilio saat dia mendorongku masuk ke rumah.

Dulu, keluarga kami penuh cinta dan tawa, sebelum Papa sama Minna, Mamanya Amilio meninggal. Sekarang yang tersisa tinggallah keputusasaan dan kekerasan.

Telapak tangan Amilio menghantam tengkukku, membuatku oleng. Aku pun terjatuh ke lantai, kepalaku berdenyut mau pecah. Tasku mental ke bawah meja. Belum sempat bangun, kaki Amilio sudah menyepak sisi kanan tubuhku.

Dulu, waktu pertama kali dia memukulku, mataku lebam. Aku enggak bisa keluar rumah selama dua minggu. Orang-orang menanyakanku terus, dan Amilio kesal. Sejak itu, dia jarang menyentuh wajahku.

“Gara-gara kamu, aku cuma punya sebulan buat cari duit sialan itu! Aku harus jual sebagian aset aku.”

Sepakkan lain pun mendarat di perutku, membuat napasku langsung hilang. Pandanganku kabur, air mata mengalir di pipi, tapi aku cuma bisa terisak sambil menahan sakit. Percuma saja merengek ataupun membantah. Malah membuat Amilio makin mengamuk. Jadi aku meringkuk dalam posisi janin, dan tangan melingkar di perut.

Sepatunya menginjak punggungku, semua berat badannya, dia tekankan ke sana, “Heehh. Suatu hari, aku bakal bunuh kamu,” katanya. Tekanannya hilang, terus aku dengar dia jalan ke ruang tamu.

Bajingan.

Aku bangkit pelan, menahan sakit yang menyebar di perut dan badan. Tas, aku biarkan saja di bawah meja. Dengan menempel ke dinding, aku jalan tertatih sampai ke kamar.

Apakah warisan itu sepadan?

Aku tarik lutut sampai ke dada, tanganku melingkari betis. "Tuhan, aku kangen Papa," isakku.

Aku hampir enggak ingat bagaimana wajah Mama, tapi semua orang bilang kalau aku mirip dia.

Papa sayang banget sama aku sampai dia meninggal. Bahkan waktu menikah lagi sama Minna, semuanya masih sama. Aku merasa beruntung punya Mama tiri yang penyayang, dan kakak cowok. Hidup aku sempurna, sampai mereka berdua meninggal.

Tiba-tiba Amilio gedor pintu kamarku, aku pun terkaget. “Hey, anjing. Beresin ruang tamu!”

Aku pejamkan mata, menelan tangis, terus menjawab, “Iya.”

Dia akhirnya pergi. Aku buka kunci, mengintipnya. Aku lihat pintu kamar Amilio tertutup. Dia pindah ke kamar orang tua, sebulan setelah pemakaman. Waktu aku protes, dia malah menggamparku sampai gigiku hampir rontok. Katanya dia pantas dapat kamar utama, karena sekarang dia menjadi kepala keluarga.

Pertama kali dia menghajarku, aku menangis sejadi-jadinya. Aku enggak paham kenapa dia berubah drastis. Tapi makin lama, aku sadar dia memang berengsek, dia cuma pintar menutupinya dari orang tua kita dulu.

Aku lari ke kamar mandi, minum beberapa butir obat pereda nyeri untuk menahan sakit di sisi tubuhku. Kembali ke ruang tamu, aku ambil tas dari sofa. Pandanganku langsung jatuh ke pecahan kaca di lantai dan tumpahan whisky di dinding.

Aku mendesah berat, "Ya, Tuhaaan." Terus jalan ke dapur ambil alat buat bersih-bersih. "Kamu bisa tahan dua tahun lagi. Kamu butuh warisan itu buat pergi dan mulai hidup baru."

Satu per satu aku pungut pecahan kaca, buang ke tong sampah, lalu mengelap dinding. Begitu selesai, aku balik ke dapur. Itu satu-satunya tempat di rumah ini yang bikin aku tenang. Aku suka banget masak dan bikin kue.

Untuk melupakan semua kekacauan ini, jadi aku mulai bikin Pie apel buat suguhan sore. Sambil mengupas apel satu per satu, ketegangan pun pelan-pelan menghilang. Obat nyeri juga mulai bekerja, dan sakitku agak reda.

