Diambil dari cerita weton Jawa yang populer, dimana seseorang yang lahir di hari tersebut memiliki keistimewaan di luar nalar.
Penampilannya, sikapnya, serta daya tarik yang tidak dimiliki oleh weton-weton yang lain. Keberuntungan tidak selalu menghampirinya. Ujiannya tak main-main, orang tua dan cinta adalah sosok yang menguras hati dan airmata nya.
Tak cukup sampai di situ, banyaknya tekanan membuat hidupnya terasa mengambang, raganya di dunia, namun sebagian jiwanya seperti mengambang, berkelana entahlah kemana.
Makhluk ghaib tak jauh-jauh darinya, ada yang menyukai, ada juga yang membenci.
Semua itu tidak akan berhenti kecuali Wage sudah dewasa lahir batin, matang dalam segala hal. Dia akan menjadi sosok yang kuat, bahkan makhluk halus pun enggan melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjadi abu
"Dia berbohong! Lebih baik bunuh saja dia! Bakar! Dia itu dukun sesat, Jangan sampai dia mengorbankan anak dan cucu kalian!"
Begitulah Rohman dan Darminah terus memprovokasi warga yang berjumlah 20an orang itu.
"Jangan! Suamiku tidak mungkin melakukan hal itu. Aku berani bersumpah!" bela Mbah Mirah.
Namun akhirnya warga yang sejak tadi diam sudah terprovokasi juga, walaupun sebagian tidak ikut memukuli Mbah Suro, tapi mereka hanya diam saja menyaksikan pemukulan dan penyiksaan itu tanpa berniat melerai apalagi menolong.
"Mas Suro, suamiku....! Jangan sakiti suamiku!" teriak Mbah Mirah menyaksikan suaminya mencoba melawan tapi akhirnya kalah dan di pukuli.
Perlawanan Mbah Suro tak mungkin bisa mengimbangi beberapa orang yang lebih muda dan bertenaga, meskipun dia memiliki ilmu bela diri.
Rudy dan Anam berusaha mencegah namun kalah jumlah. Keduanya ikut babak belur di hajar masa.
"Sekarang giliranmu!" ucap Darminah, dia mengangkat sebuah balok kayu lalu memukul Mbah Mirah hingga pingsan, dan terus memukulinya hingga berkali-kali.
"Sudah! Sudah! Mereka sudah tak berdaya." ucap Pakde Suryo, sedikit rasa kasihan menyelimuti hatinya, walaupun tak mampu mencegah lantaran dia sudah tua.
"Bakar! Ayo kita bakar agar ilmunya ikut mati!" seru Rohman.
"Ayo! Ayo! Ayo!"
Tentulah sedikit kata dari Suryo tadi tak mengurangi amukan mereka. Seketika api menyala tanpa hambatan melahap gubuk kayu milik Mbah Mirah dan suaminya itu. Di dalamnya tubuh Mbah suro tergeletak tak berdaya, tak mungkin bisa keluar dari kobaran yang terus menyala karena kakinya sudah patah dan tidak sadarkan diri.
"Mbaaaaaaahh....!!!" Rudy bangkit dengan wajah lebam berdarah-darah, berusaha masuk ke dalam gubuk yang sudah terbakar namun beberapa orang memeganginya.
"Tidak! Jangan!"
"Dia bukan dukun sesat! Dia orang baik! Jangan pukuli Mbah Suro! Jangaaaaaannn!!!"
Bugh!
Sebuah pukulan keras mendarat di tengkuk Rudy.
"Jangan! cukup kau buat dia pingsan!" Seorang pria lebih tua dari Rudy mencegah Rohman yang ingin menghabisi Rudy. ya, Rohmanlah yang memukul Rudy dan Anam hingga pingsan.
"Hemh!" Rohman mendengus, dia benci Rudy, tapi urusan Mbah Suro belum selesai.
