Rania Alesha— gadis biasa yang bercita-cita hidup bebas, bekerja di kedai kopi kecil, punya mimpi sederhana: bahagia tanpa drama.
Tapi semuanya hancur saat Arzandra Adrasta — pewaris keluarga politikus ternama — menyeretnya dalam pernikahan kontrak.
Kenapa? Karena Adrasta menyimpan rahasia tersembunyi jauh sebelum Rania mengenalnya.
Awalnya Rania pikir ini cuma pernikahan transaksi 1 tahun. Tapi ternyata, Adrasta bukan sekedar pria dingin & arogan. Dia manipulatif, licik, kadang menyebalkan — tapi diam-diam protektif, cuek tapi perhatian, keras tapi nggak pernah nyakitin fisik.
Yang bikin susah?
Semakin Rania ingin bebas... semakin Adrasta membuatnya terikat.
"Kamu nggak suka aku, aku ngerti. Tapi jangan pernah lupa, kamu istriku. Milik aku. Sampai aku yang bilang selesai."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCTA 3
Rania duduk diam di kursi belakang mobil mewah berwarna hitam yang melaju mulus di jalanan ibu kota. Asisten azandra, seorang pria yang bernama Gino, duduk di depan fokus pada kemudi tanpa sepatah kata pun. Suasana di dalam mobil begitu hening, hanya diisi oleh suara lembut pendingin udara dan deru mesin yang nyaris tak terdengar. Pikiran Rania masih kacau, mencoba mencerna kenyataan bawa kini ada chip pelacak yang tertanam di dalam tubuhnya. Ia merasa seperti burung yang sayapnya telah dipotong, tak lagi bebas terbang ke manapun yang ia mau.
Setelah perjalanan yang terasa seperti seumur hidup, mobil akhirnya berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Gino keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Rania. Tanpa banyak bicara, ia memberi isyarat agar Rania yang mengikutinya.
Dengan langkah ragu, Rania melangkah masuk ke dalam gedung, disambut oleh lobi megah dengan lantai marmer yang mengilap dan lampu kristal yang berkilauan. para pegawai yang berlalu lalang menunjukkan kepala hormat saat melihat Gino, menandakan betapa berkuasanya Arzandra yang berkuasa di tempat ini.
Mereka menaiki lift menuju lantai yang tertinggi. Suasana di dalam lift terasa menyesakkan, seolah udara pun enggan bergerak. Setibanya di lantai yang dituju, pintu lift terbuka dan memperlihatkan sebuah koridor panjang dengan karpet tebal berwarna gelap.
Di ujung koridor sebuah pintu besar berdiri kokoh. Gino mengetuk pintu tersebut dengan ritme tertentu sebelum membukanya dan memberi isyarat kepada Rania untuk masuk.
Rania melangkah masuk ke dalam ruangan yang luas dan mewah. Dinding-dindingnya dihiasi panel kayu mahoni, sementara jendela besar di satu sisi ruangan menawarkan pemandangan kota yang menakjubkan. Di tengah ruangan, sebuah meja kerja besar terbuat dari kayu ebony berdiri megah, dengan kursi kulit hitam di belakangnya.
Disana duduklah Arzandra Adrasta, pria yang kini memegang kendali atas hidup Rania. Arzandra menatap Rania dengan mata tajam bak elang yang mengawasi mangsanya. Senyum tipis terukir di wajahnya, namun tidak ada kehangatan di baliknya. Arzandra mengangkat sebuah tablet dan menyalakannya, kemudian meletakkannya di atas meja dengan layar yang menghadap ke Rania.
"Selamat datang, Rania," ucapnya dengan suara rendah namun penuh wibawa. "Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu"
Dengan langkah Ragu Rania mendekati meja, dan menatap layar tablet tersebut. Di sana, terpampang pada digital dengan titik merah yang berdenyut pelan. Arzandra menyentuh layar, memperbesar peta hingga menampilkan detail lokasi yang sangat akurat.
"Titik merah ini," katanya sambil menunjuk layar. " Menunjukkan lokasimu saat ini. Chip yang telah ditanam di tubuhmu memungkinkan aku mengetahui keberadaan mu setiap saat."
Rania merasakan gelombang kepanikan yang menjalar di sekujur tubuhnya. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri, namun suaranya tetap bergetar saat berbicara.
"Kenapa... Kenapa kau melakukan ini?" tanyanya, suaranya hampir berbisik.
Arzandra menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Rania dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Aku sudah memberitahumu sebelumnya, Rania. Aku membutuhkan kepastian bahwa kau tidak akan mencoba melarikan diri atau melakukan sesuatu yang bodoh. Pernikahan kita bukan sekedar formalitas. Aku ingin memastikan bahwa kau selalu berada dalam jangkauan pengawasan ku."
Rania mengepalkan tangannya, kuku-kukunya hampir menembus telapak tangan. ia merasa marah, takut dan tak berdaya dalam waktu yang bersamaan. Namun, ia tahu bahwa melawan Arzandra secara frontal akan memperburuk situasi. Ia harus menemukan cara untuk bertahan, dan jika mungkin mencari celah untuk melepaskan diri dari cengkraman pria ini.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Rania akhirnya, mencoba suaranya agar tetap stabil.
Arzandra bangkit dari kursinya dan berjalan mengitari meja, mendekati Rania hingga jarak mereka hanya beberapa inci. Ia menatapnya dengan intensitas yang membuat Rania merasa terpojok.
"Aku ingin kau memainkan peranmu sebagai istriku dengan sempurna," katanya pelan namun tegas. "Di depan publik kita adalah pasangan bahagia yang saling mencintai. Di balik layar, kau akan mematuhi setiap perintahku tanpa pertanyaan. Jika kau mencoba melawan atau mengkhianati ku..."
Arzandra membiarkan kalimatnya menggantung, namun ancamannya jelas. Rania menelan ludah, merasa jantungnya berdebar kencang. Ia mengangguk pelan, menyadari bahwa untuk saat ini ia tidak memiliki pilihan lain selain menurut.
"bagus," ujar Arzandra, kembali ke kursinya. "Mulai hari ini kau akan tinggal di kediamanku. Semua kebutuhanmu akan disediakan. Namun ingatlah Rania, setiap langkahmu diawasi. Jangan pernah berpikir untuk melakukan sesuatu yang bodoh."
Rania mengangguk sekali.
Arzandra meraih sesuatu dari laci meja dan meletakkannya ke atas meja di depan Rania. Sebuah kunci.
Rania menatap kunci itu dengan perasaan campur aduk, ia merasa seperti burung yang sayapnya telah dipotong dan tak lagi bebas terbang kemanapun yang ia mau.
"Kau boleh pergi sekarang!" ucap Arzandra yang kembali fokus pada pekerjaannya.
Dengan tangan gemetar, Rania mengambil kunci itu dan berdiri. Ia melangkah keluar dari ruangan itu, merasa seolah dunia di sekitarnya runtuh.
Saat menutup pintu di belakangnya, Rania menyadari satu hal: Neraka bukanlah tentang api dan belerang. Neraka adalah hidup di bawah bayang-bayang Arzandra Adrasta, setiap hari.