Bianca Aurelia, gadis semester akhir yang masih pusing-pusingnya mengerjakan skripsi, terpaksa menjadi pengantin pengganti dari kakak sepupunya yang malah kecelakaan dan berakhir koma di hari pernikahannya. Awalnya Bianca menolak keras untuk menjadi pengantin pengganti, tapi begitu paman dan bibinya menunjukkan foto dari calon pengantin prianya, Bianca langsung menyetujui untuk menikah dengan pria yang harusnya menjadi suami dari kakak sepupunya.
Tapi begitu ia melihat langsung calon suaminya, ia terkejut bukan main, ternyata calon suaminya itu buta, terlihat dari dia berjalan dengan bantuan dua pria berpakaian kantor. Bianca mematung, ia jadi bimbang dengan pernikahan yang ia setujui itu, ia ingin membatalkan semuanya, tidak ada yang menginginkan pasangan buta dihidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aure Vale, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Rencana Pengantin Baru
Dengan langkah riang, Bianca membuka pintu utama rumah orang tuanya, ia tidak sabar untuk memberitahu mama dan papanya jika ia baru saja ditembak oleh teman sekampusnya.
"Mama,"
Bianca berteriak kencang memanggil mamanya, tapi tidak ada sahutan dari mamanya. kening Bianca mengerutkan dahinya, tidak biasanya mamanya tidak membalas teriakkannya, biasanya juga mamanya akan meneriakinya balik, tapi sekarang ini, bahkan rumah terlihat sangat sepi seperti sedang ditinggalkan penghuninya.
"Ma," panggil Bianca melangkah ke arah dapur, ia berpikir mungkin mamanya sedang masak untuk makan siang.
"Mama,"
Bianca semakin mengerutkan keningnya ketika mendapati mamanya sedang berkutat dengan sayuran, ia yakin pasti suaranya terdengar sampai dapur, tapi kenapa mamanya tidak menyahut?
"Ingat pulang rupanya," balas mamanya dengan acuh, sama sekali tidak melihat Bianca yang berdiri di dekat pintu masuk dapur.
"Maksudnya, ma?" tanya Bianca tidak paham.
"Kenapa tidak memberitahu mama dan papa jika kamu dipaksa bibimu itu untuk menggantikan anaknya yang kabur?" tanya Mina tanpa menatap putrinya.
"Maaf ma, awalnya Bianca menolak, tapi begitu bibi memperlihatkan foto Kaivan, tanpa berpikir panjang lagi Bianca menyetujui untuk menikah dengannya," lirih Bianca menundukkan wajahnya karena merasa bersalah.
"Lalu sekarang?" tanya mamanya.
"Bianca janji, secepatnya Bianca akan meminta cerai kepadanya," ucap Bianca cepat.
"Baguslah, mama tidak mau memiliki menantu cacat seperti dia,"
Mendengar itu, Bianca tersenyum kecil, ia perlahan mendekati mamanya dan berisik kecil di dekat telinganya, "mama tenang aja, barusan teman di kampusku baru saja menyatakan cinta kepadaku,"
Sontak Mina menoleh kepada putri nya dan menatapnya lembut.
"Benarkah? Siapa namanya?" tanya Mina antusias.
"Ada deh, besok Bianca bawa ke sini,"
"Jangan bilang, pria yang pernah kamu ceritakan itu?" Mina menatap curiga putrinya.
Bianca tersenyum lebar, ternyata mamanya masih mengingat tentang pria yang pernah Bianca ceritakan dulu kepada mamanya, pria soft spoken juga pintar yang menjadi incaran para wanita di kampus.
"Tunggu, mama bilang tadi kak Della kabur?"
Bianca tiba-tiba teringat dengan ucapan mamanya saat ia baru saja masuk dapur.
Mina mengangguk, "Semuanya memang rencana bibimu, mama di jebak agar tidak bisa datang ke pernikahan yang awalnya untuk sepupumu itu, dan rencana untuk mendorongmu ke dalam kehidupan pria cacat itu akan mulus tanpa ada halangan, Della melarikan diri saat semuanya masih gelap, sepupumu itu tidak menginginkan pendamping yang malah akan semakin membuat kehidupannya menjadi sulit, agar bibi dan pamanku tidak malu, ia mengatakan jika Della kecelakaan dan koma dan membawamu sebagai pengantin pengganti dari Della," beritahu Mina.
Mendengar itu Bianca terkejut bukan main, jadi ia dijebak? apakah Kaivan tahu mengenai jebakan ini? Akan Bianca beri hitungan pria cacat itu.
Baru sehari ia menjadi pengantin baru, sudah banyak sekali kebohongan yang ia ketahui hari ini. Tidak pernah Bianca sangka jika ternyata pernikahan ini memang sudah direncakan oleh paman dan bibinya.
"Ma, Kaivan bersikeras tidak ingin menceraikan aku, bagaimana caranya agar Kaivan menyetujui perceraian ini?" tanya Bianca.
Mina menaruh pisau yang sedang ia gunakan untuk memotong sayuran, ia memusatkan pandangannya kepada putri semata wayangnya.
