Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Leo menghela napas berat.
Ia tak tahan lagi.
Tangannya merogoh ponsel, lalu menekan nomor asistennya. Suaranya rendah, tertahan, seolah takut keputusan ini terlalu jauh.
“Aku butuh bantuan,” ucapnya singkat. “Atur supaya beban kerja pemetik hari ini berkurang. Tapi jangan sampai namaku muncul. Kau mengerti, kan.”
Tak lama setelah sambungan terputus, Leo kembali menatap Anna. Ia melihat perempuan itu nyaris tersandung, lalu menopang tubuhnya dengan keranjang anyam. Dadanya terasa nyeri.
Tak sampai setengah jam kemudian, suasana kebun teh berubah.
Seorang mandor datang tergesa, wajahnya tampak heran sekaligus gembira. Ia memanggil para pemetik, suaranya lantang memecah keheningan.
"Sudah, sudah! Semuanya berhenti memetik!" teriak si mandor sambil melambaikan tangan.
Anna menghentikan gerakannya, wajahnya yang pucat tampak bingung. "Ada apa, Pak? Ini masih jam sepuluh pagi. Keranjang saya belum penuh."
"Ada kabar baik. Ada pembeli besar dari kota yang baru saja memborong seluruh hasil panen hari ini secara tunai dengan harga tinggi. Dia minta semua pekerja berhenti bekerja sekarang juga, pulang, dan beristirahat. Kalian tetap akan dibayar penuh, bahkan dikasih bonus tiga kali lipat upah harian," jelas sang mandor dengan wajah sumringah.
Bisik-bisik bahagia terdengar dari para pekerja lain. Namun, Anna hanya terdiam. Matanya menyipit penuh selidik. "Pembeli besar? Siapa, Pak? Kenapa tiba-tiba sekali?"
"Aduh, Anna, jangan banyak tanya! Yang penting kamu bisa pulang cepat dan obati demammu itu. Ini, ambil upahmu dan bonusnya," mandor itu menyerahkan amplop cokelat yang terlihat tebal.
Anna menerima amplop itu dengan tangan gemetar. Ia merasa ada yang janggal, tapi rasa pening di kepalanya yang semakin hebat mengalahkan kecurigaannya. Ia benar-benar butuh istirahat jika ingin punya tenaga untuk menjemput Lili nanti siang. Perlahan, Anna mulai melangkah meninggalkan area perkebunan.
Leo ikut melangkah, menjaga jarak beberapa puluh meter di belakang. Agar Anna tidak menyadari keberadaannya. Dengan langkah yang sangat pelan dan hati-hati, ia mengikuti Anna yang berjalan gontai menyusuri jalan setapak menuju rumah sederhananya.
Melihat punggung Anna dari belakang, Leo bisa merasakan betapa rapuhnya wanita itu sekarang. Beberapa kali Anna tampak berhenti, menyandarkan tubuhnya pada batang pohon di pinggir jalan, atau sekadar memejamkan mata sejenak untuk meredam rasa pening yang hebat. Setiap kali Anna terhuyung, jantung Leo serasa berhenti berdetak, ia nyaris berlari untuk menangkapnya, namun akal sehatnya selalu menahan langkah itu tepat waktu.
Jalan setapak itu terasa begitu panjang bagi Leo. Ia melihat Anna sesekali menatap amplop cokelat di tangannya dengan tatapan bingung, seolah masih tidak percaya dengan keberuntungan yang baru saja dialaminya di kebun teh.
Ia tahu, bantuan ini tak akan menghapus masa lalu. Tak akan serta-merta menyembuhkan luka Anna. Tapi setidaknya, hari ini, perempuan itu bisa beristirahat, bagi Leo, itu sudah lebih dari cukup.
Leo terus mengekor, bersembunyi di balik rimbunnya semak atau belokan jalan setiap kali Anna tampak ingin menoleh. Ia memastikan jarak mereka tetap puluhan meter. Baginya, melihat Anna bisa berjalan pulang tanpa harus memikul beban keranjang teh yang berat sudah sedikit mengurangi sesak di dadanya.
Hingga akhirnya, Anna tiba di depan rumah kayunya. Wanita itu tampak memutar kunci dengan tangan yang gemetar, lalu perlahan masuk ke dalam dan menutup pintu.
