Madava dipaksa menikah dengan seorang pembantu yang notabene janda anak satu karena mempelai wanitanya kabur membawa mahar yang ia berikan untuknya. Awalnya Madava menolak, tapi sang ibu berkeras memaksa. Madava akhirnya terpaksa menikahi pembantunya sendiri sebagai mempelai pengganti.
Lalu bagaimanakah pernikahan keduanya? Akankah berjalan lancar sebagaimana mestinya atau harus berakhir karena tak adanya cinta diantara mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cucu
"Lho, Yu, mau kemana?" tanya Bu Shanum saat melihat Ayu keluar dari kamar putranya.
Ayu tersentak. Padahal ia sudah keluar kamar diam-diam, tapi masih saja ketahuan.
"Ayu mau cari Rafi, Bu."
"Ma, bukan ibu. Ingat, kamu sekarang sudah menjadi menantu mama."
"Eh, i-iya, Ma. Em, Ayu mau cari Rafi dulu ya, Ma. Sudah sore, Rafi pasti belum mandi."
"Kamu nggak usah khawatir. Rafi sudah mandi. Sekarang sedang makan di gazebo."
"Ka-kalau begitu, Ayu liat Rafi dulu ya, Bu eh Ma." Ayu menundukkan sedikit kepalanya kemudian segera berlalu dari hadapan Bu Shanum. Ia masih canggung berhadapan dengan Bu Shanum. Dari majikan jadi mertua, sungguh seperti sebuah drama.
Bu Shanum menggelengkan kepalanya melihat tingkah Ayu. Saat hendak berlalu, ia melihat Madava pun keluar kamar.
"Mau kemana kamu?" tanya Bu Shanum membuat Madava tersentak.
"Eh, Mama. Dava nggak mau kemana-mana kok," kilah Madava.
"Nggak usah bohong kamu. Mau kelayapan? Apa nggak malu, baru nikah udah kelayapan?"
"Dava cuma mau ketemu temen-temen aja kok, Ma. Di cafe. Nggak lama."
"Bukannya mau menghindari Ayu?"
"Nggak." Madava menggeleng cepat. "Justru menantu mama tuh yang menghindar. Aku mandi, tau-tau dia dah kabur. Emangnya aku mau makan orang apa."
"Kamu memang nggak makan orang, tapi sikap kamu lebih menyeramkan dari monster pemakan orang," ujar Bu Shanum membuat Madava membulatkan matanya. "Awas kalau pulang larut, permintaan kamu tinggal di rumah sendiri akan mama cancel!"
"Hah, mama yang benar aja! Masa' dicancel sih?"
"Jadi kamu emang berniat pulang larut?"
"Nggak kok. Paling pulangnya besok pagi, bukan pulang larut."
"Apa? Kamu mau pulang besok pagi? Kamu mau ninggalin Ayu di malam pertamamu, hah?" seru Bu Shanum kesal sambil memukul-mukul tubuh Madava.
"Eh, nggak, Ma. Nggak. Dava cuma bercanda aja," kilahnya sambil mengangkat tangannya untuk menghalau pukulan sang ibu.
"Nggak usah bohong kamu. Dasar anak bandel. Kapan sih kamu bisa bahagiain mama, hah? Jangan cuma bikin stres aja bisanya."
"Ya ampun, Ma, udah dong. Dava cuma main-main aja, nggak serius kok."
Terdengar suara tawa dari ambang pintu. Itu adalah suara Rafi.
"Mama ... Mama ... Liat deh, nenek lagi marahin Om itu. Pasti Om itu nakal jadi kena marah nenek ya, Ma?" ujar Rafi membuat Bu Shanum dan Madava menoleh. Wajah Madava merah padam karena malu. Ayu pun segera menutup mulut Rafi agar tidak bicara lagi.
"Iya, Sayang, Om itu emang nakal. Nggak kayak Rafi yang anak baik," ujar Bu Shanum yang akhirnya menghentikan pukulannya. "Udah, nggak papa, Yu! Jangan ditutup mulut Rafi, nanti sakit."
