NovelToon NovelToon
60 Hari Untuk Hamil

60 Hari Untuk Hamil

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / Nikah Kontrak / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Romansa / Disfungsi Ereksi
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”

Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.

Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.

Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.

Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.

Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3 Bukan Salahku

Langit Scott City masih memerah lembut ketika Eve baru keluar dari lift lantai dasar. Langkahnya biasa, tapi hatinya masih sedikit tegang sisa adrenalin dari pertemuan tadi. 

Angin sore menerpa rambutnya yang mulai berantakan, tapi dia tidak peduli. Sorot matanya jauh tanpa tujuan. 

Sedangkan di depan halaman itu, Darren sudah berdiri sejak beberapa menit yang lalu. Bersandar di pintu mobil dengan seputung rokok yang tersisa setengah. 

Tatapannya langsung menangkap sosok Eve di antara karyawan-karyawan yang baru keluar dari kantor.

Mulutnya sedikit membuka, seolah ingin memanggil, menghampiri, tapi langkahnya tertahan.

Tidak jadi.

Dia melihat sesuatu.

Dari balik punggung Eve, dua sosok muncul—gagah, rapi, dan dingin seperti angin dari ruangan penuh AC.

Alexander Ace, dalam setelan hitam yang tidak meninggalkan ruang untuk cela, melangkah keluar. Di sebelahnya, Rayyan, dengan raut wajah kaku.

Mata Darren terpaku.

Detik itu, dunia terasa melambat.

Rokok di tangan kanannya sedikit bergetar, nyaris tak kentara. Napasnya menggantung di udara, namun matanya tetap tak berkedip, menatap pria yang kini berjalan hanya beberapa meter dari Eve.  

Ada sesuatu di sana—dalam kerutan kecil di antara alisnya. Rahangnya mengeras diam-diam. 

Alex, sebaliknya, berjalan tanpa memedulikan siapa pun di sekitarnya. Seperti biasa. Tapi...

Tepat ketika ia melintas di sisi Eve, tatapannya bergerak sekilas—bukan ke Eve.

Ke Darren.

Tak ada kata. Tak ada anggukan. Hanya sekejap. Tapi cukup untuk membuat udara terasa tebal. 

Melihat Darren di depan matanya, Eve mempercepat langkah kakinya. 

“Darren? Kau di sini?” 

Baru saat itu pria itu tersadar. Ia memaksa senyum yang terlalu tipis untuk disebut nyaman, lalu memadamkan rokok yang masih tersisa. 

“Sejak kau pergi dari bar-ku, aku selalu di sini setiap sore.” Darren mendekat, wajahnya berubah kesal. “Dari mana saja kau? Setelah malam itu, kau pikir aku tidak khawatir? Aku mencarimu ke mana-mana, bahkan menunggumu setiap sore di sini. Sekarang kau bertanya seolah tak pernah berdosa padaku.” 

Eve mengulas senyum, halus dan manis. “Maaf. Tapi … aku butuh waktu sendiri.” 

“Aku mengerti. Tapi setidaknya kabari aku sekali. Kau benar-benar membuatku kualahan.” Darren mendengus, namun ekspresi itu berubah lega setelahnya. “Tapi aku senang melihatmu lagi di sini. Masuklah! Kita perlu lebih banyak bicara.” 

Seolah tidak pernah terjadi apa-apa, Eve masuk dengan ringan, duduk di sisinya. Sesekali Darren mencuri pandang. Melihat Eve tidak seberatakan seperti waktu itu, seharusnya membuat Darren ikut lega juga. Tapi ternyata tidak. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. 

“Darren, lihatlah ke depan! Jangan melihatku terus! Kau mau membuatku mati kedua kali?” 

“Hanya … senang saja melihatmu tidak terjebak terlalu lama. Kupikir aku masih harus menghiburmu lebih lama lagi.” 

“Awalnya … aku juga berpikir semua sudah berakhir. Tapi tidak. Aku memiliki duniaku sendiri. Aku akan segera resmi bercerai dengannya. Aku tidak peduli lagi mengenai mereka. Membayangkan mereka tidur bersama saja membuatku jijik.”  