"Biarkan dia mati bersama suaminya. Hahahhaha!" suara tawa Rohman menggema di puncak perbukitan itu, nyala api semakin tinggi, dan Rohman begitu menikmati moment tersebut hingga membuatnya tak henti tertawa.
*
*
*
Matahari mulai menampakkan cahayanya menggantikan cahaya api yang sudah padam. Gubuk kayu yang sudah berdiri puluhan tahun itu kini sudah tidak ada lagi. Berubah menjadi hamparan abu yang menyisakan cerita keji, penyiksaan, dan pembunuhan yang tidak tahu apakah penyebab sebenarnya, ataukah hanya fitnah yang kejam. Yang pasti Mbah suro sudah pergi, Mbah Mirah pun sempat sadar dan berusaha menyelamatkan suaminya, masuk kedalam kobaran api, sehingga keduanya terbakar habis tanpa pertolongan.
Bau sangit dan panas abu menusuk indera penciuman mereka,
"Ya Allah.... Maafkan aku ya Allah..." Rudy yang kini bangun dengan kaki di seret, mendekati abu yang lumayan banyak. ia mengorek abu yang bertumpuk itu, mencari sesuatu sosok yang selama ini begitu baik kepadanya. Namun hanya tumpukan tulang kering yang tersisa.
"Aneh, hanya tulang-tulang saja yang tersisa. Tidak ada tengkoraknya." kata Anam yang juga bangun dalam keadaan kesulitan.
Kedua pria itu kemudian menguburkan tulang-tulang yang bertumpuk itu dalam lubang yang mereka gali dengan cangkul yang tersisa karena terletak di kebun sayur.
"Nam." panggil Rudy, mereka berjalan gontai menuju jalan pulang.
"Ya, Rud." jawabnya.
"Aku merasa kami juga sudah tidak aman tinggal di sini. Bahkan aku tidak tahu keadaan anak dan istriku sekarang." kata Rudy.
"Kalu begitu kita harus cepat. Takutnya, terjadi sesuatu di rumahmu. Rohman itu lebih kejam dari binatang, bahkan yang ku dengar, Wati itu hamil anaknya Rohman." kata Anam.
Rudy terkejutnya mendengar ucapan Anam, namun Sudah terlambat karena Mbah Mirah dan suaminya sudah tewas.
"Andaikan kamu memberitahu aku sejak awal Nam." kata Rudy.
"Maaf Rud, ku kira jalan ceritanya tidak akan seperti ini. Tak ada hubunganya dengan Mbah Mirah dan Mbah suro."
Tapi, seketika Rudy dan Anam saling pandang, menerka-nerka kejadian semalam.
"Apakah Mbah Mirah tahu sesuatu?"
"Tapi, mengapa Mbah Mirah tidak bicara?"
Keduanya pun memutuskan segera pulang meskipun nafas terengah-engah. Dan tiba setelah hampir satu jam perjalanan.
"Rud, di rumahmu banyak orang." kata Anam, keduanya segera berlari mengerahkan sisa tenaga.
"Aku mohon jangan usik Ratih dan anak-anaknya, mereka tidak bersalah." ucap Pakde Suryo yang ternyata sudah ada di sana. Pria tua itu tampak pasang badan melindungi Ratih dan kedua anaknya yang menangis ketakutan.
"Dia adalah orang yang paling dekat dengan Suro, sudah pasti dia akan menuntut balas atas kematian mereka! Terutama dia, dia pasti sudah di tandai untuk mewariskan ilmunya!" Rohman menunjuk Wulan yang menangis tanpa suara di balik tubuh ibunya.
"Tidak! Itu tu benar!" jawab Ratih, memeluk Jaka, menutupi tubuh mungil Wulan dengan dirinya.
Tak selesai di rumah Mbah Mirah, di rumah Ratih pun pria itu masih tampak seperti preman yang ingin menghabisi semua orang, sudah pastilah karena Ratih adalah orang yang tidak di sukainya.
