Mursyidah Awaliyah adalah seorang TKW yang sudah lima tahun bekerja di luar negeri dan memutuskan untuk pulang ke kampungnya. Tanpa dia tahu ternyata suaminya menikah lagi diam-diam dengan mantan kekasihnya di masa sekolah. Suami Mursyidah membawa istri mudanya itu tinggal di rumah yang dibangun dari uang gaji Mursyidah dan bahkan semua biaya hidup suaminya dan juga istrinya itu dari gaji Mursyidah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HALUSINASI MURSYIDAH
Mursyidah berusaha untuk bangkit dari berbaring menggapai tangan yang terulur padanya. Namun, badannya masih terasa sangat lemah. Dia hanya dapat memandang ibunya yang berdiri menatapnya. Wanita muda yang terbaring lemah itu melihat sosok ibunya yang telah tiada, dengan senyum yang hangat dan lembut, seolah-olah mengajaknya untuk mengikuti. Mursyidah merasa hatinya dipenuhi dengan rasa damai dan nyaman, seperti ada suatu kekuatan yang tak terlihat yang memberinya kekuatan.
Dengan mata yang mulai kabur, dia melihat sosok ibunya semakin dekat, dan dia bisa merasakan kehangatan tangan ibu yang dia rindukan.
"Ibu..." bisiknya lembut, sementara air matanya mengalir tanpa suara.
Dalam sekejap, dia merasa seperti berada dalam pelukan hangat ibunya, tempat yang paling aman di dunia ini. Meskipun sadarnya mulai memudar, dia tahu bahwa ibu selalu ada di sampingnya, menjaga dan melindungi. Dengan senyum lembut, dia menutup matanya, merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja karena ibu ada di sana.
"Aliya... kenapa kamu jadi begini nak? Ibu sedih kalau melihat anak ibu seperti ini. Ayo berusahalah untuk
Sembuh. Kasihan Aini dan Amar kalau melihat kamu seperti ini. Bangunlah nak!"
Dengan mata yang masih terpejam Mursyidah menggeleng lemah. Ibunya duduk di sebelahnya dan membelai lembut kepalanya.
"Aku cuma mau sama ibu," lirihnya nyaris tidak terdengar. "Aku lelah bu... Mas Gunadi juga tidak menginginkanku, lebih baik aku sama ibu saja. Ayo bu, bawa aku!"
Mursyidah berusaha mengangkat tangannya yang terasa berat, menggapai-gapai pada ibunya yang diam mematung.
"Belum waktunya kamu ikut dengan ibu, bangunlah nak. Temui adik dan anakmu, mereka berharap kesembuhanmu. Bangunlah nak!"
Mursyidah tidak mengindahkan perintah ibunya, enggan membuka matanya, dia takut untuk bangun dan takut jika matanya terbuka ibunya akan menghilang dari pandangannya. Rasa takut kehilangan itu begitu kuat, seperti benang tipis yang mengikatnya pada mimpi indah ini. Dia membiarkan dirinya tetap terbaring diam, menikmati hangatnya pelukan ibu yang hanya ada dalam imajinasinya. Dalam hati, dia berharap ini bukan hanya mimpi, berharap bisa kembali merasakan pelukan hangat ibunya, mendengar suaranya yang lembut, dan melihat senyum lembut yang selalu memberinya rasa aman. Tapi, ada bagian kecil dari dirinya yang tahu bahwa ini
Mungkin hanya ilusi, bahwa ibunya sudah pergi dan tak akan kembali. Meski begitu, dia memilih untuk tetap berada dalam mimpi ini, menikmati setiap detik yang bisa dia miliki, seolah tak ingin terbangun dari kebahagiaan palsu ini.
"Aliyah ayo buka matamu, bangun..."
Mursyidah kembali mendengar suara yang menyuruhnya untuk bangun. Suara itu terdengar pelan dan sayup, ia yakin itu adalah suara ibunya. Perlahan ibunya berdiri dan meninggalkanya. Mursyidah berusaha ingin menahan namun dia tidak sanggup. Suaranya tidak dapat keluar dan tenaganya pun terlalu lemah untuk mengangkat tangan agar dapat menggapai ibunya. Langkah ibunya semakin menjauh, tapi suara ibunya semakin jelas terdengar menyuruhnya untuk bangun dan dia pun merasakan tangan yang mengguncangkan tubuhnya.
Aliyah... bangunlah...
Mursyidah membuka matanya perlahan, ia ingin melihat siapa orang yang membangunkannya. Mursyidah berharap ibunyalah yang ada di sisinya saat ini. Samar-samar Mursyidah melihat seraut wajah yang begitu mirip dengan ibunya, akan tetapi wajah itu masih sangat muda.
"Mbak, mbak Aliya... ayo bangun mbak! Jangan tinggalin aku sendiri mbak, aku nggak mau kamu juga pergi meninggalkan mbak. Kamu harus sembuh, bangun mbak!"
Mursyidah melihat Aini yang berdiri di sebelah tempat tidurnya sambil menangis. Sementara tangannya sibuk mengguncang tubuh Mursyidah.
"Aini, ini kamu? Ibu mana?"
Aini tersenyum melihat kakaknya sudah bangun.
Gadis itu buru-buru menghapus airmatanya.
"Iya mbak ini aku, Aini. Nggak ada ibu di sini mbak, ibu kita kan sudah meninggal mbak. Ibu sudah nggak ada masa kamu lupa?"
"Tapi tadi ibu di sini, dia bahkan membangunkan mbak barusan," bantah Mursyidah.
