Perjalanan hidup Gaman julang yang tidak pernah tuntas menyelesaikan pendidikan di sekolah maupun di pesantren.
Ia tidak bisa mengimbangi waktu dengan hobinya bermain musik, sehingga sekolahnya terbengkalai.
meski demikian, dia seorang yang cerdas. Dia selalu punya sejuta akal untuk menghadapi setiap masalah yang datang.
Hingga suatu ketika dia harus bergelut dengan problematika hidup dan beban moral, menghadapi gunjingan keluarga dan tetangga.
Semua sepupunya terbilang telah hidup sukses dan sudah punya keluarga sendiri, tinggal ia seorang yang masa depannya tak tentu arah.
Ditengah kehidupannya yang relatif carut marut secara ekonomi, dia jatuh cinta dengan putri seorang Kyai besar pengasuh pondok pesantren.
Tantangan terberatnya harus bersaing dengan dua orang lain yang juga ingin melamar putri sang Kyai.
Keduanya mapan secara ekonomi dan punya gelar akademik S2 lulusan Universitas Al-azhar Kairo, Mesir.
Upaya apa yang akan dilakukan Jul untuk menghadapi tantangan tersebut ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bungdadan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAMPAI DI RUMAH KEDUA
Rahma sungguh membuatku kalang kabut. Aku tak bicara apa-apa lagi, hanya duduk diam nunggu sampai kereta berhenti.
Tak terasa, gerbong kereta mulai melambat. Pemandangan di luar jendela berganti dengan deretan rumah dan sawah yang menandakan kami sebentar lagi sampai di tujuan.
Stasiun Jombang, kurang lebih pukul 14:00 Pengumuman dari Announcer pun terdengar, suaranya mengakhiri perdebatan tak berujung diantara kami berdua.
"Sudah sampai ini, mbak Rahma," kataku, mencoba memecah ketegangan yang masih menyelimuti.
Rahma menatapku dengan mata yang masih sedikit berkaca-kaca, namun raut wajahnya tak lagi setajam tadi.
Ada semacam pasrah di sana, bercampur dengan keras kepala yang masih tersisa.
Dia bangkit dari kursinya, merapikan jilbabnya yang agak menceng, sedikit berantakan. Aku ikut berdiri, mengambil tasku yang diletakkan di rak bagasi atas.
"Aku serius lho ya, mas !" ucapnya lagi, suaranya lebih pelan, tapi nadanya masih tegas.
"Aku nggak main-main sama omonganku tadi mas !"
Aku hanya bisa menghela napas panjang. Rasanya seperti ada beban berat yang menempel di pundakku sejak pernyataan gilanya di gerbong tadi.
Turun dari kereta, udara Jombang terasa lebih sejuk dibanding gerbong yang panas tadi, namun suasana hatiku masih keruh.
Kami berjalan beriringan menuju pintu keluar stasiun.
Di tengah keramaian penumpang yang berebut keluar, Rahma tiba-tiba berhenti. Aku pun ikut berhenti, menoleh ke arahnya.
"Mas," panggilnya, "Ini bukan perpisahan, kan ?"
Aku menatapnya lurus. Ada keraguan di mataku, tapi aku tahu harus bersikap jujur.
"Aku nggak bisa janji apa-apa, mbak Rahma. Aku punya jalan yang harus ku tempuh, dan jalan itu panjang. Aku nggak mau kamu terlalu berharap, lalu malah kecewa."
"Jadi, kamu nggak mau aku nunggu ?" ; tanyanya, suaranya kembali sedikit bergetar.
"Aku nggak bilang gitu..." ; jawabku, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
"Aku cuma bilang, jangan sampai penantian itu membuatmu kehilangan kesempatan lain. Hidup itu terus berjalan, mbak Rahma ! Kamu juga harus fokus pada masa depanmu."
Rahma terdiam, menunduk. Aku bisa melihat bahunya sedikit bergetar.
"Tapi kamu... kamu janji nggak akan melupakan pertemuan kita kan ?"
Aku tersenyum tipis ; "Mana bisa aku lupa kejadian hari ini, mbak Rahma..., kamu udah bikin aku hampir jantungan di kereta."
Dia mendongak, ada sedikit senyum tipis di bibirnya.
"Kamu bareng aku aja mas... ! Aku dijemput pamanku, dia tinggal di Kediri."
Dalam keadaan pilu, masih sempatnya dia menawarkan aku tumpangan.
"Makasih mbak Rahma, nggak usah repot-repot, aku naik bis aja. Aku juga mau shalat dulu cari mushola."
"Ooh..., kalau aku sih lagi dapet, ya sudah. Kalau gitu aku pamit mas...."
"Hati-hati di jalan, mbak Rahma..." ; balasku.
Dia berbalik, melangkah menjauh, masuk ke dalam keramaian di luar stasiun.
Aku memperhatikan dia, sampai sosoknya menghilang diantara lalu lalang orang.
