NovelToon NovelToon
MANTAN TENTARA BAYARAN: IDENTITAS ASLINYA SEORANG MILIARDER

MANTAN TENTARA BAYARAN: IDENTITAS ASLINYA SEORANG MILIARDER

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Mata-mata/Agen / Trauma masa lalu / Action / Romantis / Crazy Rich/Konglomerat
Popularitas:10.5k
Nilai: 5
Nama Author: BRAXX

Mereka memanggilnya Reaper.

Sebuah nama yang dibisikkan dengan rasa takut di zona perang, pasar gelap, dan lingkaran dunia bawah.

Bagi dunia, dia adalah sosok bayangan—tentara bayaran tanpa wajah yang tidak meninggalkan jejak selain mayat di belakangnya.

Bagi musuh-musuhnya, dia adalah vonis mati.

Bagi saudara seperjuangannya di The Veil, dia adalah keluarga.

Namun bagi dirinya sendiri... dia hanyalah pria yang dihantui masa lalu, mencari kenangan yang dicuri oleh suara tembakan dan asap.

Setelah misi sempurna jauh di Provinsi Timur, Reaper kembali ke markas rahasia di tengah hutan yang telah ia sebut rumah selama enam belas tahun. Namun kemenangan itu tak berlangsung lama. Ayah angkatnya, sang komandan, memberikan perintah yang tak terduga:

“Itu adalah misi terakhirmu.”

Kini, Reaper—nama aslinya James Brooks—harus melangkah keluar dari bayang-bayang perang menuju dunia yang tak pernah ia kenal. Dipandu hanya oleh surat yang telah lusuh, sepotong ingatan yang memudar, dan sua

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PENJAGA SURAT

Jet pribadi itu berhenti dengan mulus di landasan terpencil di luar Crescent Bay. Langit mulai berubah menjadi senja berdebu, memancarkan rona jingga lembut di atas garis pantai yang berkilau dan langit kota yang gemerlap di kejauhan. Pintu pesawat terbuka dengan desahan halus, tangga turun terbentang.

James turun tanpa sepatah kata.

Di bawah, seorang pria berpenampilan rapi berusia awal tiga puluhan sudah menunggu. Blazer gelap di atas turtleneck, sarung tangan hitam, janggut rapi, dan kacamata hitam model aviator yang diselipkan ke rambutnya yang licin.

Ia melangkah maju dengan anggukan sopan. “Tuan James? Saya Lukas—sopir Anda.”

James mengangguk samar, matanya menyapu sekeliling.

Lukas adalah tipe orang yang bisa berbaur di kalangan orang kaya—mantan valet yang menjadi sopir pribadi, tenang, dapat dipercaya, dan terlatih untuk tidak mencampuri urusan majikannya. Dia direkrut melalui salah satu saluran biasa milik Paula, dan sama sekali tidak tahu siapa sebenarnya pria yang dia layani. Hanya tahu bahwa nama majikannya bisa membuka pintu-pintu yang tertutup bagi orang biasa.

“Saya diberitahu Anda lebih suka perjalanan yang tenang. Alamatnya sudah dimasukkan dalam sistem,” kata Lukas sambil membuka pintu mobil Rolls-Royce Ghost berwarna hitam legam, mesinnya berdengung lembut seperti predator yang sedang beristirahat. Bagian dalamnya beraroma kulit baru dan kemewahan.

James masuk tanpa bicara.

Saat mereka melaju keluar dari gerbang bandara dan memasuki jalanan kota Thai City yang bercahaya, pandangan James tetap tertuju ke luar jendela. Kota itu telah tumbuh sejak terakhir kali ia ingat—gedung-gedung lebih tinggi, jalan lebih bersih, lampu lebih terang—tetapi udara masih membawa aroma garam dan karat dari pelabuhan.

Dan ketika mereka berbelok ke kawasan perumahan yang lebih tenang, yang ditandai di surat lama itu, waktu terasa melambat.

Rumah-rumah yang familiar—tua, sederhana, namun bermartabat—berdiri berjajar panjang, beberapa telah direnovasi, lainnya masih bertahan dengan pesona lamanya. Jemarinya sedikit bergetar saat kenangan mulai menyeret dadanya seperti ombak.

