Raffaele Matthew, seorang Mafia yang memiliki dendam pada Dario Alexander, pria yang ia lihat telah membunuh sang ayah. Dengan bantuan ayah angkatnya, ia akhirnya bisa membalas dendamnya. Menghancurkan keluarga Alexander, dengan cara membunuh pria tersebut dan istrinya. Ia juga membawa pergi putri mereka untuk dijadikan pelampiasan balas dendamnya.
Valeria Irene Alexander, harus merasakan kekejaman seorang Raffaele. Dia selalu mendapatkan kekerasan dari pria tersebut. Dan harus melayani pria itu setiap dia menginginkannya. Sampai pada akhirnya ia bisa kabur, dan tanpa sadar telah membawa benih pria kejam itu.
Lalu apakah yang akan dilakukan Valeria ketika mengetahui dirinya tengah berbadan dua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lovleyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Tidak Ada Harganya
Brian menunggu kabar dari sang mertua. Selain ia mencari sendiri si pelaku. Ia juga meminta tolong pada mertuanya, yang meruapakan seorang mafia juga secara diam-diam.
"Papa belum mendapatkan apapun Brian" Suara dari seberang itu membuat pria yang sekarang duduk di ruang tamu menghela napasnya berat.
"Apa sesusah itu untuk menemukan pelakunya, Pa? Mengapa sulit sekali? Atau jangan-jangan pelakunya bukan orang sembarangan?" Tanya Brian.
"Sepertinya iya. Ada campur tangan orang berkuasa didalam penculikan yang terjadi pada keluargamu. Tapi Papa, akan usahakan menemukan pelakunya. Kamu jangan khawatir dan patah semangat Brian." Ujar Stevan.
Dari tempat duduknya Brian mengangguk. Ia ingin melakukannya, terus semangat dan pantang menyerah. Tapi, hati tidak bisa. Tetap saja, rasa khawatirnya melampaui semuanya.
"Sayang..." Ines datang menyentuh bahu suaminya.
Wanita itu turut merasakan apa yang tengah dirasakan oleh suaminya. Sudah beberapa hampir satu minggu suaminya bagaikan orang kosong saat duduk sendirian seperti ini. Hatinya berdenyut nyeri.
Apalagi ketika melihat Brian berusaha mengulas senyumnya. Ines lantas segera memeluk suaminya itu, mengusap punggung yang biasanya kokoh. Tapi kini tak sekokoh biasanya, punggung itu terasa bergetar. Dan suara isakan mulai terdengar.
"Aku harus mencari mereka kemana lagi Ines. Sudah hampir satu minggu pencarian tapi tak ada petunjuk apapun." Ujar Brian.
"Aku tidak akan mengampuni orang yang telah membuat keluargaku menghilang Ines. Jika menemukan pelakunya, aku tidak akan mengampuninya." Lanjutnya lagi, pelukannya mengerat pada sang istri.
Dalam pelukan itu Ines mengangguk, mengusap punggung sang suami. "Iya, sayang. Kita tidak akan mengampuninya. Kita akan balas dia."
Mengurai pelukannya, Brian menghapus air matanya. Pria itu memandang Ines, beberapa hari ini mereka meninggalkan putri mereka di Prancis hanya dengan pengasuh. Dan rasa rindu terhadap putrinya pun ada. Dengan helaan napas berat, Brian mulai kembali berbicara.
"Kita akan kembali ke Prancis." Ucap Brian.
"Lalu pencarian ini bagaimana?" Ines terkejut dengan keputusan suaminya.
"Tetap akan dilanjutkan, tapi aku akan melakukannya dari Prancis. Mereka akan mengabariku jika menemukan sesuatu." Jawab Brian.
"Aku rindu dengan putri kita Ines. Kasihan dia sendiri di Prancis." Lanjutnya.
Ines menyentuh pipi sang suami. Mengusapnya pelan, lalu mengangguk setuju. Ia juga sudah merindukan putri semata wayangnya. Hanya saja tak berani mengungkapkan perasaannya tersebut kepada sang suami, sebab Brian yang masih dalam masa berduka.
...****...
Jika Brian dan Ines memutuskan untuk kembali ke Prancis. Begitupun pada kedua orang yang saat ini sudah sampai di Calabria.
Raffaele sibuk dengan ponselnya. Sementara Valeria mengikutinya dari belakang. Ia sedang menunggu sesuatu dan penasaran akan sesuatu juga.
"Tunggu!" Valeria menghentikan langkah Raffaele yang akan menaiki anak tangga menuju ke kamarnya.
Pria itu menoleh, dengan tangan yang membawa ponselnya ke samping telinga. Dia tengah bertelepon dengan seseorang. Keningnya lantas bertaut ketika mendengar wanita yang menjadi budaknya itu menghentikannya.
Tangan besarnya itu menurunkan benda pipih dari telinganya. Lalu memasukkan benda tersebut ke saku celananya.
"Ada apa?" Suara dingin Raffaele menyambut.
"A...aku mau tanya. Jurnalis tadi bagaimana nasibnya?" Masih saja Valeria mengkhawatirkan orang lain. Ia benar-benar kepikiran pada sosok wanita yang ditembak tadi.
"Mati." Jawab Raffaele tenang dan entengnya. Padahal semua karena perbuatan pria tersebut.