“Bagaimana dengan Ayahmu? Apa dia tidak berkomentar apa pun mengenai hubungan kalian?” 

Eve tertawa getir. Pandangannya terlempar ke jendela. “Aku sudah lupa kapan terakhir bicara dengannya. Meski begitu, aku juga tidak ingin mendengar komentarnya. Hasil akhirnya sudah jelas.” 

Darren melihatnya dari sisi, ekspresinya menghangat. “Tidak peduli seberapa banyak orang yang meninggalkanmu, kau harus tahu kalau kau masih memilikiku.” 

Eve menoleh, senyumnya melebar. “Aku tahu. Aku juga tidak takut. Kau lihat, aku masih hidup hingga sekarang. Bahkan aku hidup lebih baik dari sebelumnya. Kau tahu? Hari ini aku naik jabatan. Aku menjadi Sekretaris Presdir.”

Darren terdiam.

Matanya tidak fokus pada jalan. Jemarinya mengepal ringan di setir. “Presdir?” gumamnya pelan. “Yang tadi?”

 “Selama ini Presiden Direktur tidak pernah menunjukkan diri di perusahaan. Tadi pagi adalah pertama kali dia muncul. Dan ternyata, pria itu adalah pria yang sama yang menolongku saat di bar waktu itu. Katanya aku salah masuk toilet, dan aku pingsan di sana. Dia yang membawaku.” 

Tiba-tiba Darren memotong jalur mendadak, menginjak rem tanpa perhitungan. Tubuh Eve yang terikat dengan seatbelt terdorong maju, lalu tertarik mundur lagi dengan keras. 

Dada Eve berdebar keras. Dia merasa nyawanya baru saja terlempar. 

“Darren, kau apa-apaan, sih?” 

Namun Darren tidak melihatnya. Tatapannya lurus, tajam dan dalam. Seluruh tubuhnya menegang, hingga Eve bisa melihat permukaan dadanya yang naik turun dengan cepat. 

“Darren, ada apa?” tanyanya lagi. 

“Eve, aku … aku minta kau berhenti dari pekerjaanmu.” 

“Apa?!” Tidak percaya, Eve melihatnya lebih dekat. “Kau bilang apa tadi? Kau memintaku berhenti dari pekerjaanku?” 

“Eve.” Darren melihatnya, dan kali ini tatapan mata pria itu benar-benar tidak memiliki keraguan sedikit pun. “Pria yang kau bicarakan itu, Presiden Direkturmu, dia pria berbahaya. Jangan pernah dekat dengannya dengan alasan apa pun.” 

“Tapi- tapi kenapa? Apanya yang berbahaya?” 

“Aku tidak bisa menjelaskannya. Yang jelas, keluar saja dari perusahaan itu. Selama ini aku diam karena dia tidak pernah menunjukkan diri. Dan sekarang tiba-tiba muncul, dan memintamu menjadi Sekretarisnya. Apa kau tidak curiga?” 

“Aku butuh pekerjaan, Darren!” 

“Aku bisa mencarikan yang lain.” 

“Tapi tidak ada perusahaan yang menggaji karyawan mereka sebesar Ace Corporation.” 

“Eve—“ 

“Darren.” Eve memotong lebih dulu. “Jika aku keluar, ke mana lagi harus cari kerja dengan bayaran yang setara dengan yang aku peroleh saat ini? Selain itu, aku hanya bekerja sebagai Sekretarisnya. Selesai jam kerja, aku pulang. Hanya itu.” 

Memang apa yang berbahaya? Dia hanya lelaki imp0ten! Bahkan saat menggantikan pakaiannya kemarin saja, tidak ada yang terjadi di antara mereka. Jika itu pria lain, sudah pasti akan berbeda cerita.    

Sudah seminggu berlalu sejak perceraian itu resmi tercatat.

Tanpa tangisan. Tanpa pengacara yang berlarut.

Eve tidak menuntut apa-apa. Dan mungkin karena itulah Noah tak keberatan mempercepat semuanya.

Sekarang, dia bukan lagi Ny. Noah Alison. 

Ironisnya, setelah semua luka itu, Eve justru merasa … lega.