Lalu, ia melihatnya.

Rumah itu.

Dua lantai, cat biru pucat yang hampir memudar menjadi putih. Pagar kayu putih, sedikit miring ke satu sisi. Sudah beberapa kali diperbaiki dan dicat ulang selama bertahun-tahun, tapi tulangnya masih sama.

Dia melangkah turun perlahan.

Dan menaiki anak tangga menuju beranda.

Tangannya terangkat untuk mengetuk... tapi sesaat, dia berhenti di udara—tergantung di antara waktu. Lalu, dengan ketukan lembut, buku jarinya menyentuh kayu.

Pintu terbuka.

Seorang gadis—ah tidak, seorang wanita muda—berdiri di sana. Tanpa alas kaki, mengenakan hoodie ungu muda, rambut gelapnya terurai longgar di satu bahu. Matanya, hazel lembut dengan semburat keemasan, membesar saat bertemu dengan wajahnya.

Kecantikannya adalah jenis yang tenang—tidak mencolok atau dibuat-buat, tapi menenangkan, seperti cahaya pagi setelah hujan. Kehangatan yang tidak berusaha memikat. Kulitnya tersentuh lembut oleh matahari, dan bintik-bintik kecil menari di pangkal hidungnya.

Dia tidak langsung bicara.

Tatapannya menyapu perlahan—tubuh yang ramping, postur waspada, keheningan yang menyelimutinya seperti baju zirah. Berat di matanya, ketenangan dalam sikapnya, cara ia berdiri seperti seseorang yang lebih sering pergi daripada kembali.

Namun ada sesuatu dalam hatinya yang bergetar. Seperti bertemu nama yang terlalu lama hidup di atas kertas.

Sekilas kesadaran melintas di wajahnya.

“...Kau James,” katanya pelan, lebih seperti sebuah kepastian daripada pertanyaan.

Lalu lebih lembut lagi, “Bukan begitu?”

Bibir James sedikit terbuka, tapi dia tidak berbicara. Dia hanya mengangguk.

“Aku Clara.”

Dia menyingkir, memberi jalan. “Masuklah.”

Ruang tamu beraroma buku-buku tua dan lilin melati. Musik lembut terdengar dari ruangan lain.

Clara memandangnya diam-diam selama beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Aku tahu suatu hari kau pasti akan datang.”

James tetap berdiri, matanya menyapu interior rumah itu, samar-samar familiar tapi kini dengan sentuhan tangan yang berbeda. Clara berjalan di depannya, menuntunnya perlahan ke ruang tamu.

“Kau tidak mengenalku,” katanya sambil duduk di tepi sofa tua. “Tapi aku sudah mengenalmu hampir sepanjang hidupku.”

Dia menunjuk ke meja di samping, di mana sebuah kotak keramik diletakkan. “Ibumu... Sophie... mengirim surat ke sini setiap tahun. Pada hari ulang tahunmu. Dia tidak pernah menyerah. Tidak sekali pun. Selalu menulis pesan yang sama di amplopnya—‘Tolong berikan ini pada putraku, jika suatu saat dia kembali kesini.’”

James perlahan mengeluarkan surat dari sakunya—yang dia bawa sejak dari province. Mata Clara melirik ke arah itu.

“Itu dia,” katanya lembut, “yang tidak pernah sampai ke sini. Tiga tahun lalu, kami menunggu, tapi tidak ada yang datang. Aku pikir mungkin... mungkin kau sudah kembali. Bahwa dia akhirnya menemukanmu. Tapi kemudian, tahun berikutnya, surat itu datang lagi.”

Dia berdiri, berjalan ke sebuah lemari kecil, dan membukanya. Dari dalam, dia mengeluarkan sebuah kotak logam tua. Dia membawanya ke hadapan James, dan meletakkannya dengan hati-hati.

“Semuanya ada disini. Setiap surat. Sejak aku berumur lima tahun.”

James menatapnya untuk pertama kali—benar-benar menatapnya.

