"Cinta ini tak pernah punya nama... tapi juga tak pernah benar-benar pergi."
Sora tahu sejak awal, hubungannya dengan Tama tak akan berakhir bahagia. Sebagai atasannya, Tama tak pernah menjanjikan apa-apa—kecuali hari-hari penuh gairah.
Dan segalanya semakin kacau saat Tama tiba-tiba menggandeng wanita lain—Giselle, anak baru yang bahkan belum sebulan bergabung di tim mereka. Hancur dan merasa dikhianati, Sora memutuskan menjauh... tanpa tahu bahwa semuanya hanyalah sandiwara.
Tama punya misi. Dan hanya dengan mendekati Giselle, dia bisa menemukan kunci untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman dalam bayang-bayang.
Namun di tengah kebohongan dan intrik kantor, cinta yang selama ini ditekan mulai menuntut untuk diakui. Bisakah kebenaran menyatukan mereka kembali? Atau justru menghancurkan keduanya untuk selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
(Flashback 2) Naik level.
Awalnya karena belajar, selanjutnya karena mau sama mau. Begitulah yang terjadi di antara dua insan yang ngakunya 'teman'. Tama dan Sora, yang ternyata sudah candu dengan ciuman-ciuman mereka.
Adalah Tama yang pertama kali memberi kode keesokan harinya. Saat jam istirahat, mereka makan di kantin bersama Axel dan Jo. Sora memakan bakso dan tak sengaja menuangkan terlalu banyak cabe di kuah baksonya. Alhasil bibir dan lidahnya kebas, serta tidak berhenti berdesis sampai kembali ke ruangan.
“Masih pedas?” Tama mengirim pesan kepada wanita itu lewat chat di ponsel.
“Iya. Gila, ogah gue makan bakso lagi,” balas Sora jujur.
“Mau diademin nggak?”
“Caranya?”
Tama hanya membalas dengan emoji dua orang yang sedang kissing. Dan saat itu juga kepala Sora langsung membesar, karena diingatkan kejadian kemarin. Diangkatnya kepala dan melihat kepada si pengirim pesan. Ternyata Tama langsung memberinya kode untuk keluar dari ruangan.
Tanpa pikir panjang, laki-laki itu bergerak dari mejanya dan keluar terlebih dahulu. Gilaaa, ini masih siang dan masih ada anak-anak. Berani-beraninya dia main api, batin Sora. Namun perempuan itu juga tidak bisa menahan diri dari rasa ingin. Dia membawa mug kelincinya, seolah-olah akan mengambil minum ke pantry.
Entah ke mana Tama pergi, Sora mengikuti lorong saja. Saat dia berbelok, tiba-tiba tangannya ditarik, dan tau-tau sudah masuk ke dalam ruang meeting yang sedang kosong.
“Ta—ma.” Dia sampai terbata saking kaget.
“Mana yang kepedesan?” Laki-laki itu meletakkan tangan kirinya di leher Sora dan mendekatkan wajah mereka. Tanpa aba-aba, bibir mereka sudah menyatu. Sora yang sebenarnya belum siap, dengan cepat mampu menyesuaikan diri.
Tangannya terangkat melingkari leher Tama. Kedua matanya terpejam mengikuti naluri. Dia ingin menikmati ciuman yang bertujuan untuk meredakan rasa pedas di bibir dan lidahnya.
Ini sangat menyenangkan. Kali ini Sora sama sekali tidak merasa tertekan. Justru dia sangat terbuai, seperti ingin terbang ke langit ke tujuh. Apalagi dia sudah bisa mengimbangi Tama, baik di tehnik dan juga di ritme. Jangan ditanya kalau sudah melibatkan lidah. Ughhhh, rasanya Sora akan kembali basah di bawah sana.
