NovelToon NovelToon
I Love You My Sugar Daddy

I Love You My Sugar Daddy

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Seroja 86

Ia berjuang sendirian demi menebus kesalahan di masa lalu, hingga takdir mengantarkannya bertemu dengan lelaki yang mengangkatnya dari dunia malam.
Hingga ia disadarkan oleh realita bahwa laki laki yang ia cintai adalah suami dari sahabatnya sendiri.
Saat ia tahu kebenaran ia dilematis antara melepaskan atau justru bertahan atas nama cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 3

Cermin memantulkan wajah yang sama, tapi dengan sorot berbeda.

Dingin, tenang, nyaris tanpa cela.

Ia mengenakan gaun hitam sederhana dengan potongan yang anggun, tidak mencolok tapi cukup menonjol di bawah cahaya lounge. Lalu, sebelum berangkat, Alma menatap kamar Asha sebentar. Dari celah pintu, terdengar napas kecil yang teratur.

“Mimpi yang indah, Nak,” bisiknya.

Grand Amartha kembali hidup malam itu. Lampu kristal di langit-langit berpendar lembut, denting gelas bercampur tawa rendah para tamu. Aroma cognac memenuhi udara.

Alma baru saja menapakkan kaki di area lounge ketika Mas Ardan menghampirinya.

“Alma,” suaranya sedikit ditekan,

"Ada yang minta kamu lagi meja dua.”

Ia menatap manajernya sekilas, kemudian mengangguk.

Tidak perlu ditebak siapa yang dimaksud.

Meja dua berada di sudut paling tenang, di sana, Harsya Pranowo sudah duduk dengan sikap santai, lengan terlipat di atas meja, jam tangan kulitnya berkilat di bawah lampu temaram.

Saat melihat Alma datang, ia tersenyum tipis.

“Selamat malam, Alma.”

“Selamat malam, Bapak,” jawabnya lembut, duduk di seberang.

Beberapa detik pertama diisi keheningan. Musik jazz lembut mengalun di latar, dan pelayan datang mengantarkan dua gelas minuman. Harsya menatap cairan bourbon dalam gelasnya sebelum berbicara lagi.

“Sepertinya malam ini lebih sepi,” katanya ringan.

"Iya, biasanya begini kalau tanggal tua.”

Ia tertawa kecil tawa yang tidak sepenuhnya lepas.

Percakapan mereka ringan, tapi di sela-selanya ada sesuatu yang berbeda malam itu. Tatapan Harsya tidak lagi sekadar menilai, tapi seperti mencoba memahami. Ada jeda di tiap kalimat, seolah ia berhati-hati memilih kata agar tidak menyinggung batas tipis yang memisahkan mereka.

“Boleh saya jujur, Alma?” tanyanya kemudian.

Alma menatapnya, tanpa menjawab.

Saya jarang datang ke tempat seperti ini dua kali untuk orang yang sama.”

Alma menatapnya, tanpa menjawab.

“Mungkin Bapak hanya kebetulan cocok dengan suasananya.”

“Mungkin,tapi saya rasa bukan karena suasananya jawabnya pelan.

Suara musik naik sedikit, menutupi keheningan yang menyusul.

Alma memalingkan pandangan, menatap pantulan lampu di permukaan meja.

Ia tahu bagaimana harus bersikap—tenang, tersenyum, tidak memberi ruang terlalu jauh. Tapi di balik kontrol itu, ada sesuatu yang tak bisa ia abaikan: rasa ingin tahu yang pelan-pelan tumbuh.

Malam terus berjalan. Di luar, kota Semarang berkilau dalam cahaya lampu.

Dan di balik tirai marun Grand Amartha, dua orang duduk berhadapan—masing-masing memainkan peran yang mereka tahu, sambil perlahan mulai menembus batasnya.

Harsya menatap Alma lama, matanya teduh tapi tajam. Di antara denting gelas dan suara tawa tamu di meja lain, percakapan mereka berjalan pelan, hati-hati.

“Boleh saya tanya sesuatu, Alma?” katanya, nada suaranya lebih rendah.

Alma meletakkan gelasnya perlahan.

“Silakan, Bapak.”

Ia menyesap minumannya perlahan lalu berkata tanpa menatap langsung.

“Kenapa kamu bisa ada di tempat seperti ini?”

Pertanyaan itu meluncur tenang, tapi berat

Tidak ada nada menuduh, hanya keingintahuan yang tulus—namun tetap menyentuh sisi yang seharusnya tidak disentuh.

Alma tidak langsung menjawab. Ia menatap permukaan meja, lalu mengangkat pandangan dengan senyum tipis.

"Tempat seperti ini?," tanyanya balik, seolah butuh konfirmasi.

