Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.
Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Pintu lift membuka lebar. Kaki Daisy melangkah keluar dan menjejak di lantai kantor. Bisa terbilang ia jarang, mungkin hanya dalam hitungan jari saja ia menjejakkan kaki di kantor Ekadanta Grup.
Hal itu tampak pada para pegawai yang mengamatinya lekat sewaktu ia jalan melintasi kubikel di ruangan ini. Seakan menebak-nebak.
Langkah Daisy berhenti di depan meja sekretaris.
"Papa ada di dalam?" tanya Daisy pada salah seorang sekretaris papanya.
Perempuan berambut sebahu itu menjawab, "Pak Romi ada di dalam." Sembari mengamati penampilan Daisy.
Yaa, dari ketiga anak Romi Ekadanta―dua di antaranya―bekerja di Ekadanta Grup. Wajah kedua kakaknya kerap wara-wiri di lantai kantor ini. Sementara, Daisy jarang mengekspose dirinya ke publik. Lagi pula ia bukan selebritas, jadi untuk apa pula publik tahu tentang dirinya.
Daisy membuka pintu ruangan papanya.
Betapa terkejutnya Romi Ekadanta mendapati putrinya yang hilang kini muncul di hadapannya. Ia beranjak dari kursi dan meninggalkan dokumen yang sedang dibacanya untuk gegas menghampiri serta-merta memeluk putrinya.
"Daisy, kamu tahu gimana khawatirnya Papa dan Mama?"
"Maaf, Pah."
Romi melepaskan pelukannya, lalu mengamati wajah putrinya yang tampak kurus di matanya. "Kenapa putri Papa jadi kurus begini? Dua hari ini kamu ada di mana?"
"Papa nggak perlu tahu di mana aku." Daisy mengulas senyum. "Lihat? Aku baik-baik saja, kan?"
"Ayo, kita ke rumah. Mamamu pasti sangat senang melihatmu. Mamamu bilang nggak akan makan sebelum kamu ditemukan."
"Sebelumnya―" Daisy menggigit bibir bagian dalam, "―ada yang ingin kubicarakan sama Papa."
"Nanti saja bicaranya. Papa antar ke rumah dulu."
"Aku maunya sekarang." Daisy menolak. Ia kemudian mengambil duduk di sofa kulit. "Aku akan langsung ke intinya saja."
Meski Romi tak tahu putrinya hendak membicarakan apa, tapi ia tetap duduk untuk mendengarkan. Kakinya menopang satu sembari mengamati putrinya yang duduk di seberangnya.
"Kenapa harus Rolan?"
"Rolan baik. Dia punya pekerjaan yang mapan. Perhatian. Buktinya dia nggak mau melihatmu berada dalam bahaya."
Daisy mendesis kesal. "Hanya karena dia memberitahu Papa kalau Mas Singgih mantan napi, bukan berarti dia orang yang baik, Pah. Papa yakin Rolan sebaik itu?"
"Rolan berasal dari keluarga baik-baik. Papa juga kenal dengan ayahnya Rolan. Waktu kamu kecil, kamu juga pernah main ke tempatnya Rolan. Jadi, Papa tahu keluarga mereka."
Ada yang mengusik Daisy saat mendengar kalimat papanya barusan. Kalau ia pernah main ke tempatnya Rolan, artinya ia pernah main ke Semarang. Tunggu. Jika diingat-ingat lagi saat itu Rolan murid SMA. Daisy mencoba mengingat kembali ingatannya yang terlupakan itu, tapi tidak sekarang. Yang sekarang harus ia lakukan adalah membuat kesepakatan dengan papanya.
"Papa tahu? Rolan pernah mendekatiku, tapi dia juga mendekati Sofie. Kalau dia cowok baik-baik, dia nggak akan membuat persahabatanku dan Sofie rusak―okee, hampir. Dan, kami juga memergoki Rolan sedang bermesraan dengan cewek lain. Cowok seperti itu yang ingin Papa jadikan menantu?"
"Jangan bikin cerita bohong."
"Terserah Papa mau percaya sama siapa?" Daisy tak getar untuk tetap menyuarakan isi hatinya. "Apa Papa juga tahu kalau Rolan dan Mas Singgih teman sekolah?"
Daisy dapat melihat keterkejutan di raut wajah papanya. Bagus. Ia bisa terus menekan papanya dengan cerita selanjutnya. Ia harus menggiring pikiran papa ke dalam isi hatinya.
"Bisa dibilang mereka berdua teman dekat. Mas Singgih memang nggak punya apa-apa, dan Rolan yang tahu kepintaran Mas Singgih memanfaatkannya untuk mendapatkan nilai dan rangking di sekolah. Satu lagi yang perlu Papa ketahui. Rolan juga ada di lokasi kejadian bersama Mas Singgih."
Mengesiap Romi. "Inilah akibatnya kalau kamu kebanyakan berteman sama penjahat itu!"
"Aku mencari tahu, Papa," tandas Daisy dengan suara bergetar. "Sofie sering mengatai kalau aku terlalu naif. Gendis juga bilang aku mudah dimanfaatkan karena kebaikanku. Tapi aku nggak akan membiarkan diriku dihasut, Pah. Karena itulah aku menyelidiki Mas Singgih dan mendapatkan kebenarannya. Jika Papa lebih percaya pada omongannya Rolan, silakan. Tapi, apa Papa akan mengabaikan omonganku? Aku, putri Papa. Hanya demi keuntunganku, apakah aku harus membuat cerita bohong seperti ini? Tentunya Papa mengenal seperti apa putri Papa, kan?"