* * *
Di dalam rumah, Anna segera merebahkan tubuhnya di atas dipan kayu yang sederhana. Rasa pening yang tadi menghantamnya kini mulai sedikit mereda setelah ia meminum sebutir obat pereda nyeri yang tersisa di laci meja.
Helaan napas berat keluar dari bibirnya yang pucat. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan rasa hangat dari obat itu menjalar ke seluruh tubuhnya yang menggigil. Namun, rasa penasaran mengalahkan rasa kantuknya. Tangannya yang masih sedikit gemetar merogoh saku kain, menarik keluar amplop cokelat pemberian mandor tadi.
Perlahan, Anna membuka perekat amplop itu. Matanya yang sayu mendadak melebar saat melihat tumpukan uang kertas berwarna merah di dalamnya. Dengan jantung berdegup kencang, ia mulai menghitung lembar demi lembar.
"Satu... dua... sepuluh... dua puluh..."
Anna terdiam. Ia menghitung ulang, takut jika matanya sedang berhalusinasi karena demam. Namun hasilnya tetap sama.
"Dua juta?" gumamnya dengan suara parau yang hampir menghilang.
Ia terduduk di tepi ranjang, menatap uang itu dengan pandangan tak percaya. Di desa ini, upah memetik daun teh biasanya hanya berkisar lima puluh ribu rupiah sehari, itu pun jika ia bekerja dari fajar hingga punggungnya terasa patah. Namun hari ini, dalam waktu beberapa jam saja, ia memegang uang yang setara dengan upah kerjanya selama satu bulan lebih.
“Ini banyak banget…” bisiknya nyaris tak bersuara.
Buliran bening mulai menggenang di sudut matanya, lalu jatuh membasahi uang kertas di tangannya. Ia tidak memikirkan baju baru, tidak juga memikirkan perbaikan atap rumahnya yang bocor. Pikiran Anna langsung tertuju pada satu nama, Lili.
"Terima kasih, Tuhan... Terima kasih," isaknya pelan sambil memeluk amplop itu di dadanya.
Selama ini, beban yang paling berat di pundaknya bukanlah kemiskinan, melainkan tagihan medis. Lili, putri kecilnya yang malang, harus menjalani perawatan cuci darah rutin akibat kondisi kesehatan yang menurun sejak dua tahun lalu. Setiap rupiah yang dikumpulkan Anna selalu mengalir ke rumah sakit, dan sering kali jumlahnya tidak pernah cukup. Uang ini bukan sekadar bonus, bagi Anna, uang ini adalah napas tambahan untuk putrinya.
Di tengah haru yang membuncah, sebuah tanya kecil sempat melintas di benaknya. Siapa pembeli kota yang begitu dermawan itu? Mengapa bantuan ini datang tepat saat ia sedang di titik terendah? Namun, rasa syukur yang luar biasa segera menepis kecurigaan itu. Ia terlalu lelah untuk mencari jawaban, ia hanya ingin percaya bahwa ini adalah keajaiban yang dikirimkan Tuhan untuk Lili.
Sementara itu, di luar sana, tak jauh dari dinding kayu rumah Anna, seorang pria masih berdiri mematung. Leo mendengar isak tangis itu dari celah jendela yang sedikit terbuka. Ia bisa mendengar bisikan doa dan ucapan syukur Anna yang tulus.
Hati Leo terasa seperti diremas. Ironis sekali. Baginya, dua juta rupiah hanyalah harga untuk sekali makan siang yang mewah di kota. Namun di sini, di tangan wanita yang pernah ia hancurkan hidupnya, uang itu disambut seperti sebuah mukjizat besar.
Leo memejamkan mata, membiarkan rasa perih menjalar di dadanya. Mendengar Anna menyebut nama Tuhan dalam syukurnya membuat Leo merasa semakin hina. Ia tahu, uang itu tidak akan pernah bisa membayar tujuh tahun penderitaan Anna, namun melihat beban wanita itu sedikit terangkat, ada setitik kelegaan yang menyeruak di antara rasa bersalahnya.
"Hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang, Raya," bisik Leo dalam hati.