Aku tahu, mungkin ini adalah pertemuan terakhir kami, atau mungkin suatu saat akan ada pertemuan berikutnya ? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Setelah berpisah dengannya, aku mencari mushola untuk shalat dan beristirahat sebentar.
Mumpung sedang menyandang status musafir, aku melakukan shalat jama' taqdim dzuhur dan ashar, biar nanti sampai di pondok tinggal istirahat.
Setelah menunaikan shalat dan memulihkan diri sejenak, aku melangkahkan kaki keluar dari stasiun.
Udara Jombang di sore hari terasa makin bersahaja, namun benakku masih penuh dengan gema percakapan terakhirku dengan Rahma.
Perasaanku campur aduk. Ada kelegaan karena ketegangan itu sedikit mereda, namun juga ada sedikit sesal dan kebingungan. Apakah aku terlalu keras ? Ataukah justru ini adalah keputusan yang paling bijak untuk kami berdua ?
Aku berjalan kaki menyusuri jalanan utama di depan stasiun, mencari terminal atau setidaknya halte bus yang bisa membawaku ke arah pondok pesantren.
Jalanan cukup ramai oleh kendaraan dan orang-orang yang berlalu-lalang. Sesekali aku melihat wajah-wajah yang tampak tergesa-gesa, mungkin baru tiba atau hendak berangkat.
Aku sendiri merasa seperti seorang pengelana yang baru saja melewati badai emosi.
Aku menunggu bis sambil mengamati hiruk pikuk kota Jombang. Pikiranku kembali melayang pada Rahma.
Pernyataannya yang "gila" di kereta tadi masih terngiang jelas. Apakah ini cinta pada pandangan kedua ? Soalnya udah dua kali aku ketemu dia wkwkwk.
Apakah benar-benar ada hal seperti itu ? Atau hanya gejolak sesaat dari seseorang yang kesepian ? Atau mungkin aku hanya sebagai pelarian dia yang baru putus sama pacarnya ?
Ya mbuh.....
Aku mengakui, ada sesuatu dalam diri Rahma yang menarik.
Keberaniannya, ketegasannya, bahkan ke keras kepalaan nya.
Tapi di sisi lain, aku tahu betul prioritas utamaku saat ini adalah menuntut ilmu di pondok.
Jalan yang masih panjang dan penuh liku, membutuhkan fokus dan pengorbanan.
Membuka hati untuk seseorang, apalagi dengan komitmen sebesar itu, rasanya terlalu berat.
Aku menghela napas. Mungkin memang ada orang-orang yang ditakdirkan untuk bertemu, namun tidak untuk bersama.
Atau mungkin, ini hanya jeda sementara sebelum takdir kembali mempertemukan.
Aku tidak tahu. Yang jelas, kejadian hari ini akan menjadi catatan penting dalam perjalanan hidupku.
Sebuah pengalaman yang tak akan mudah terlupakan, terutama bagaimana seorang wanita bernama Rahma berhasil membuatku kalang kabut dalam waktu singkat.
Bis yang ku nantikan telah datang.
Sebelum masuk, aku sempat menoleh ke belakang, sekali lagi memandangi jalan keluar dari arah stasiun.
Tidak ada lagi jejak Rahma. Hanya keramaian kota yang perlahan menyatu dengan sore hari.
Mungkin memang sudah saatnya fokus pada perjalanan ke depan, dan menyerahkan sisa cerita ini pada takdir.
Satu jam lebih ku tempuh perjalanan naik bis kota sampai ke Bendo.
Teman-temanku yang sudah lebih dulu sampai di pondok semua menyambut ku.
Ada yang sudah sampai dari seminggu lalu, tiga hari lalu, ada juga yang masih belum berangkat.
Kata mereka, biasanya ada santri yang sengaja datangnya telat ke pondok. Masa libur habis, namun masih leha-leha di rumah.
Bahkan ada yang baru berangkat seminggu kemudian setelah hari aktif sekolah atau madrasah.
Berhubung ini adalah kali pertama aku liburan, dan pertama kembali ke pondok, maka aku belum berani sengaja telat, istilahnya disebut mbeling kalau di pondokku. Mungkin di pondok-pondok lain juga ada tradisi begitu.
Baru saja aku sampai di pondok, bukannya nanya kabar kek ? Apa kek ? Sehat apa enggak ? Perjalanan lancar apa nggak ?
Tak satupun terdengar pertanyaan semacam itu.
Pertama kali yang ditanya teman-temanku adalah oleh-oleh yang ku bawa dari rumah.
"Nggowo jajan opo ? Wah wah..., mayoran iki ?" ; ya begitulah kelakuan santri.
Ku buka kardus berisi oleh-oleh, jajanan, makanan, rokok, semua langsung ludes dalam hitungan detik.
Tapi inilah kebahagiaan sejati.
Asli ! Sumpah ! Sebelumnya aku tak pernah merasa sebahagia ini.
Teman-temanku, mereka adalah ummat Nabi SAW, mereka adalah para pejuang, mereka sedang berjihad melawan kebodohan.