perjalanan seorang anak yatim menggapai cita cita nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bang deni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di tuduh mencuri Sepatu
Saat sampai di kost annya , Hadi melihat bajunya sudah bersih, wangi dan rapih.
Ia tersenyum, dan terbayang kejadian tadi siang bersama Yuni.
Ia mandi dan berganti pakaian saat melihat jam baru jam 6 30 , dan azan magrib masih berkumandang di masjid yang berada di komplek Muhammadiyah
" Hadiii, ada di rumah ga?" Dari luar terdengar suara panggilan .
" Ya , tunggu sebentar " jawab Hadi, sambil melangkah keluar.
" Eh, bang Made, ada apa?" Tanya Hadi saat mengetahui yang memanggilnya bang Made, salah satu mahasiswa yang ikut ngekost di sana, hanya beda blok
" Tolong belikan kartu domino yah, nanti kau yang ambil tengah" ucap bang Mde memberikan uang berwarna ungu kemerahan dengan gambar Sri Sultan Hamengkubuwono( sepuluh ribu lama).
" Ya bang, main sama siapa aja," tanya Hadi.
" Sama bang Ginting dan Bimo, nanti kau langsung saja ke kamar bang Bimo yah, kami menunggu di sana" ucap nya lagi sambil melangkah pergi.
" ya , nanti aku beli setelah azan selesai" ucap Hadi, Hadi memandang uang yang di berikan oleh bang Made, beli satu slop isi 10 hanya Rp 3500, masih ada sisa Rp 6500, dan itu jumlah yang besar bagi Hadi. bagaimana tidak, dengan uang segitu ia bisa membeli beras yang harganya hanya Rp 550 perkilo,
rencananya hadi akan membeli beberapa dua slop , karena biasanya mereka yang kartunya selalu jelek akan minta ganti kartu baru walau kartu yang sedang di pakai baru di pakai beberapa putaran , dan yang paling Hadi senangi adalah mecabut uang tengah, bila uang di tengah sudah mencapai Rp 30 ribu maka akan di ambil Rp 5 ribu, itu untuk komsumsi bila nanti lapar, tentu saja Hadi yang akan jalan membelikan makanan atau memasakan untuk mereka.
Hadi berjalan menuju toko yang ada di depan gang Dempo, agak jauh tetapi di sana harganya lebih murah , dan lebih lengkap karena Hadi ingin membeli beberapa stock makanan .
" eh Hadi kebutulan ketemu di sini," baru saja Hadi berjalan sampai samping bangunan UML ( Universitas Muhammadiyah Lampung ) yang baru setengah jadi , Hendra mencegatnya. Hendra teman sepermainannya , dulu saat ibu Hadi masih ada mereka sering bermain bersama, dari main gobak sodor, patok lele sampai mengejar layangan putus atau memancing.
" ada apa Ndra?" tanya Hadi heran, karena semenjak ibunya meninggal dan ia sebatang kara Hendra tak pernah main kerumahnya lagi
" loe mau kemana?, di panggil Pak Muis di masjid" ucap Hendra memberitahu kenapa ia mencegat Hadi.
" Pak Muis, ada apa?" tanya Hadi heran, karena ia tak akrab dengan pak muis yang menjadi marbot di masjid Al Ihsan di komplek Muhammadiyah
" ga tahu , gw cuma di suruh manggil doang" jawab Hendra sambil berjalan menunduk seperti ada yang di sembunyikan. Hadi mengikuti Hendra yang berjalan duluan
Saat sampai di sana di masjid sedang ramai berkerumun.
" Nah itu anaknya !" seru seorang pemuda sambil menunjuk Hadi yang sedang berjalan mendekat
" ada apa mas tomo?" tanya Hadi tak mengerti, tiba tiba di tunjuk, ada firasat tak enak di hatinya.
" begini nak Hadi, seorang jemaah kehilangan sepatunya, dan ada yang melihat kamu lewat warung nya membawa sepatu, mana sepatunya?" ucap pak Muis
" pak saya baru keluar dari rumah, mana saya tahu" sangkal Hadi.
" alah mana ada maling ngaku, kalau maling ngaku penuh penjara" celetuk Tomo.
" ada saksi yang melihat kamu membawa sepatu itu, sekarang ngaku saja!" pak muis berkata sedikit keras,
" pak saya benar benar ga tahu, dan hari ini saya baru kali ini ke masjid, siapa yang melihat saya ayo bilang saya mau bertanya langsung!" seru Hadi kesal
" ayo kita kesana" ajak pak Muis , Hadi di bawa ke warung yang ada di samping SD muhammadiyah, di depan rumah Hendra. warung mak Buyung, ia berjualan gorengan dan juga sarapan pagi.
" mak, apa mak ga salah lihat coba mak ingat ingat lagi?" ucap Hadi saat sampai di warung dan bertemu dengan mak buyung
" mak memang sudah tua, tapi belum rabun. mak lihat dengan jelas kalau tadi kamu lewat bawa sepatu pakai baju merah" ucap mak buyung yakin.