"Tidak mbak. Tadi saat sampai di sini kamu pingsan.
Hampir satu jam kamu pingsan, itu cuma mimpi! Atau halusinasi mbak saja jika ibu ada di sini. Ini di UGD rumah sakit mbak," Ujar Aini menjelaskan.
"Halusinasi?" gumam Mursyidah pelan seolah bertanya pada dirinya sendiri.
Apa iya dirinya berhalusinasi? Tidak! Dia tidak percaya! Dia tahu ini di UGD rumah sakit dan dia masih ingat jika yang menemaninya saat ke rumah sakit tadi adalah mbok Walijah dan kedua cucunya bahkan tadi Mursyidah sempat melihat pak Paiman sopir taksi yang pernah dua kali di tumpanginya. Mursyidah melihat pak Paiman di depan gerbang UGD. Dan satu lagi, Mursyidah juga melihat seseorang yang pernah duduk di sebelahnya dalam bis damri saat pulang dari bandara beberapa waktu yang lalu.
Syukurlah mbak kamu sudah sadar, sebentar lagi kamu mau di bawa ke ruang rawat." Perkataan Aini memutus lamunan Mursyidah.
"Ruang rawat?" Mursyidah baru menyadari jika di tangan kirinya telah terpasang selang infus.
Hum! Aini mengangguk sambil menggenggam tangan Mursyidah yang sudah mulai hangat. Sebelumnya tangan kakaknya itu sangat dingin. Mursyidah menyibak tirai yang menutupi tempat tidurnya dan memandang sekelilingnya, mencari dua orang yang tadi dilihatnya. Kemana dua orang yang sempat masuk ke dalam UGD tadi? Tidak mungkin bertanya pada Aini karena adiknya itu tidak mungkin tahu. Apa iya pak Paiman dan lelaki yang dilihatnya itu juga halusinasi sama seperti melihat ibunya tadi. Ah, lalu bagaimana juga dengan Mbok Walijah dan kedua cucunya? Kemana mereka sekarang? mengapa mereka juga menghilang dan yang ada hanya Aini?
"Aini, siapa yang memberitahu kamu kalau mbak ada di sini? Mana Mbok Jah, Dika dan juga Fira?"
"Tadi subuh Dika mengabari aku kalau mbak sakit dan tidak mau makan. mbok Jah menyuruh aku pulang. Saat dalam perjalanan, Dika bilang kalian sudah berangkat ke rumah sakit, ya sudah aku langsung ke sini begitu sampai terminal."
"Terus sekarang mbok Jah mana?" potong Mursyidah penasaran.Dia tidak tahu yang mana sebenarnya halusinasinya.
Tadi saat datang dia bersama Mbok Walijah, Handika dan Zafira dan dia masih sadar. Mursyidah juga sangat yakin melihat pak Paiman dan lelaki yang bersamanya saat naik bis damri dulu. Mursyidah hanya memejamkan mata sebentar dan ibunya menyuruhnya bangun, tapi mengapa semuanya menghilang saat dia membuka matanya. Dan saat ini yang ada hanya Aini, adiknya yang sedang berkuliah di kota lain.
"Mbok Jah dan Fira lagi di kantin sedang makan, katanya mereka belum sarapan. Sedangkan Dika pulang ke rumah untuk mengambil pakaian. Kata dokter mbak harus dirawat beberapa hari di sini. Tadi mbak hampir satu jam pingsan dan mengigau juga."
"Pingsan satu jam? Mengigau?"
Hmm... Aini kembali mengangguk dan tersenyum kecil melihat mimik wajah kakaknya yang terlihat lucu. Wajah kakaknya itu seperti anak kecil yang aneh dan bingung melihat suatu keajaiban dan baru dilihatnya.
"Iya mbak tadi manggil-manggil ibu dan juga cerita tentang Mas Gun. Tadi ada ibunya temen aku di kasur sebelah ikut mendengar ocehan mbak. Sekarang dia sudah pulang, dia mendoakan mbak biar cepat sembuh."
Mursyidah melongo mendengar penjelasan Aini. Apa tadi saat tidur dirinya berteriak-teriak. Mursyidah takut jika dirinya menceritakan masalah rumah tangganya tanpa sadar dan semua orang mendengarkannya.
"Apa semua orang mendengar suara mbak saat mengigau tadi?"
"Nggak mbak... Mbak hanya mengoceh pelan dan lagi pula tidak banyak orang kok di sini, hanya ibu sama kakaknya teman aku. Sudah mbak, jangan berhalusinasi lagi ya mbak. Kata mbok Jah, mbak suka melamun. Jangan lakukan itu lagi! Ini kenyataan mbak yang harus kamu hadapi. Aku memang tidak mengalami apa yang kamu alami tapi aku bisa merasakannya mbak. Balas mereka yang telah menghinamu mbak, buat suamimu menyesal meninggalkanmu. Ayo mbak semangat!!"
Aini menggenggam erat tangan Mursyidah hingga kakaknya itu mengaduh kesakitan karena selang infusnya tidak sengaja tertarik. Mursyidah mengangguk cepat, menyetujui kata-kata adiknya. Ini bukan halusinasi lagi, ini adalah kenyataan yang harus dia hadapi.
"Ai, nanti kalau mbak sembuh kita ke pesantren Amar lagi ya... Mbak kangen Amar."
"Iya mbak... yang penting mbak sehat dulu," jawab Aini sambil tersenyum. Dua bersaudara itu sama-sama tersenyum bahagia dan saling memberi dukungan.
aku suka cerita halu yg realitis.