"Apa kalian resmi menjadi sepasang kekasih?" tanya Mina dengan wajah seriusnya.
Bianca mengangguk, tentu saja ia sudah resmi menjadi kekasih dari seorang Alden, walaupun memang tidak ada pernyataan resmi bibir Alden sendiri, tapi tadi pagi Bianca juga mengatakan jika dirinya menyukai pria pintar itu. Itu sudah cukup menyatakan jika mereka sudah resmi masuk ke dalam hubungan yang lebih serius dari sekedar crush.
"Bawa pacarmu ke hadapan Kaivan, lalu katakan jika kalian saling mencintai dan sudah menjadi sepasang kekasih,"
Bianca menatap mamanya dengan wajah sumringah, mamanya memang paling pintar, di saat seperti ini sangat bisa diandalkan dalam mengambil rencana yang sudah dipastikan akan berhasil.
"Dengan begitu, Kaivan pasti akan menceraikanmu," tambah Mina di dekat telinga Bianca.
***
Dengan perasaan yang ringan, Bianca membuka pintu kamarnya, alias kamar milik Kaivan yang sudah menjadi hak milik mereka berdua.
"Darimana saja?"
Baru saja membuka pintu, suara Kaivan langsung terdengar indra pendengarannya, belum ada dua puluh empat jam Bianca meninggalkan rumah, Kaivan sudah sekepo ini bertanya kemana saja ia seharian ini.
"Apa urusannya denganmu?"
Lauren menaruh sedikit kasar tas nya di atas meja panjang bawah televisi, lalu mengambil baju tidur yang masih ia taruh di dalam koper dan membawanya ke kamar mandi, mengabaikan Kaivan yang sedang duduk di pinggir ranjang.
Sungguh, walaupun di hari pertama ia menjadi pengantin sudah banyak sekali hal-hal yang membuatnya emosi, tapi tidak kalah banyak juga hal-hal yang membuatnya senang.
Seperti tadi contohnya, Alden baru saja mengajaknya ngedate ke mall, lalu membelikannya barang-barang bermerek, lalu saat malamnya mereka Alden membawanya ke tepi pantai untuk menikmati angin pantai, setelah itu ia kembali diantar pulang ke rumah mamanya.
Awalnya ia akan tidur di rumah orang tuanya, tapi mengingat semua perawatan ada di rumah Kaivan, ia membatalkan niatnya, dan berakhir pulang diantar oleh papanya yang waktu baru saja pulang dari lembur.
"Kamu mandi terlalu lama,"
Lagi-lagi suara Kaivan kembali menyapa indra pendengarannya, padahal ia baru saja melangkah keluar dari dalam kamar mandi.
"Kenapa kamu menyetujui untuk menjadi pengantin pengganti jika berujung dengan penyesalan?" celetuk Kaivan membuat gerakan Bianca yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk berhenti.
"Mana aku tahu jika ternyata kamu buta," balas Bianca datar.
Kaivan menghela nafas kasar, apa niatnya untuk menjadikan Bianca bagian dari hidupnya salah? awalnya ia berfikir mungkin tidak apa-apa jika ia menikahi wanita asing, tapi perkataan mama dan
papanya tadi pagi membuatnya berfikir dua kali.
Padahal ia tahu rencana mereka yang bertolak belakang, tapi tetap saja ada beberapa dari ucapan mereka yang mampu membuatnya berpikir berlebihan.
Balas dendam. Sepertinya ia akan menjadikan Bianca alat untuk ia membalas semua perbuatan Della yang menyakiti hatinya. pikirannya benar-benar sangat kacau mengetahui jika ternyata Della menjalin hubungan dengan sahabatnya selama masa kuliah.
Awalnya Kaivan memang tidak berniat melakukan hal jahat ini, tapi mengetahui jika Della ternyata sudah hampir tiga bulan menjalin hubungan dengan pria lain disaat mereka masih jadi sepasang kekasih, membuat Kaivan kalap, Della yang merupakan cinta pertamanya ternyata mengkhianatinya.
"Bisakah kau tidur di sofa, aku tidak mau satu ranjang denganmu,"
Kaivan mengangguk, ia bangkit dan melangkah mendekati sofa tanpa kesulitan, tentu saja ia masih sangat hafal dimana letak barang-barang di apartemennya.
Bianca menatap Kaivan yang hanya duduk dengan pandangan kosong, ia kira butuh perdebatan dulu baru Kaivan akan mengiyakan keinginannya.
"Jangan naik ke atas kasur dan diam-diam tidur di sampingku saat aku sudah tertidur!" peringat Bianca sebelum ia mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur di samping nakas.
Tidak ada sahutan dari Kaivan, Bianca yang memang dasarnya tidak peduli langsung merebakan dirinya di kasur dan menutup tubuhnya dengan selimut.
Ia sama sekali tidak merasa bersalah menyuruh suaminya tidur di sofa, sekalipun ranjang dan tempat ini milik Kaivan, karena menurutnya yang korban di sini adalah dirinya bukan Kaivan.
"Satu bulan lagi," ucap Kaivan pelan yang tentu saja tidak terdengar sampai Bianca.