"dah ngaku saja!" teriak Tomo. Hadi mengepalkan tangannya
" sekarang saya ga mau tahu , saya ingin kamu membawa sepatu itu ke masjid kami menunggu di sana!" seru pak Muis dan meninggalkan Hadi yang terdiam dalam kebingungan. Hendra , apri, dan ujang masih berdiri di sana,
" kalian yang dari sebelum magrib ada di masjid tapi tak melihat apa lagi aku yang baru keluar dari rumah, dan mak ingat jangan asal bicara Allah ga tidur" ucap Hadi sambil melangkah ke arah gang dakwah, berharap ia bisa menemukan pencuri aslinya yang katanya memakai baju merah.
dalam bingung Hadi melangkah terus matanya melihat kanan dan kiri sepanjang jalan berharap menemukan orang yang mencuri sepatu , namun dari gang dakwah hingga tembus ke gang pelita ia tak menemukan pencuri itu, saat melihat seorang berbaju merah di sebrang jalan , hadi dengan cepat menyebrang, namun melihat penampilannya orang itu jelas ga mungkin karena ia menggunakan motor , sedangkan kata mak buyung orang nya berjalan kaki.
Hadi berjalan terus dalam kebingungan, seperti ini lah rasanya sebatang kara, tak ada yang membelanya walau ia tak bersalah, hatinya terasa sakit namun tak berdaya.
" hei sudah ketemu belum!" saat melewati IAIN yang berada di samping gang palapa suara Tomo terdengar.
" belum" jawab Hadi singkat
" ya ga bakal ketemu lah kan kamu yang ngambilnya, sekarang cepat kembalikan sepatu itu atau aku tusuk kamu!" ancam Tomo
" tusuk, nih kamu pilih, kita lihat siapa yang benar!" tantang Hadi yang ikut terpancing emosi sambil mengangkat baju nya hingga perut dan dadanya terlihat.
" Hei , Berhenti!" satu suara terdengar dari sebrang jalan, tak lama seorang pria datang
" kalian mau jadi jagoan hah!" bentak pria itu, Hadi mengenal yang datang mas Anjas kakak Tomo.
" mas tanyain aja sama adek mas" ucap Hadi , ia sempat melihat jika Tomo memegang belati di tangannya,
" kamu ini makin jadi aja tomo!, Hadi pergilah biar Tomo mas yang urus" ucap mas Anjas , mas Anjas seorang guru mungkin itu yang membuat pikirannya lebih bijak daripada Tomo yang sudah lulus SMA tetapi masih nganggur.
" ya mas" ucap Hadi sambil berjalan lagi menyusuri jalan di depan UBL ( Universitas Bandar lampung)
" Hadii, Tunggu" teriak satu suara dan Hadi hapal jika itu suara Bang Made.
" eh Bang maaf aku belum beli Kartunya" ucap hadi menyerahkan uang sepuluh ribu pada bang Made,
" gampang itu, ayo ikut dulu , kita bereskan dulu masalah kamu" ucap Bang Made menarik tangan Hadi kembali ke masjid.
semua di panggil, dari Hendra dan mak buyung
" Pak Muis, saya mau tanya kapan sepatu itu hilang?" tanya Bang Ginting , ternyata selain bang Made , mas Bimo, bang Ginting dan juga kak Endang datang di masjid itu.
" sekitar Jam 6 30 an bang" jawab Pak Muis ,
" aku manggil hadi jam 6 35 karena aku minta di belikan sesuatu, coba kalian pikir, dan emak jangan asal bicara, aku empat tahun belum pernah melihat Hadi memakai baju warna merah." kata bang Made, karena memang Hadi tak mempunyai baju berwarna merah , pernah punya juga dulu baju partai PDI tetapi di berikan pada Andri karena ia tak suka warnanya
" nah sekarang mau bagaimana, kalau kalian masih menuduh yang mencuri sepatu maju , sini!" seru Bimo yang kesal melihat hadi di tuduh mencuri , semua menunduk, Bimo seperti namanya tubuhnya tinggi besar orang harus berpikir dua kali menghadapi nya.
" ayo kita Pulang!' ajak Bang Ginting, Hadi mengikuti mereka berjalan melalui jalan setapak di sisi rumah Hendra.
" terima kasih ya bang" ucap Hadi tulus , ia tak menyangka mereka mau membantunya
" jangan kau pikirkan , ayo kita beli kartu!' ajak mas Bimo, ia sendiri sudah nangkring di motor mega pronya. Hadi mengangguk dan naik ke boncengan ,
di terpa angin malam pikiran Hadi menjadi tenang, namun matanya penuh dendam, ia akan membuktikan pada mereka jika dirinya yang sebatang kara bukan orang yang bisa di remehkan.