Tama menekan tubuhnya ke tubuh perempuan itu. Seluruhnya, tanpa terkecuali. Hingga Sora bisa merasakan bukti g*irahnya yang sudah bangkit. Adik kecilnya yang sudah mengembang dan membuat celananya kembali sesak. Sora merasakan itu. Dia tau Tama sengaja melakukannya, entah untuk apa. Diam-diam pikiran liarnya menerka ukuran benda 'itu'. Ah, sungguh menakutkan!
Tama melepaskan diri sejenak. Memberi waktu untuk mereka sama-sama mengambil oksigen.
“Gila. Kissing doang, tapi lo berhasil bikin adek gue bangun. Kayaknya bukan hanya lo yang udah menemukan partner yang tepat untuk ini. Tapi gue juga.”
“Hah?” Sora terengah. “Ma-maksud lo?”
“Selama gue pacaran, gue selalu bisa mengontrol diri. Nggak pernah sampai ada yang ikut berdiri kayak gini. Inilah alasan kenapa gue larang lo ciuman sama sembarangan orang. Karena resikonya besar. Kalau cowok yang nyium lo ter*ngsang, sama kayak gue sekarang, lo bisa bahaya.”
“Kenapa? Karena bisa berlanjut ke sesi selanjutnya, kayak yang lo bilang kemarin?” Sora cukup mengerti arah perkataan Tama.
Laki-laki itu mengangguk. “Kalaupun lo mau ke tahap yang selanjutnya, sama gue aja. Jangan sama yang lain.” Tama kembali melumat bibir Sora, setelah mengutarakan satu kalimat aneh yang kemudian membuat wanita itu tidak berhenti berpikir.
Tama mengabaikan menit-menit yang sudah berlalu. Ciuman di ruang meeting itu terpaksa usai setelah Sora merasakan ada yang tidak beres dengan bagian bawahnya.
“Gue… gue mau pipis. Awas!”
***
Setelah hari itu, hubungan Tama dan Sora semakin menggila. Tama tidak bisa melewatkan satu hari tanpa mencicipi bibir Sora dan seluruh isi rongga mulutnya. Sora juga tidak akan ikhlas pulang kalau hari itu Tama belum menciumnya.
“Tam! Lo di mana?!” Seperti hari ini, entah hari ke berapa setelah ciuman pertama mereka. Dia menelepon Tama yang belum kembali ke kantor, padahal sudah jam setengah lima sore. Tadi Tama memang keluar kantor untuk bertemu klien dan membicarakan tunggakan yang sudah memasuki bulan ke enam.
“OTW kantor, Ra. Kenapa?”
“Buruaaaan. Udah jam setengah lima ini. Nanti keburu gue pulang!”
Terdengar gelak tawa Tama dari seberang. “Kenapa? Lo belum nyium gue ya?” godanya.
“Kebalik. Lo yang belum nyium gue.”
Tawa Tama semakin kencang. Ini sangat lucu. Dia masih belum percaya kalau jalan cerita pertemanan dia dan Sora bisa berubah jadi seperti ini. Friend with benefits.
“Ini macet banget, Ra. Lo pulang aja nggak apa-apa. Nanti gue ke apartemen lo.”
“Oke. Tiatii.”
“M.”
Selama bertahun-tahun jadi partner kerja, Tama tidak pernah menginjakkan kaki di apartemen Sora. Namun semenjak keduanya mulai punya misi aneh setiap hari, mengantar perempuan itu adalah kewajibannya, dan tentu saja dia akan pulang setelah 'yang satu itu' selesai.
Hari berganti minggu. Yang awalnya hanya kissing, kemudian tangan mulai ikut bermain, raba sana raba sini. Tama pun sudah berani menaiki tubuh Sora dan berkali-kali menguji iman mereka berdua.
"Tam, lo sadar nggak kalau badan lo itu berat?" Sora menepuk bahu Tama yang sedang tiduran di atas dadanya.
"Bentar lagi, Ra. Gue ngantuk."