"Ya,..kamu bukan sperti kebanyakan orang disini."

Alma menahan tawa kecil yang nyaris tak terdengar.

“Bapak menilai dari apa?”

.“Dari cara kamu bicara dari cara kamu bersikap” jawabnya singkat.

Untuk sesaat, Alma tidak tahu harus tersenyum atau menunduk. Kalimat itu bukan pujian, tapi semacam pengamatan yang terlalu jujur.

Ia mengambil napas pelan, lalu menatapnya tanpa mengubah ekspresi.

“Setiap orang punya alasan, Pak. Kadang bukan karena mau, tapi karena tahu hanya ini yang bisa dijalani tanpa harus menjelaskan apa pun pada siapa pun.”

“Berat sekali kedengarannya.”

“Tidak, kalau berat saya sudah menyerah."Sahut Alma lembut

Ia mengucapkannya tanpa nada sedih, tanpa getir—hanya kejujuran datar yang datang dari seseorang yang sudah terlalu lama berdamai dengan pilihannya.

Harsya diam lama setelah itu. Tatapannya tetap pada Alma, tapi kali ini tidak setajam tadi—lebih seperti seseorang yang melihat sesuatu yang tak ingin ia pahami terlalu dalam.

 Musik classic kembali mengisi ruang di antara mereka.

Percakapan pun berhenti di situ, menggantung seperti asap cognac di udara—tidak sepenuhnya hilang, tapi tidak juga selesai.

Lampu lounge mulai meredup, pertanda malam hampir usai. Musik jazz berubah jadi instrumental lembut yang nyaris tak terdengar. Beberapa tamu sudah beranjak, meninggalkan meja dengan tawa samar dan langkah yang sedikit goyah.

Mas Ardan berdiri di kejauhan, memberi isyarat halus pada Alma bahwa tempat itu segera tutup. Alma menangkap sinyal itu tanpa perlu banyak kata. Ia menoleh ke arah Harsya, yang tampak masih menikmati sisa minumannya.

“Mohon maaf bapak jam kerja saya sudah berakhir Pak,” katanya lembut.

Harsya mengangguk, meletakkan gelasnya. “Saya tahu.”

Ia menatap Alma lagi, pandangannya tenang tapi menyimpan sesuatu yang sulit dibaca.

"Terima kasih untuk malam ini, Semoga lain waktu kita bisa berbincang lagi."Ujarnya pelan.

“Sama-sama, Bapak.”

Lalu, sebelum Alma sempat berdiri, Harsya menambahkan kalimat itu—dengan nada pelan , nyaris seperti gumaman yang sengaja dibuat terdengar.

“Semoga kamu mau menemani saya di lain waktu.”

Alma menatapnya sesaat, mencoba menakar maksud di balik kata-kata itu. Tapi Harsya sudah berdiri, merapikan jasnya, lalu memberi senyum kecil yang sopan.

Ia tidak menunggu jawaban.

Alma menatapnya sesaat, mencoba menakar maksud di balik kata-kata itu. Tapi Harsya sudah berdiri, merapikan jasnya, lalu memberi senyum kecil yang sopan.

Ia tidak menunggu jawaban.

Hanya meninggalkan aroma halus parfum maskulin dan bayangan tubuh yang menjauh di antara kerlip lampu.

Alma memandangi kursi kosong itu beberapa detik sebelum berdiri. Tangannya merapikan rambut, napasnya ia atur perlahan. Tidak ada ekspresi di wajahnya—hanya diam yang sulit dijelaskan.

Ketika ia akhirnya berjalan ke arah pintu keluar, lampu-lampu lounge padam satu per satu.

Dan di antara suara langkahnya yang bergema pelan, tersisa satu kalimat yang entah kenapa masih tertinggal di pikirannya.

Di kamar, hanya lampu meja yang menyala, cahayanya kuning lembut menyorot ke arah cermin.

Alma duduk di depan meja rias, perlahan menghapus riasan dari wajahnya. Setiap sapuan kapas meninggalkan warna samar seolah ia sedang menghapus sisa-sisa peran yang baru saja ia mainkan.

Gaun hitamnya kini tergantung di kursi. Rambutnya terurai, sedikit berantakan.

Ketika semua warna itu hilang, ia menatap pantulan dirinya lama-lama.

Wajah yang tenang, tapi di balik mata itu ada sesuatu yang tidak padam — getir yang nyaris tak terlihat, tapi terasa.

Satu tetes air pembersih jatuh di meja rias, dan entah kenapa, di kepalanya, bunyinya terasa seperti gema masa lalu.

Dan malam pun perlahan memudar, berganti dengan bayangan lama yang menembus batas waktu.

Beberapa tahun lalu Yogyakarta.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!