Bukan karena perpisahan ini yang ia inginkan. Bukan karena ia tak pernah mencintai Noah.

Justru sebaliknya. Dulu, dia mencintai pria itu dengan segala ketulusannya.

Namun semua itu hancur seperti kaca dibanting ke lantai. Digantikan oleh satu rasa yang kini mendiami seluruh rongga dadanya—jijik.

Hari ini, dia ingin merayakan perceraiannya.

Eve melangkah santai ke arah eskalator, hendak turun ke lantai bawah. Musik instrumental mengalun pelan dari speaker mall. Aroma kopi dari café-café bersaing dengan parfum wanita dari toko-toko sekitar. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia merasa menjadi dirinya sendiri.

Namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok familiar.

Di lorong dekat toko perlengkapan bayi, berdiri seorang wanita dengan perut membuncit, dikelilingi keranjang belanja berisi botol susu, popok, dan beberapa pakaian bayi.

Celline.

Mata mereka bertemu. Waktu seolah berhenti. Perutnya jauh lebih besar dari yang ia duga. Delapan bulan lebih, mungkin.

Eve hendak berlalu begitu saja.

Namun tentu saja, Celline tidak akan membiarkannya. 

“Hai Kak, lama tidak melihatmu,” katanya sembari mengulas senyum. Matanya menelisik Eve, sekilas memandang barang belanjaan wanita itu juga. “Aku tidak menyangka, akhirnya … kau menyerah. Begitu cepat dari yang aku pikirkan.” 

Eve mendengus sinis. “Aku punya hal-hal yang lebih berharga untuk kulakukan daripada buang waktu menghadapi akting murahanmu. Lagipula … kalian memang cocok. Ambil saja. Bukankah kau menyukai itu?” 

“Kau tidak salah mengatakan itu? Bukankah di sini kau adalah pihak yang dibuang? Jika tidak, mana mungkin bayi kami bertahan hingga sekarang?” Celline menyeringai, mendekat selangkah tepat di depan mata Eve. 

Jemari lentiknya mengusap lengan Eve. Gerakannya halus dan hangat, tapi sorot matanya tajam. “Kakak, aku merasa kasihan padamu. Pada akhirnya, tidak peduli apa pun yang kau katakan, kau tidak bisa memungkiri bahwa tidak ada yang tersisa untukmu selain wanita sampah!” 

Jari-jari Celline yang dingin menyentuh lengan Eve, seolah hendak mengelus, tapi cengkeramannya tiba-tiba mencubit kuat. Gerakannya halus, tapi penuh tekanan, seperti ular yang siap menggigit.

Eve mengibaskan lengannya, tidak sengaja mendorong Celline. Siapa yang akan menyangka bahwa dorongan itu memberi efek yang lebih besar? 

Celline terdorong mundur beberapa langkah, tubuhnya jatuh dengan keras menghantam trolli sampai dia jatuh ke atas lantai. 

Jeritan nyaring menggema. Beberapa orang langsung berlari. Eve terpaku, matanya membesar saat melihat tubuh Celline tergeletak sambil mengerang, kedua tangannya menggenggam perutnya.

"Aaahh—aku sakit—aku sakit!!"

Darah mulai merembes dari bagian bawah rok putih yang ia kenakan.

Aku tidak mendorongnya. Aku tidak … sengaja. Sial … apa yang baru saja terjadi?

“Panggil ambulans!” teriak seseorang.

Eve membeku. Dunia terasa seperti pecah di telinganya.

Orang-orang mulai menatapnya. Beberapa sudah mengangkat ponsel mereka, merekam. Mulut-mulut mulai berbisik, dan akhirnya memaki terang-terangan. 

“Kau benar-benar tidak punya hati! Bagaimana kau bisa tega mendorong wanita hamil?!” 

Dan sekarang Celline pingsan di depan matanya. Dada Eve terasa sesak.

Di sekelilingnya, kamera merekam. Mata menatap tajam.  

Dan hanya satu kalimat yang menggema dalam kepalanya, berulang-ulang:

‘Ini bukan salahku … bukan … salahku.’

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!