Bukan, sebenarnya bukan benci yang dia rasakan, dia sempat menyukai Ratih namun di tolak, rasa sukanya berubah menjadi dendam. Hingga akhirnya saat ini tiba untuk membalas. Terutama Mbah suro yang tidak mau memberikan ilmu pelet kepadanya. Begitulah awalnya, dan kematian sebagai balasan akhirnya. Pun yang diinginkan terhadap Ratih, dia tidak rela Ratih hidup bahagia.
"Sepertinya, kau yang harus lebih dulu ku habisi!" kata Rohman.
"Jangan!" pakde Suryo merentangkan kedua tangannya, melindungi Ratih dan anak-anaknya.
"Berani kau sentuh istriku, akan ku habisi kau!"
Rohman menoleh, sedikit sesal di hatinya, mengapa semalam tidak menghabisi Rudy juga.
"Kau pikir, bisa?" dia tersenyum sinis.
"Tentu saja bisa, nyawamu tak lebih berharga dari seekor Anjing. Hanya saja, aku tidak mau mengotori tanganku untuk membunuhmu."
"Kau!" Rohman semakin marah, matanya memerah dan siap mengangkat parangnya.
"Jangan sentuh anak dan menantuku."
Ternyata mertua Rudy datang bersama kedua menantunya yang lain, yaitu kakak iparnya Rudy.
"Ibuk..." Ratih menangis dalam pelukan ibunya.
"Kalau bukan karena mas Tomo semalam datang kesini, ibu tidak akan tahu kalian dalam bahaya." ucap Bu Lasmi.
Tuhan masih menyelamatkan keluarga Rudy. Sungguh pertolongan Allah itu nyata, dimana keadaan sedang genting dan Allah mengirim kakak iparnya Rudy itu datang ke perkebunan mereka karena saudaranya kehilangan sepeda motor, dan pencurinya bersembunyi di sekitar perkebunan itu.
Akhirnya, Rudy meninggalkan tempat itu dan pindah ke kecamatan yang lebih ramai daripada perkebunan. Tempat Ratih dulu berasal, dan mereka tinggal di rumah mertuanya untuk sementara.
Sejak saat itu, mereka sudah tidak tahu kabar orang-orang di perkebunan. Hanya sekilas kabar dari polisi bahwa Rohman sudah di tahan.
Dan Anam? Pria itu juga pergi merantau bersama istrinya selang beberapa hari setelah kepergian Rudy.
Kehidupan baru dimulai meskipun dengan perasaan masih dihantui kejadian mengerikan di perkebunan. Namun berusaha tetap baik-baik saja demi Wulan, demi Jaka, dan demi kehidupan mereka.
Rudy bekerja sebagai petani di ladang mertuanya, jika dulu ia petani kopi yang akan sukses lantaran kebunnya berbuah lebat, kini ia memulai menanam sayur, cabai dan tomat, agar kebutuhan dapur tak perlu membeli selain untuk di jual.
Tak perlu diingat lagi perkebunan kopi itu, pada akhirnya di jual dengan harga murah dan belum sempat menuai hasilnya.
Tahun-tahun berlalu, perlahan masa lalu yang buruk itu kini mulai terlupakan, namun hal yang buruk pula mulai terasa menghantui.
"Aaaaaa.... Ibu, bapaaakkkk...."
Rudy dan Ratih pun berlarian menuju kamar sang anak yang ada di depan.
"Wulan?"
harus mengalah
g beda jauh watak nya jelek
ibu dan anak perangai nya buruk
kog Sarinah ngaku2
calon istrii arif
semoga bisa memberi pencerahan buat para readers.
pepeleng bagi orang jawa,jangan sembarangan menyebutkan weton atau hari lahir versi jawa kepada siapapun,jika tidak ingin terjadi hal hal diluar nalar dan perkiraan.
tetap eling lan waspada.
berserah pada Allah ta'alla.
tetap semangat dengan karya nya