Ayu lantas melepaskan tangannya. Rafi, bocah yang berusia 4 tahun itupun berlari mendekati Bu Shanum.
Bu Shanum merentangkan kedua tangannya dan membawa Rafi ke dalam gendongannya.
"Nah, mulai sekarang jangan panggil Om ini Om lagi ya, tapi Papa." Bu Shanum ingin agar Rafi membiasakan memanggil Madava dengan sebutan papa.
Mata Madava membulat. Ia ingin menolak, tapi pelototan Bu Shanum membuatnya terdiam.
"Papa? Jadi Rafi sekarang punya papa ya, Nek? Jadi Rafi bukan anak yatim lagi?"
"Anak yatim?" Bu Shanum membulatkan matanya.
"Iya. Kata orang anak yang nggak ada ayahnya itu anak yatim," ujar Rafi polos membuat Bu Shanum terhenyak. Begitu pula Ayu dan Madava.
Bu Shanum pun mengusap puncak kepala Rafi dengan sayang. "Sekarang Rafi udah punya papa jadi Rafi bukan anak yatim lagi. Rafi suka?"
"Suka, Nek. Rafi suka." Rafi menoleh ke arah Madava sambil tersenyum lebar. Tapi melihat wajah datar Madava membuat senyum itu seketika surut. Ayu yang sadar akan hal itu pun segera membawa Rafi menyingkir dari sana.
"Punya wajah itu dikondisikan. Masa' di depan anak kecil saja muka masam gitu."
"Salah terus. Ya sudah, Dava pergi dulu. Assalamualaikum." Madava memilih menyingkir daripada terus-menerus bertengkar dengan sang ibu.
Seperti perkataannya, Madava pun pulang tidak terlalu larut. Ia sebenarnya bukan pergi ke cafe bertemu teman-temannya, tapi meminta seseorang untuk mencari keberadaan Via dan keluarganya. Ia merasa tidak terima dengan perbuatan Via dan keluarganya yang kabur di hari pernikahannya dengan membawa semua mahar.
Saat masuk ke kamar, kamar itu tampak terang benderang. Ia melihat ke arah ranjang yang kosong dan masih terlihat rapi sama seperti sebelumnya. Ia menoleh ke sekeliling, mencari keberadaan Ayu. Ia cukup terkejut saat melihat perempuan itu sedang tidur dengan mengenakan jaket di sofa kamarnya. Ia tidur meringkuk di sana. Entah mengapa ia tidak menggunakan selimut. Ah, setelah dipikir-pikir mungkin karena ia tidak menemukan selimut lain. Untuk membawa selimut dari kamarnya yang sebelumnya, mungkin tak enak atau dipakai anaknya. Sedangkan Rafi sendiri diajak Bu Shanum tidur di kamarnya.
Madava tidak begitu menghiraukan keberadaan Ayu. Ia justru segera berganti pakaian, mencuci tangan dan wajah kemudian berbaring di tempat tidurnya.
Keesokan harinya, saat Madava bangun, ia melihat Ayu sudah mandi. Bahkan ia sudah bersiap untuk keluar.
"Siang nanti kita pindah ke rumahku," ujar Madava sambil beranjak dari tempat tidurnya.
"Baik." Hanya satu kata itu respon Ayu. Kemudian ia pun segera keluar tanpa memedulikan Madava sama sekali.
Sebenarnya Madava kesal. Ia kesal karena sikap Ayu yang begitu acuh tak acuh.
"Kita lihat saja, sebatas mana kau akan bersikap acuh tak acuh, huh?" kesal Madava.
...***...
"Apa harus secepat ini?" tanya Bu Shanum yang rasanya belum rela melepaskan Ayu tinggal di rumah Madava. Madava sebelum ini memang sudah membeli rumah untuk ditempatinnya dengan istrinya setelah menikah. Hanya saja ia tidak menyangka kalau rumah itu akan ia tempati dengan wanita yang sungguh di luar dugaannya.