Pisauku mengiris tipis sebuah apel. Aku pun mulai melamun, "Seandainya aja suatu hari aku pindah ke kota kecil, ketemu pria baik hati, punya rumah dengan pagar kayu, mungkin tiga atau empat anak, dan hidup sederhana. Terus aku bakal jadi ibu rumah tangga, nyiapin makan malam tiap kali suami pulang kerja. Jauh dari Amilio, jauh dari Marunda."

... ────୨ৎ────...

Setelah ibadah hari Minggu, aku buru-buru ke meja tempat orang-orang biasa berkumpul buat minum teh dan kopi. Aku menyalakan dispenser air panas.

Sudah dua minggu sejak peristiwa di Santera. Amilio makin panik soal utangnya ke Arnold, dan dia melampiaskan semua stresnya kepadaku. Dia bahkan sempat memaksaku menandatangani dokumen yang menyatakan kalau dia akan jadi pewaris kalau nanti aku mati. Aku cuma bisa menggeleng kepala. Dia pikir aku sebodoh itu sampai mau tanda tangani surat kematianku sendiri?

Begitu tanda tangan, jelas dia bakal buang aku. Amilio cuma mau warisan aku, dan dia enggak bakal ragu membunuhku demi uang itu. Ancaman makin besar setiap hari. Aku benar-benar enggak yakin bisa tahan dua tahun lagi. Tapi aku juga enggak tahu harus berbuat apa.

Kalau aku lari ke rumah Tante Susan, Amilio pasti menemukanku di sana. Itu malah bikin Tante Susan dan keluarganya dalam masalah besar, karena mereka juga tunduk sama aturan Marunda. Bahkan kalau aku minta uang ke dia buat kabur, itu tetap bakal jadi masalah. Di dunia ini, enggak ada hal kecil pun yang bisa lolos dari pengawasan Marunda.

“Kamu bawa tiga?” tanya Rissa sambil menghampiriku di belakang meja.

Aku memaksa senyum. “Iya, tapi kayaknya jemaat hari ini lebih ramai dari biasanya.”

“Sisain sepotong buat Pastor Yeskil,” katanya.

Aku mengangguk, buka kotak Pie, taruh sepotong di piring. Sementara Rissa menyiapkan teh buat pastor, aku mulai melayani orang-orang yang sudah mengantri di meja.

Beberapa menit berlalu.

Begitu agak sepi, aku ambil secangkir kopi buat diriku sendiri. Kepalaku masih menunduk waktu suara berat itu terdengar, “Selamat pagi, Rainn.”

Mataku langsung membesar. Cangkir di tangan pun gemetar, dan air panas tumpah ke tanganku. “Aduuuh!!!”

“Kamu baik-baik aja?” Rissa panik.

Dan saat itu juga, Remy Arnold, cowok yang paling bikin aku takut, sudah jalan ke arahku dari seberang meja.

Jantungku pun menggila, mulutku langsung kering. Rissa buru-buru mundur ke ujung meja, jelas enggak mau dekat-dekat sama dia. Enggak ada satu pun orang di sini yang bakal berani melawan Remy Arnold.

Dia ambil kain dari meja, menyeret tanganku, basuh kulitku yang kemerahan gara-gara air panas. Aku pun bengong, bibirku terbuka.

Suaranya masih rendah, berat, waktu dia bergumam, “Kayaknya enggak parah. Lain kali hati-hati.”

Dia gila apa bagaimana?

Dia benar-benar peduli tangan aku?

Aku buru-buru tarik tangan, menelan ludah, terus bertanya, “Mau teh atau kopi, Tuan?”

Mata dia menyempit, diam beberapa detik, dan itu bikin aku makin tegang. Terus dia geleng-geleng pelan. “Ikut aku!”

“Apa?” kejutku. “Kemana?”

Dia enggak menjawab. Cuma berjalan keluar gedung. Benny sama Big Jonny ikut di belakangnya.

Lagi-lagi aku terbengong. Aku enggak pernah lihat Arnold ke gereja sebelumnya. Ini jelas bukan pertanda bagus. Orang-orang di gereja, semuanya memperhatikanku, tapi aku tahu enggak ada satu pun yang berani menolong. Dengan perasaan campur aduk, bingung, takut, aku terpaksa mengikuti dia.