“Orang tuaku membeli rumah ini setelah ibumu pergi. Dia tidak meninggalkan apapun kecuali surat-surat itu. Ketika surat pertama datang, ditujukan pada nama yang tidak kami kenal, kami bingung. Ayah dan ibuku menyimpannya dengan aman. Mereka mengatakan aku bisa menjadi penjaganya. Jadi aku menunggu setiap tahun bersama mereka... dan mulai menunggumu juga.”

Dia tersenyum kecil. “Kedengarannya bodoh, ya. Tapi kau menjadi bagian dari hidupku bahkan tanpa ada di sini.”

James membuka kotak itu. Surat demi surat, semuanya dalam tulisan tangan yang sama—lembut, penuh harapan.

Dia tidak menangis.

Namun sesuatu terjadi di dalam dirinya—sebuah retakan, sebuah perubahan—beban Reaper bergeser di dadanya.

Clara berdiri pelan dan meninggalkan ruangan, memberi waktu untuknya sendiri.

Dan untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun, James duduk bersama bayangan masa lalunya... bukan sebagai Reaper, sang pembunuh, tapi sebagai seorang anak.

Ruangan itu hening.

James duduk dengan kotak surat di pangkuannya, diterangi cahaya lampu redup dan aroma lembut melati. Rumah itu, meski telah berubah, masih bernafas dengan kenangan. Jarinya bergerak di atas tepi kertas—beberapa masih kaku, beberapa menguning, tapi semuanya terjaga. Sebuah amplop bergetar sedikit di tangannya. Tulisan tangan itu. Cara ibunya selalu menuliskan namanya—James—dengan lekukan lembut, seolah percaya suatu hari ia akan melihatnya.

Dua tidak menangis.

Tapi sesuatu di dalam dirinya hancur pelan. Sebuah retakan. Sebuah keheningan yang pecah.

Untuk semua nyawa yang telah dia ambil, semua topeng yang dia kenakan, semua nama yang pernah dia sandang—ini pertama kalinya dia benar-benar merasakan sesuatu yang nyata menembus dinding hatinya. Bukan penyesalan. Bukan rasa bersalah. Hanya... kehilangan.

Dia menunduk, menekan buku jarinya ke bibir. Napasnya bergetar. Kotak itu tetap terbuka, dan surat-surat itu berbisik kenangan yang terlalu berat untuk diucapkan.

Waktu berlalu tanpa terasa.

Lalu terdengar langkah kaki lembut dan bunyi halus gelas keramik.

Clara muncul kembali, membawa dua cangkir.

“Aku tidak tahu kau suka yang seperti apa,” katanya pelan sambil menyodorkan satu. “Jadi... hitam saja. Seperti kebanyakan pria hilang dalam cerita.”

James menampilkan senyum tipis dan mengambil cangkir itu.

Clara duduk di kursi seberangnya, kakinya dilipat ke atas.

Untuk beberapa saat, mereka hanya diam. Lalu, perlahan,

“Dari mana saja kau selama ini?” tanyanya lembut, penuh rasa ingin tahu, tapi juga penuh pengertian. “Aku tidak perlu tahu semuanya. Aku hanya... penasaran.”

James tidak langsung menatapnya. Lalu dia berkata pelan, serak, seolah-olah suaranya asing bagi dirinya sendiri, “Jauh. Di tempat-tempat di mana seorang anak kecil seharusnya tidak pernah berada disana.”

Clara tidak menyela.

“Aku tidak ingat banyak pada awalnya. Hanya potongan-potongan kecil. Lalu nama-nama. Lalu aku berhenti menggunakannya.” dia menatap ke depan, matanya lebih gelap dari ruangan itu. “Tapi dia... dia tidak pernah berhenti.”

Clara mengangguk. “Dia memang tidak pernah berhenti.”

“Namaku tidak lagi James untuk waktu yang lama,” lanjutnya, seolah-olah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa nama itu masih miliknya. “Tapi... aku tidak pernah berhenti merasa seperti seseorang sedang menungguku.”

“Itu dia,” kata Clara lembut. “Dan... kurasa aku juga.”

Keheningan sejenak. Rumah itu berdetak pelan, seolah ikut mengingat semuanya.