"Semudah itu kamu melenyapkan seseorang?" Tanya Valeria dengan nada tertawa getir dan sumbang.
Dengan wajah angkuhnya, Raffaele melangkah kembali menghampiri wanita bertubuh lebih pendek darinya itu.
Berdiri tepat berhadapan dengan Valeria. Pria itu memasukkan tangannya yang satu kedalam saku celana. Cara berdiri dan menatapnya sangat angkuh sekali.
"Iya. Mudah sekali, bukannya kamu sudah melihatnya dua kali?"
"Ralat! Tiga kali, pertama Papamu, kedua Mamamu. Lalu yang ketiga tadi." Ucap Raffaele, menarik sudut bibirnya.
Kedua mata Valeria memanas. Di pelupuk matanya sudah akan tumpah air mata itu. Ia sangat ingat betul bagaimana pria ini menghabisi kedua orang tuanya.
Tapi, ia bisa apa? Jika ia melawan, yang ia dapatkan hanya sebuah kekejaman lainnya dari pria ini. Valeria melihat kepergian pria kejam tersebut.
"Kapan kamu mau membawaku ke makam kedua orang tuaku?" Valeria menuntut apa yang dijanjikan oleh Raffaele.
Suara tawa terdengar dari seseorang yang memunggunginya. Tawanya terdengar menggelegar dan mengejek. Perasaan Valeria sudah tidak enak, ia merasa jika Raff Raffaele hanya membohonginya saja.
"Kubur mentah-mentah keinginanmu itu. Karena sampai kapanpun kamu tidak akan pernah menemukan makam mereka. Seperti aku yang tidak pernah menemukan makam Papi ku!" Ucap Raffaele, lalu tetap melanjutkan jalannya.
"Ya Tuhan..." Tubuh Valeria luruh ke lantai. Menangis meraung.
Namun, semua pelayan yang melihatnya hanya terdiam. Tak ada yang berani mendekat. Mereka ikut prihatin. Tapi tak bisa membantunya.
"Nona Valeria, ayo saya bantu berdiri." Tiba-tiba ada seorang pelayan wanita yang sudah cukup berumur itu menghampiri Valeria.
Dengan mata yang penuh air mata, Valeria menatap wanita yang mungkin seusia sang mama. Ia jadi semakin merindukan orang tuanya. Valeria langsung menghamburkan pelukan ke wanita pelayan di mansion Raffaele tersebut.
"Nona, yang tenang. Saya yakin suatu saat Nona akan terbebas dari semua ini." Pelayan itu menenangkan Valeria.
"Saya rindu kedua orang tua saya. Kedua orang tua saya yang sudah dibun*h oleh tuan kalian." Ujar Valeria meraung.
"Iya, saya paham Nona. Kami juga merasa kasihan pada Nona Valeria, tapi kami tidak bisa melakukan apapun. Dengarkan saya Nona." Wanita pelayan itu menatap Valeria, kedua tangannya menggenggam erat di tangan Valeria.
"Nona harus kuat menghadapi semua ini. Tuan Raffaele tidak akan melakukan kekerasan jika Nona tidak melakukan kesalahan. Jadi, sebisa mungkin Nona jangan membangkang. Turuti semua kemauannya saja." Imbuhnya.
Valeria tertawa mendengarnya. Ia pikir akan mendapatkan jalan keluar. Namun ternyata sama saja, pelayan ini hanya menyuruhnya untuk patuh pada Raffaele. Sesuatu yang tidak mungkin ia lakukan. Meskipun kekejaman selalu ia dapatkan.
"Menuruti kemauannya?" Valeria tertawa getir.
"Tidak akan! Biar dia menghukumku, ataupun membun*hku sekalian. Aku sudah tidak peduli, kalau pun bisa, aku ingin segera menyusul kedua orang tuaku saja." Sambung Valeria.
Dan semua itu di dengar oleh pria yang berdiri di pembatas tangga. Senyum seringai samar terlihat dari sudut bibirnya. Dia lalu mengusap bawah bibirnya.
"Mudah sekali kamu ingin mati. Tentu saja tidak boleh, aku akan buat kamu hancur sehancur-hancurnya." Gumam Raffaele.
"Bawa wanita itu naik, dan bawa ke kamarku!" Titahnya pada anak buahnya yang berjaga di lantai atas.
"Baik tuan." Jawab pria itu.
Apa yang terjadi selanjutnya pada Valeria? Tentu saja wanita itu harus kembali melayani seorang Raffaele. Wanita tersebut sudah seperti seorang pelac*r sekarang ini. Miris sekali, bahkan seorang wanita malam saja masih dibayar dan memiliki harga. Sedangkan Valeria? Sama sekali tidak ada harganya di mata Raffaele, si pria kejam ini.
"Tuan Raffaele itu seorang Mafia. Jangan berani-berani kamu mau menolong wanita yang menjadi tawanannya itu. Bisa mat* kamu di tangan Tuan Raffaele." Kalimat tersebut didengar oleh wanita yang berdiri di ambang pintu dapur.
Ia mengetahui sebuah fakta baru. Mengapa pria itu bisa melakukan kejahatan dengan mudah. Ternyata karena fakta tersebut. Kalau begitu, ia tidak akan pernah bisa dengan mudah melarikan diri dari sini. Koneksi pria kejam itu tidak main-main. Apalagi wilayah ini yang sangat jauh dari kota.