"Mama 'kan tahu sendiri, jarak rumah ini ke kantor cukup jauh. Bisa hampir 2 jam perjalanan. Itu bila tidak macet. Kalau macet, bisa lebih lagi. Bisa-bisa Dava selalu terlambat pergi ke kantor. Nggak mungkin 'kan Dava pergi selepas subuh?" Madava beralasan.
Bu Shanum menoleh pada Ayu dan Rafi yang sedang makan dalam diam. Mereka seperti tidak keberatan sama sekali.
"Baiklah. Mama titip Ayu dan Rafi ya?"
"Mama kok ngomong begitu sih? Kayak ngomong sama siapa saja. Tentu saja Dava akan menjaga mereka. Bukankah Menikahi ibunya juga harus bisa menerima anaknya?" ucap Madava sambil melirik Ayu yang memasang wajah datar. Bu Shanum tersenyum mendengarnya. Ia pikir Madava sudah benar-benar menerima pernikahan ini.
"Oh ya Ayu, maaf mama belum sempat temenin kamu periksa Rafi. Mama seminggu ini ada urusan di luar kota. Kamu nggak papa 'kan?"
Ayu mengangkat wajahnya kemudian tersenyum tipis.
"Iya, Ma. Nggak papa."
"Ya sudah, ayo dimakan. Rafi makan yang banyak ya. Buat sehat dan kuat."
"Iya, Nenek."
"Oh ya, Dava, kalian butuh art nggak? Kalau butuh, kalian bisa ajak bik Tuti."
"Eeee ... " Madava melirik pada Ayu. Kemudian ia tersenyum tipis. "Nggak usah, Ma. Bukannya menolak, tapi kami 'kan belum terbiasa bersama. Biar kami kerjakan semuanya bersama-sama saja. Hitung-hitung supaya bisa lebih dekat satu sama lain. Benar begitu 'kan, Yu?"
Ayu bisa melihat senyum penuh perencanaan di bibir Madava. Ia tidak merasa khawatir sedikitpun.
"Mas Dava benar, Ma. Kami bisa melakukannya bersama." Ayu menjawab dengan tersenyum tipis. Lalu mereka saling beradu pandang. Tatapan setajam silet saling mereka hunuskan.
"Mas Dava? Wah, panggilan yang sangat manis sekali. Mama benar-benar tidak menyangka kemajuan kalian akan secepat ini. Semoga saja kalian juga bisa memberikan mama cucu secepatnya. Bukannya mama nggak menganggap Rafi sebagai cucu mama, hanya saja Mama juga ingin sekali menggendong seorang bayi. Pasti sangat menyenangkan. Rafi mau 'kan punya adik?"
"Mau, Nek. Rafi mau," jawab Rafi penuh semangat. "Memang mama mau kasi Rafi adik ya, Ma? Wah, Rafi mau banget. Rafi janji, kalau mama kasi Rafi adik, Rafi akan bantu jaga adik." Rafi berujar dengan mata berbinar-binar.
Wajah Ayu sudah merah padam. Madava mengomel dalam hati. Ada-ada saja ibunya ini, masa' menikah baru sehari sudah diminta cucu. Ya kalau mereka menikah karena cinta mungkin saja mereka bisa secepatnya mengusahakan memberikan cucu pada ibunya, tapi sepertinya tidak dengan pernikahan mereka. Bisa bertahan beberapa bulan saja sudah syukur-syukur. Ah, tapi rasanya sulit.
"Rafi memang kakak yang baik. Sayang sama Rafi," ucap Bu Shanum tanpa memedulikan ekspresi anak dan menantunya yang sudah kecut. "Semoga mama dan papa Rafi segera memberikan kabar baik ya!"
...***...
...Happy reading 🥰 🥰 🥰 ...