Terdiam Romi Ekadanta.
"Jika Papa masih ragu, Papa bisa mencari tahu sendiri. Dan, jika Papa sudah menemukan jawabannya, kita lihat apakah Papa masih ingin menikahkanku dengan Rolan atau tidak. Hidupku tergantung dari keputusan Papa. Dan, aku sangat yakin... Papa nggak akan membiarkan hidup putrinya hancur."
Kedua tangan Romi yang berada di lengan sofa mengepal erat.
"Aku akan menemui mama." Daisy pamit pulang.
Dengan langkah penuh percaya diri, Daisy keluar dari ruangan. Kepercayaan dirinya runtuh saat berada di luar pintu. Lututnya melemas seketika. Tangannya bergetar dan jantungnya nyaris lepas.
Baru kali ini ia melawan papanya. Bukan sesuatu yang buruk, karena ia melawan dengan menyuarakan isi hatinya. Selama ini jika ia tak suka, maka ia lebih memilih untuk diam dalam marah. Ternyata mengeluarkan isi hati terbukti ampuh leganya.
Kedua ujung bibir Daisy mengangkat lebar kala melihat Singgih menunggunya di lobi. Langkahnya begitu ringan menghampiri laki-laki itu seakan gemetar yang terjadi beberapa menit lalu tak ada artinya.
Singgih menoleh tepat bersamaan dengan tibanya Daisy di hadapannya. Bibirnya mengulas senyum.
"Aku udah bicara sama papa. Dan, jantungku," Daisy memegangi dadanya, "serasa mau copot."
"Tapi lega, kan?"
"Banget." Daisy mengembus senyum lega. "Kita ke rumah sebentar. Mau kangen-kangen sama mama dulu. Lalu ke apartemen."
Singgih mengangguk, mengiyakan.
*
Daisy menyeka ujung mata yang masih membekas basah. Pertemuannya dengan mama selalu saja penuh drama. Mama memeluknya bak seorang ibu yang baru saja bertemu kembali dengan putrinya setelah bertahun-tahun menghilang.
Daisy tahu kehadiran Singgih di rumah membuat situasi tak nyaman bagi mama. Daisy bahkan tak dibiarkan berada dalam jarak dekat dengan Singgih. Mama memegangi lengan Daisy erat. Takut Singgih membawa kabur putrinya lagi. Dan, ia pun menyakinkan mama cukup lama bahwa Singgih tak berbahaya seperti yang digemborkan Rolan. Ia bisa menjamin bahwa dirinya akan baik-baik saja meskipun bersama Singgih.
Larasati masih belum melepas Daisy. Dan, Daisy masih tetap menyakinkan mamanya. Hingga akhirnya Singgih pun angkat bicara.
"Maaf," sela Singgih di antara perdebatan panjang antara ibu dan anak itu. "Saya tahu... masa lalu saya memang sulit diterima. Saya pun juga nggak mau terjebak daam situasi ini."
Singgih menatap bergantian pada Daisy, lalu Larasati dengan ucapan hati-hati dan mudah dipahami agar tak menimbulkan kesalahpahaman.
"Saya memang banyak kurangnya. Tapi saya selalu bertanggung jawab dengan pekerjaan saya. Saat ini... pekerjaan saya menjaga Daisy."
"Kamu bawa kabur putriku!" hardik Larasati, mengencangkan genggaman tangannya di tangan Daisy.
"Mah, aku yang memintanya untuk membawaku pergi," koreksi Daisy.
"Orang ini sudah menculikmu, Dai," geram Larasati.
"Mas Singgih nggak pernah menculikku. Justru Mas Singgih menyelamatkanku dari pertunangan konyol itu."
"Mama nggak ngerti sama kamu, Dai." Larasati menggeleng kecewa. "Orang ini kedoknya aja pura-pura baik menyelamatkanmu. Padahal dia punya maksud lain. Sekali melakukan kejahatan, pasti akan melakukannya lagi."
"Mah!" Daisy menatap kecewa mama. "Padahal Mama selalu mengajariku hal-hal baik. Tapi kenapa sekarang Mama malah berpikiran negatif."
"Masuk kamarmu, Dai." Larasati memerintah dengan (masih) berusaha menekan amarahnya. "Kamu," lanjutnya dengan menatap tajam Singgih, "jangan pernah datang ke sini ataupun menemui Daisy lagi!"
"Mah?" Daisy terdengar kesal, kecewa, dan lelah dalam helaan napasnya.
Dan, jika harus memilih: Mana yang lebih baik―hidup terkurung dalam sangkar emas atau hidup bebas dalam pelarian? Jelas Daisy tidak akan memilih keduanya. Dua pilihan yang sanggup membuatnya hidup dalam tekanan.
Apa gunanya tinggal dalam sangkar emas, jika bepergian keluar harus selalu berada dalam pengawasan. Bahkan, mamanya menambahkan empat pengawal di depan rumah―yang akan menipiskan kemungkinan baginya kabur. Dan, jika ia memilih hidup bebas dalam pelarian, maka ia harus bisa mengandalkan dirinya sendiri. Hei, bukankah ada Singgih bersamanya? Ia rasa, mungkin, ia akan bisa menjalaninya.
Akhirnya yang bisa dilakukan Daisy selama berada dalam sangkar emas adalah membuat webtun. Ia harus mengerjakan panel-panel gambar. Tentunya ia harus bertanggung jawab dengan pekerjaannya.
*
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