Halaman gereja punya taman hijau. Di belakangnya ada pemakaman tua. Perutku mual. Aku tetap berjaga jarak waktu Arnold berhenti, matanya menyapu nisan-nisan tua yang sudah berlumut. Angin tiba-tiba lewat, membuat gaunku berkibar. Jadi, aku buru-buru genggam ujung kain biar enggak kemana-mana.

Dia masih diam. Aku akhirnya bersuara, “Kenapa. Kenapa Tuan nyuruh aku ikut?”

Satu tangannya masuk ke saku, tangan satunya mengusap dagu. Tatapannya menyempit lagi ke arahku. Dahinya berkerut, “Kamu kelihatan capek.”

Wow.

Itu cara yang halus buat bilang kalau aku kelihatan jelek.

Aku pun refleks cemberut, terus menggeleng cepat. “Jujur aja, ya. Ini bikin aku stress. Bisa enggak, kamu langsung bilang aja kenapa ngajak aku ke sini?”

Astaga, Rainn.

Tutup mulut kamu.

Mungkin karena aku sudah terlalu terbawa rasa takut dan terjebak terus, akhirnya aku malah keceplosan.

Bibir dia sempat hampir terangkat, seperti mau senyum. Cuma sepersekian detik, sebelum balik lagi ke wajah defaultnya yang dingin.

Remy jalan mendekat, dia berhenti tepat di depanku. “Kemarin kakakmu datang nemuin aku.”

“Setengah kakak!” spontan, aku mengkoreksi. Aku benci banget kalau orang menganggap kalau Amilio itu kakakku.

Alis Remy naik. Aku buru-buru minta maaf, “Maksud aku, maaf, aku enggak bermaksud nyela, Tuan.”

“Kamu bisa panggil aku Remy.”

Aku berkedip-kedip, hampir enggak percaya. Selama ini, aku enggak pernah dengar ada orang yang berani memanggil dengan nama itu.

Dia silangkan tangan di dada. Dan gila, dia terlihat makin menyeramkan. “Amilio bilang kamu masih, perawan.”

Apa?

Sialan.

Mukaku langsung panas dan malu.

Aku enggak bisa tersinggung, karena di dunia Marunda, para Boss memang punya hak untuk tahu kondisi perempuan yang sudah cukup umur buat menikah. Biasanya mereka juga yang kasih restu buat pernikahan. Jadi sebenarnya, obrolan seperti ini bukan hal aneh buat Remy. Tapi tetap saja, aku berasa terbakar dari ujung kaki sampai rambut.

Aku pun mengangguk pelan, berharap dalam hati. "Ya, Tuhan. Tolong. Jangan biarkan si berengsek itu jodohin aku ke orang ini."

Mata Remy makin menyempit. “Benar, kamu masih perawan?”

Sial.

Aku mengangguk lagi.

“Kamu enggak pernah pacaran?”

Pipiku makin memerah. Aku pun mengangguk untuk ketiga kalinya.

Tiba-tiba dia ulurkan tangan, meraih rambutku. Refleks aku pun kaget, terbawa trauma dari penyiksaan yang dilakukan Amilio. Jadi aku mundur.

Remy berhenti sebentar, matanya mantap di wajahku. Terus dia memelintir pelan sehelai rambutku di jarinya. “Kamu gemetaran kayak takut dipukul,” komentarnya.

“Kamu bikin aku takut.”

Dia lepaskan rambutku, suaranya rendah, “Tenang. Aku enggak dapat kepuasan dari mukulin perempuan.”

Tapi entah kenapa, itu sama sekali enggak membuatku lega.

1
Dewi kunti
hadeeeeehhh siang2 mendung gini malah adu pinalti
Dewi kunti: iya dooong
total 2 replies
Dewi kunti
bukan tertunduk kebelakang tp mendongak
Dewi kunti
🙈🙈🙈🙈🙈ak gak lihat
Dewi kunti
wis unboxing 🙈🙈🙈🙈🙈moga cpt hamil
Dewi kunti: lha tadi udah dicrut di dlm kan🙈🙈🙈🙈
total 2 replies
Dewi kunti
minta bantuan Remy Arnold aj
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!