“Orang tuaku sedang berlibur,” kata Clara tiba-tiba, mencoba meringankan suasana. “Aku tinggal di sini—minggu ujian akhir. Aku kuliah di Crestent Bay University. Jurusan sastra.”

James mengangkat alis. “Buku dan surat-surat lama. Masuk akal.”

Dia tersenyum. “Tertangkap basah. Kalau kau sendiri?”

Dia menyesap kopinya. “Aku... bekerja untuk seseorang. Sering bepergian. Aku tidak selalu... berada di satu tempat.”

Clara memiringkan kepala. “Apakah itu berarti kau akan pergi lagi?”

Dia tidak langsung menjawab. “Aku hanya datang untuk surat itu.”

Hening sesaat. Tatapannya turun. “Aku tidak menyangka semua ini.”

“Aku senang kau datang.”

“Aku pikir dia juga akan senang.”

Keheningan kembali, tapi kali ini terasa lebih lembut.

Akhirnya, James berdiri. “Aku harus pergi.”

Clara mengantarnya ke pintu. “Kau akan datang lagi kesini?”

Dia ragu sejenak. “Aku tidak tahu apakah aku masih berarti apa-apa bagi tempat ini.”

“Kau adalah anaknya,” kata Clara. “Itu sudah cukup.”

Dia melangkah keluar ke malam.

Saat pintu tertutup di belakangnya, James berjalan perlahan ke arah Rolls-Royce. Lukas sudah menunggu, berdiri di samping mobil.

“Sudah siap, Tuan?”

James mengangguk dan masuk ke dalam mobil.

Mobil itu meluncur perlahan melewati jalanan sepi.

Di dalam mobil, ketika lampu kota berkelebat di luar jendela, James mengeluarkan ponselnya. Sebuah berkas dari Paula sudah menunggu—bertanda RAHASIA: Parker, Sophie.

Dia membukanya.

Sophie Parker (sebelumnya Sophie Brooks)

Lahir tahun 1991, Crestent Bay

Lulusan terbaik di kelasnya. Cerdas. Bersemangat.

Menikah dengan kekasih SMA-nya pada usia 18 tahun—Simon Brooks, CEO muda Brooks Logistics.

Pada usia 24 tahun, Simon meninggal dalam kecelakaan mobil setelah kebangkrutan bisnis mendadak—yang kemudian diyakini akibat sabotase korporasi.

Bulan yang sama, putra mereka yang berusia enam tahun menghilang. Diculik. Tidak ada jejak. Tidak ada tuntutan. Kasusnya menjadi dingin.

Dia menghabiskan bertahun-tahun mencari. Tidak pernah berhenti.

Perjalanan karier:

Bekerja sebagai asisten eksekutif di Hadrian Corp.

Naik pangkat berkat ketekunan dan kecerdasan strategisnya.

Menikah dengan Julian Parker, seorang manajer logistik yang berhati lembut.

Memiliki anak kembar (laki-laki & perempuan): Chloe dan Felix (usia 5 tahun).

Status saat ini:

Julian Parker koma selama 11 bulan setelah kolaps karena penyakit jantung langka. Tagihan medis menumpuk. Berjuang dalam diam, baru-baru ini Sophia diancam oleh penagih hutang.

1
Zandri Saekoko
author
kapan lanjutan sistem kekayaan itu author tiap hari saya liht tapi blm ada lanjutan
Rocky
Ternyata ini misi terakhir secara tersirat yang dimaksudkan Sang Komandan..
Zandri Saekoko
mantap author
lanjutkan
Zandri Saekoko
mantap author
king polo
up
king polo
update Thor
king polo
up
king polo
update
july
up
july
update
Afifah Ghaliyati
up
Afifah Ghaliyati
lanjutt thorr semakin penasaran nihh
eva
lanjut thor
eva
up
2IB02_Octavianus wisang widagdo
upp lagi broo💪
Zandri Saekoko
lanjut thor
Wulan Sari
lanjut Thor semangat 💪👍❤️🙂🙏
Coffemilk
up
Coffemilk
seruu
sarjanahukum
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!