"Lo pulang gih. Udah jam sembilan malam."
Tama menggeleng. "Gue sewa apartemen di sebelah lo aja apa ya? Biar kita bisa leluasa kayak gini?" Tiba-tiba ide gila muncul di dalam kepala pria itu. "Lagian biar lebih dekat ke kantor. Apartemen gue jauh."
"Jangan nekat. Apartemen lo dibanding ini, jauh banget. Emang lo bakalan betah?"
"Toh cuma dipake buat tidur doang 'kan? Waktu kita habis di kantor dan di jalan. Lagian biar gue nggak kesepian. Ada lo," ujar Tama sambil memindahkan tangan Sora dari pundaknya ke atas kepala. "Elus-elus dong, biar gue tidur," pintanya.
"Jangan tidur, Tamaaaaa! Gue nggak mau ya kena gerebek!"
"Ini apartemen, bukan hotel." Tama tetap cuek. Percumbuannya dengan Sora membuat kedua matanya tidak bisa diajak kompromi lagi. Dia mengantuk dan benar-benar ingin tidur. Sora juga tidak mungkin mengusir. Dia harus memastikan apakah unit apartemennya sudah terkunci dengan baik.
"Awas dulu. Gue mau cek pintu. Udah dikunci dengan benar apa belum."
"Udah. Tadi gue yang kunci. Lo tidur aja." Tama memperbaiki posisi kaki dan tangannya sampai menemukan posisi ternyaman di atas tubuh Sora. Sora semakin tersiksa karena laki-laki itu membuatnya tidak bebas bergerak. Mana jadinya sesak napas. Tapi ya sudahlah. Semoga saja tidak terjadi apa-apa.
***
Memang tidak terjadi apa-apa di luar sana. Seperti kata Tama, ini apartemen. Tidak pernah sejarahnya ada penggrebekan. Justru 'sesuatu' itu terjadi di dalam apartemen Sora sendiri.
Sekitar pukul satu dini hari, Tama terbangun karena merasa pegal dengan posisinya. Tama berpindah dari atas Sora ke sebelah wanita itu, dan menarik selimut untuk mereka berdua.
Matanya yang sepat melihat Sora yang tidur dengan meringkuk. Tengkuknya yang putih serta bahunya yang mulus, terekspos begitu saja karena gadis itu memang hanya mengenakan tank top. Sorot mata Tama berpindah ke bulu mata yang lentik, alis yang tidak terlalu tebal, hidung yang mancung, serta bibir tipis yang belakangan menjadi candu untuknya.
Tanpa sadar Tama menyentuh wajah mulus wanita yang sedang terlelap itu. Pikiran-pikiran aneh mulai hinggap di dalam kepalanya. Udara dingin, malam yang sunyi. Hanya ada dia dan gadis ini. Gadis yang selalu berhasil membangkitkan ga*rahnya.
"Sora..." Dia memanggil perempuan itu dengan suara yang sangat lembut.
Kedua kelopak mata itu terbuka secara perlahan. Sora mengerjap berkali-kali, mengucek matanya sampai berhasil melihat Tama dengan jelas.
"Kenapa, Tam?" tanyanya dengan suara parau. "Lo nggak bisa tidur?"
Tama mengangguk sambil menyingkirkan anak rambut dari wajah cantik Sora.
"Kenapa? Dingin banget ya? Gue naikin suhu AC-nya dulu." Perempuan itu ingin duduk dan turun dari kasur. Dia mengira Tama terbangun karena kedinginan.
Namun Tama menangkap tangannya dengan cepat, sehingga dia tidak jadi bangun.
"Gue nggak kedinginan. Malahan, gue lagi gerah. Lihat leher lo, bahu lo yang kebuka gini, bikin yang di bawah ikut kebangun, Ra."
Sora terhenyak. Kantuknya seketika hilang. "Trus?" tanyanya dengan polos.
"Naik level yuk?"
***