Di sebuah universitas yang terletak kota, ada dua mahasiswa yang datang dari latar belakang yang sangat berbeda. Andini, seorang mahasiswi jurusan psikologi yang sangat fokus pada studinya, selalu menjadi tipe orang yang cenderung menjaga jarak dari orang lain. Dia lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan, membaca buku-buku tentang perilaku manusia, dan merencanakan masa depannya yang penuh dengan ambisi.
Sementara itu, Raka adalah mahasiswa jurusan bisnis. raka terkenal dengan sifatnya yang dingin dan tidak mudah bergaul, selalu membuat orang di sekitarnya merasa segan.
Kisah mereka dimulai di sebuah acara kampus yang diadakan setiap tahun, sebuah pesta malam untuk menyambut semester baru. Andini, yang awalnya hanya ingin duduk di sudut dan menikmati minuman, tanpa sengaja bertemu dengan Raka.
Yuk guys.. baca kisah tentang perjalanan cinta Andini dan Raka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 DI GODA DI TENGAH LATTE.
Suasana kafe menjelang malam semakin tenang. Lampu-lampu kuning redup memantulkan cahaya hangat di dinding bata ekspos. Andini dan Raka duduk bersebelahan di salah satu pojok kafe, dengan dua cangkir latte di atas meja kecil. Andini mulai bisa tersenyum lagi, sesekali tertawa pelan saat Raka melemparkan candaan recehnya.
Tiba-tiba, suara pintu terbuka cukup keras.
“Wih, ini kenapa suasana tiba-tiba kayak di film romansa?”
Terdengar suara Denis Di belakangnya menyusul Irfan, yang langsung ikut menyoraki, “Pantesan Raka gak bisa di hubungi ternyata lagi sibuk ngedekor hatinya, ya?”
Andini nyaris tersedak oleh minumannya, sementara Raka langsung menatap dua temannya dengan tatapan "gak penting, tapi lucu".
Denis dan Irfan mendekat, duduk tanpa permisi di meja sebelah sambil memandang mereka berdua dengan ekspresi menggoda.
“Eh, serius deh,” ujar Irfan sambil menyikut Raka. " Cara kamu mandang dia barusan tuh kayak… cowok yang udah jatuh, tenggelam, dan nggak bisa berenang.”
Andini tertawa sambil menunduk, pipinya mulai memerah. Raka cuma geleng-geleng kepala.
“ kalian berdua bener-bener nyari masalah ya,” kata Raka sambil pura-pura kesal. “Lagi ngopi santai malah diganggu duo komentator cinta.”
Denis ngakak. “Santai, bro. Kita cuma ngecek apa di hati kamu masih ada kita hahahha.. "
Andini akhirnya angkat bicara, masih sambil tersenyum malu. “Kalian ini… niat banget gangguin orang.”
Irfan mengangkat bahu. “Lagian enak banget liat kalian. kalian cocok banget. Rasa cappuccino sama cinnamon. Beda, tapi nyatu.”
Raka menoleh ke Andini, lalu berkata pelan tapi jelas, “Denger tuh. Mereka aja bilang cocok.”
Andini menoleh, mata mereka bertemu sebentar. Pipinya masih merah. Tapi kali ini, ia tidak menunduk. Ia hanya tersenyum kecil… dan tidak membantah.
Malam itu, di antara kopi, tawa, dan godaan sahabat-sahabat Raka, sesuatu tumbuh lebih kuat di antara mereka. perlahan, tapi pasti.
BEBERAPA HARI KEMUDIAN.
Hari-hari berlalu, dan posisi Andini di kantor mulai terlihat menonjol. Ia masih anak magang, tapi ide-idenya mulai didengar. Rekan-rekan kerja mulai menyukainya, terutama karena sifatnya yang rendah hati dan cepat belajar.
Tapi satu hal yang Andini tidak sadari, atau mungkin tidak terlalu peduli adalah tatapan seseorang. Mas Arfan, tim kreatif senior yang diam-diam selalu memperhatikan gerak-geriknya.
Mas Arfan bukan siapa-siapa di mata Andini, hanya rekan kerja yang kadang membantu membenahi template atau memberi saran desain. Tapi di mata Vira. Arfan adalah lebih dari sekadar teman.
Vira sudah lama memendam rasa. Ia selalu duduk di sebelah Arfan saat rapat, selalu membawakan kopi favoritnya tiap pagi. Tapi Arfan… tak pernah benar-benar membalas lebih dari sekadar sopan santun.
Dan sekarang, perhatian kecil yang jarang ia dapat… justru jatuh ke Andini.
Jam makan siang, Vira melewati pantry dan melihat Arfan sedang tertawa kecil sambil menunjukkan sesuatu di layar laptopnya ke Andini.
“Ini lucu banget, Mas,” kata Andini, senyum cerah menghiasi wajahnya.
“Kalau kamu yang ngomong, aku percaya,” jawab Arfan ringan.
Vira berhenti di ambang pintu. Tangannya menggenggam cup kopi dingin, napasnya memburu pelan. Tatapannya tajam, penuh campuran cemburu dan sakit hati yang tak bisa dijelaskan.
Malamnya, Vira membuka laptop dan mulai menulis email evaluasi mingguan magang. Ia menambahkan catatan khusus tentang Andini.
"Tolong diperhatikan, magang a.n. Andini menunjukkan ketidaksesuaian etika profesional. terlalu akrab dengan beberapa staf senior. Perlu pembinaan lebih lanjut."
Ia menatap kata-kata itu lama, sebelum akhirnya mengklik “Kirim”.
KEESOKAN HARINYA.
Esok harinya, Andini dipanggil ke ruang supervisor. Ia bingung, jantungnya berdegup kencang.
“Ini cuma klarifikasi ya, Din. Ada catatan soal kamu yang dianggap terlalu… dekat dengan staf senior,” ujar Bu Mira dengan nada hati-hati.
Andini terdiam. Ia tahu ia selalu bersikap sopan dan profesional. Tapi ada sesuatu yang mengganjal. sesuatu yang bukan soal kerja… tapi hati orang lain.
Dan untuk pertama kalinya, Andini merasa. bukan hanya pekerjaannya yang diuji… tapi juga siapa dirinya di mata orang-orang.
Setelah peringatan halus dari Bu Mira, Andini mulai lebih hati-hati. Ia sadar, setiap langkah di kantor bisa dibaca dengan cara yang berbeda, dan ia tak mau menjadi alasan seseorang merasa tersingkir.
Apalagi setelah percakapan santainya dengan Arfan. Vira makin dingin. Tatapan-tatapannya lebih menusuk, dan suasana kantor jadi terasa... sempit.
Arfan menghampirinya di ruang kerja.
“Andin, nanti makan siang bareng lagi yuk? Mau ngobrolin ide campaign yang kamu bahas kemarin.”
Andini menoleh dengan senyum tipis. “Maaf ya, Mas. Aku udah janji mau makan siang sama Kak Ratri.”
“Oh,” Arfan mengangguk. “Nggak apa-apa. Kapan-kapan aja deh.”
Andini hanya mengangguk sopan. Tapi ia tahu, itu bukan sekadar makan siang. Itu keputusan kecil untuk menjaga jarak. bukan karena Arfan bersalah, tapi karena Andini tahu ia harus menjaga batas. Untuk dirinya, untuk profesionalitas, dan... untuk seseorang yang diam-diam selalu menunggunya di ujung hari.